Tampilkan postingan dengan label ilmu hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ilmu hukum. Tampilkan semua postingan

Jumat, 03 Juni 2022

Hukum Waris di Indonesia

HUKUM WARIS DI INDONESIA
HUKUM WARIS DI INDONESIA


HUKUM WARIS DI INDONESIA

Warisan merupakan segala sesuatu peninggalan yg diturunkan sang pewaris yang telah meninggal pada orang yg sebagai pakar waris oleh pewaris tadi. Wujudnya mampu berupa harta beranjak (mobil, deposito, logam mulia, dll) atau tak beranjak (tempat tinggal , tanah, bagunan, dll), dan termasuk juga hutang atau kewajiban sang pewaris. hukum Waris merupakan hukum yang mengatur tentang harta warisan tersebut. mengatur cara-cara berpindahnya, siapa-siapa saja orang yang pantas mendapatkan harta warisan tersebut, hingga harta apa saja yg diwariskan.

Di Indonesia Hukum waris terbagi menjadi tiga bagian yaitu:

  1. Hukum Waris Islam;
  2. Hukum Waris Perdata dan
  3. Hukum Waris adat 
  • Hukum Waris Islam:
Pasal 171 ayat a KHI “Hukum Kewarisan ialah hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa- siapa yang berhak menjadi ahli waris serta berapa bagiannya masing- masing”. Pembagian warisan dalam Hukum Islam dibagi sesuai bagian masing-masing pakar waris yg telah ditetapkan besarannya. namun warisan pada hukum waris Islam bisa dibagi sesuai wasiat pada orang lain atau suatu forum dengan ketentuan pemberian wasiat paling banyak sepertiga asal harta warisan kecuali bila semua ahli waris menyetujuinya.

Besaran Bagian pakar Waris sesuai Hukum islam berdasarkan Pasal 176-185 KHI adalah sebagai berikut:
  1. Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki dua berbanding satu dengan anak perempuan;
  2. Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat  seperenam bagian;
  3. Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian;
  4. Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah;
  5. Duda mendapat separuh bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian;
  6. Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperdelapan bagian;
  7. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian;
  8. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separuh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan.
  • Hukum Waris Menurut Hukum Perdata
Waris menurut perdata adalah Hukum waris berupa perangkat ketentuan Hukum yg mengatur dampak-akibat hukum umumnya di bidang Hukum harta kekayaan karena kematian seseorang yaitu pengalihan harta yang ditinggalkan si meninggal bersama akibat-akibat pengasingan tadi bagi para penerimanya, baik pada hubungan antar mereka juga antar mereka menggunakan pihak ketiga

Pada hukum perdata waris dibagi dalam beberapa golongan. Golongan ahli waris bisa dibedakan atas 4 (empat) golongan pakar waris, yaitu:
  1. Golongan I: dalam golongan ini, suami atau istri dan atau anak keturunan pewaris yg berhak mendapatkan warisan. pada bagan pada atas yang menerima warisan artinya istri/suami serta ketiga anaknya. Masing-masing menerima ¼ bagian.
  2. Golongan II: Golongan ini ialah mereka yang mendapatkan warisan Jika pewaris belum memiliki suami atau istri, dan anak. dengan demikian yg berhak adalah ke 2 orangtua, saudara, serta atau keturunan saudara pewaris. pada contoh bagan di atas yang mendapat warisan artinya ayah, ibu, dan ke 2 saudara kandung pewaris. Masing-masing menerima ¼ bagian. pada prinsipnya bagian orangtua tidak boleh kurang dari ¼ bagian.
  3. Golongan III: dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara kandung sebagai akibatnya yg menerima waris merupakan famili dalam garis lurus ke atas, baik dari garis bunda juga ayah. contoh bagan di atas yang mendapat warisan merupakan kakek atau nenek baik dari ayah dan bunda. Pembagiannya dipecah sebagai ½ bagian buat garis ayah serta ½ bagian buat garis mak .
  4. Golongan IV: pada golongan ini yg berhak mendapatkan warisan merupakan famili sedarah dalam garis atas yg masih hayati. Mereka ini menerima ½ bagian. Sedangkan ahli waris pada garis yang lain dan derajatnya paling dekat menggunakan pewaris mendapatkan ½ bagian sisanya.
  • Hukum Waris Adat
Hukum waris adat artinya Hukum lokal suatu daerah ataupun suku tertentu yg berlaku, diyakini dan dijalankan oleh rakyat-masyarakat wilayah tersebut. hukum waris adat pada Indonesia tak terlepas berasal impak susunan rakyat kekerabatannya yg tidak sinkron. hukum waris istiadat tetap dipatuhi dan dilakukan sang masyarakat adatnya terlepas asal hukum waris adat tersebut telah ditetapkan secara tertulis maupun tidak tertulis. sesuai hukum waris tata cara dikenal beberapa macam sistem pewaris, yaitu:
  1. Sistem keturunan: pewaris berasal asal keturunan bapak atau bunda ataupun keduanya.
  2. Sistem individual: setiap ahli waris menerima bagiannya masing-masing.
  3. Sistem kolektif: pakar waris menerima harta warisan namun tak dapat dibagi-bagikan dominasi ataupun kepemilikannya. Setiap ahli waris hanya mendapatkan hak buat memakai ataupun mendapatkan hasil berasal harta tersebut.
  4. Sistem mayorat: harta warisan diturunkan kepada anak tertua menjadi pengganti ayah dan ibunya.
Hukum waris norma tidak mengenal adanya hak bagi waris buat sewaktu-ketika menuntut supaya harta warisan dibagikan kepada para waris sebagaimana diklaim pada alinea kedua asal pasal 1066 KUHPerdata atau juga menurut hukum waris Islam. tapi Bila si waris memiliki kebutuhan atau kepentingan, sedangkan beliau berhak menerima waris, maka dia bisa saja mengajukan permintaannya buat dapat memakai harta warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat dengan para waris lainnya. Pembagian warisan berdasarkan Hukum Waris istiadat sangat majemuk tergantung ketentuan suatu tata cara tadi dengan permanen memperhatikan prinsip keadilan antara para ahli waris.

Sabtu, 24 November 2018

Hubungan Ilmu Hukum dengan Ilmu Sosial Lainnya

Hubungan Ilmu Hukum dengan Ilmu Sosial Lainnya

Hubungan Ilmu Hukum dengan Ilmu Sosial Lainnya - Hukum adalah salah satu ilmu yang penting dan erat hubungannya dengan berbagai ilmu yang ada. Dalam pembentukan hukum, diperlukan berbagai pendekatan dengan ilmu lainnya khususnya ilmu sosial.

Adapun hubungan antara ilmu hukum dengan beberapa ilmu sosial lainnya adalah sebagai berikut:

A.    Ilmu hukum dengan Ilmu politik

Dalam hal pemerintahan pasti akan dijumpai adanya politik. Hukum dibuat oleh pemerintah, dimana hukum dibuat untuk dilaksanakan dan di taati. Dalam hal ini akan tampak, bahwa pemerintah adalah kekuasaan dan didalamnya terdapat politik yang bermain didalamnya. Dan dalam perpolitikan, hukum hadir untuk mengatur jalannya perpolitikan yang ada.

B.     Ilmu Hukum dengan Ilmu antropologi

Putra PM Siregar dalam blognya menuliskan hubungan antara ilmu hukum dengan antropologi tidak dapat dilepaskan karena antropologi membantu untuk menjelaskan tentang kerja dari kehidupan masyarakat sebagai satu kesatuan budaya. Hukum memang tidak dapat dilepaskan, karena menurut ilmu antropologi hukum, hukum berasal dari pemikiran manusia satu dan berkembang menjadi suatu kebudayaan atau adat hingga menjadi hukum yang disahkan.

C.     Ilmu hukum dengan ilmu psikologi

Ilmu hukum adalah ilmu yang mempelajari dan membahas bagaimana mencapai kebenaran dan keadilan yang mana sangat terkait dengan psikologi karena keadilan dan kebenaran adalah hal yang sangat subjektif dan bersifat psikologis. Dalam praktik hukum, akan melibatkan unsur psikologi untuk mencapai suatu kebenaran dan keadilan yang sesungguhnya.

D.    Ilmu Hukum dengan ilmu hukum tata negara

Dalam pelaksanaan tata negara, selain belajar tentang sistem pelaksanaann tata negara juga mempelajari hukum yang berlaku dalam pelaksanaan tersebut. Karena, untuk mengatur jalannya tata negara, ada hukum yang berlaku. Sehingga pelaksanaan tete negara tidak terhambat dan tertib dalam pelaksanaannya.

Rabu, 21 November 2018

TUJUAN ILMU HUKUM

Tujuan Ilmu Hukum
TUJUAN ILMU HUKUMDalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Prof. Drs. C.S.T. Kansil menuliskan, Prof. Van Apeldoorn dalam bukunya Inleiding Tot de studie van Het Nederlandse Rect menyatakan tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian. Menurut Soejono Dirjdosisworo, tujuan hukum adalah melindungi individu dalam hubungannya dengan masyarakat, sehingga dengan demikian dapat diharapkan terwujudnya keadaan aman, tertib dan adil.

Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum bertujuan untuk mengatur kehidupan masyaratkat dalam berhubungan dengan orang lain agar tercipta perdamaian.  Sedangkan tujuan ilmu hukum adalah untuk memiliki kemampuan dan untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat.

Senin, 01 Januari 2018

Perbedaan antara positivism hukum dan aliran hukum alam dilihat dari ontologi, epistemologi dan aksiologi

Perbedaan antara positivism hukum dan aliran hukum alam dilihat dari ontologi, epistemologi dan aksiologi adalah sebagai berikut:

ASPEK ONTOLOGI HUKUM.
ALIRAN POSITIVISME HUKUM
ALIRAN HUKUM ALAM
ASPEK ONTOLIGI
Aliran Positivisme Hukum, memaknai “hakekat hukum” adalah norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan suatu negara. Dengan demikian dengan aliran ini peraturan perundang-undangan merupakan aturan hukum positif.
Aliran Hukum Alam/Kodrat memaknai “hakekat hukum” itu sebagai asas-asas kebenaran dan keadilan atau asas-asas moral yang bersifat kodrati dan berlaku universal. Dengan demikian dimana pun berlaku prinsip bahwa tindakan yang im-moral merupakan tindakan yang tidak benar, tidak adil dan melanggar hukum.

ASPEK EPISTEMOLOGY

ALIRAN POSITIVISME HUKUM
ALIRAN HUKUM ALAM
ASPEK EPISTEMOLOGY

doktrinal deduktif
doktrinal deduktif


ASPEK AKSIOLOGI
Menurut Sidharta, Aksiologi Hukum (ajaran tentang nilai hukum) dikaitkan dengan tujuan hukum, yaitu sebagai berikut :


ALIRAN POSITIVISME HUKUM
ALIRAN HUKUM ALAM
ASPEK AKSIOLOGI
Positivisme Hukum, aspek aksiologis diperjuangkan nilai “kepastian hukum”, dengan sumber hukum formal berupa Peraturan Perundang-Undangan. Hal ini dapat diwujudkan melalui asas legalitas yang merupakan rokh (spirit) dari Positivisme Hukum.
Aliran Hukum Alam / Kodrat, karena senantiasa membebaskan diri dari keterikatan waktu (kekinian), ruang, dalam mana hukum dipandang berlaku universal dan abadi. Maka bisa dikatakan “aksiologi hukum” sebagai nilai abadi dari hukum adalah “keadilan” yang juga bersifat abadi (eterna justice).

Kamis, 23 November 2017

Aturan dan Sumber hukum perusahaan

Aturan dan Sumber hukum perusahaan

Aturan dan Sumber hukum perusahaanAturan dan Sumber hukum perusahaan adalah setiap pihak yang menciptakan kaidah atau ketentuan hukum perusahaan. Pihak-pihak tersebut dapat berupa badan legislatif yang menciptakan undang-undang, pihak-pihak yang mengadakan perjanjian menciptakan kontrak, hakim yang memutuskan perkara menciptakan yudisprudensi, ataupun masyarakat pengusaha yang menciptakan kebiasaan (konvensi) dalam kegiatan usaha. Jadi, hukum perusahaan itu terdiri atas kaidah atau ketentuan yang tersebar dalam perundang-undangan, kontrak, yurisprudensi, dan kebiasaan (konvensi) yang menjadi acuan dalam kegiatan usaha (bisnis).

1.        PERUNDANG-UNDANGAN.
Berdasarkan ketentuan pasal 1319 BW menyatakan bahwa semua perjanjian, baik bernama maupun tidak bernama tunduk pada ketentuan yang termuat dalam bab ini atau bab yang yang lalu. Yang dimaksud pada bab ini adalah bab kedua perikatan yang timbul dari perjanjian, sedangkan yang dimaksud dengan bab yang lalu adalah bab kesatu tentang perikatan pada umumnya. Kedua bab tersebut terdapat dalam buku III BW yang mengatur tentang perikatan (verbintenis). Dalam hal ini, BW berkedudukan sebagai hukum umum (lex generalis).
Dalam ketentuan Pasal 1 KUHD menyatakan bahwa kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku juga bagi perjanjian yang diatur di dalam kitab undang-undang ini, sekedar dalam undang-undang ini tidak diatur secara khusus menyimpang. Dalam hal ini, KUHD berkedudukan sebagai hukum yang khusus (lex spesialis).
Selain dari pada ketentuan yang masih berlaku di dalam BW dan KUHD, juga sudah diundangkan banyak sekali undang-undang yang dibuat oleh pembuat undang-undang RI yang mengatur tentang perusahaan, antara lain mengenai:
  1. Perusahaan perindustrian.
  2. Perusahaan perdagangan.
  3. Perusahaan jasa (pelayanan), dan.
  4. Perusahaan pembiayaan.
2.        KONTRAK PERUSAHAAN.
Kontrak perusahaan merupakan sumber utama dan kewajiban serta tanggung jawab pihak-pihak. jika terjadi suatu perselisihan mengenai pemenuhan hak dan kewajiban, pihak-pihak juga telah sepakat untuk menyelesaikan secara damai. Namun adabila dalam perselisihan tidak bisa diselesaikan secara damai atau tidak ditemukan kata sepakat, maka penyelesaian perselisihan tersebut selanjutnya akan diselesaikan melalui pengadilan umum atau melalui arbitrase sebagaimana secara tegas telah diatur di dalam kontrak.

3.      YURISPRUDENSI
Yurisprudensi merupakan salah satu sumber bagi hukum perusahaan yang dapat diikuti oleh pihak-pihak apabila terjadi sengketa perihal pemenuhan hak dalam suatu kewajiban tertentu. Di dalam yurisprudensi perihal hak dan kewajiban yang telah ditetapkan oleh hakim dipandang sebagai dasar yang adil dalam menyelesaikan sengketa hak dan kewajiban antar para pihak. melalui yurisprudensi, hakim dapat menentukan pendekatan terhadap sistem hukum yang berlainan, misalnya sistem hukum Anglo Saxon. Dengan demikian, kekosongan hukum dapat diatasi sehingga adanya perlindungan hukum terutama bagi kepentingan pihak yang menanamkan modal atau para pengusaha yang berada di Indonesia.

4.        KEBIASAAN.
Kebiasaan dapat menjadi salah satu sumber hukum yang dapat diikuti oleh pengusaha. Dalam perundang-undangan serta perjanjian tidak semua hal mengenai pemenuhan hak dan kewajiban itu diatur. Apabila tidak terdapat pengaturannya maka kebiasaan yang berlaku dan berkembang di dalam kalangan pengusaha dalam menjalankan perusahaan dapat diikuti agar tercapainya tujuan yang telah disepakati.
Dalam praktiknya kebiasaan yang biasanya dapat diikuti oleh perusahaan itu harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
  1. Perbuatan yang bersifat keperdataan.
  2. Mengenai hak dan kewajiban yang seharusnya dipenuhi.
  3. Tidak bertentangan dengan undang-undang atau kepatutan.
  4. Diterima oleh pihak-pihak secara sukarela karena dianggap hal yang logis dan patut.
  5. Menuju akibat hukum yang dikehendaki oleh pihak-pihak.


Apabila kebiasaan itu bertaraf internasional, disetujui oleh negara-negara penanda tangan yang dituangkan dalam bentuk konvensi internasional, seperti hague rules, international commercial term 1990 di bidang angkatan laut.


Senin, 20 November 2017

PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN YANG TIDAK DAPAT DITUNTUT DI DEPAN HUKUM

PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN YANG TIDAK DAPAT DITUNTUT DI DEPAN HUKUM - Penerapan Diskresi Kepolisian yang tidak dapat dituntut didepan hukum tentunya adalah diskresi kepolisian yang memiliki dasar hukum untuk melakukan diskresi seperti yang diatur dalam Pasal 18 Undang- undang No. 2 Tahun 2002 dan Pasal 7 KUHAP, namun tentunya kewenangan ini dapat dilakukan dengan pertimbangan tertentu sebgai batasan- batasan. Jadi, kewenangan diskresi kini tidak unlimited.  Tindakan diskresi oleh polisi dibatasi oleh:
  1. Asas keperluan, bahwa tindakan itu harus benar-benar diperlukan.
  2. Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian.
  3. Asas tujuan, bahwa tindakan yang paling tepat untuk meniadakan suatu gangguan atau tidak terjadinya suatu kekhawatiran terhadap akibat yang lebih besar .
  4. Asas keseimbangan, bahwa dalam mengambil tindakan harus diperhitungkan keseimbangan antara sifat tindakan atau sasaran yang digunakan dengan besar kecilnya gangguan atau berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak (MABESPOLRI, 2002:132).


Langkah kebijaksanaan yang diambil polisi itu biasanya sudah banyak dimengerti oleh komponen-komponen fungsi didalam sistem peradilan pidana. terutama oleh jaksa. Langkah kebijaksanaan yang diambil oleh polisi itu menurut M. Faal biasanya dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
  1. Penggunaan hukum adat setempat dirasa lebih efektif dibanding dengan hukum positif yang berlaku.
  2. Hukum setempat lebih dapat dirasakan oleh para pihak antara pelaku, korban dan masyarakat.
  3. Kebijaksanaan yang ditempuh lebih banyak manfaat dari pada semata-mata menggunakan hukum positif yang ada.
  4. Atas kehendak mereka sendiri.
  5. Tidak bertentangan dengan kepentingan umum

Minggu, 19 November 2017

DISKRESI DALAM PELAKSANAAN TUGAS KEPOLISIAN

DISKRESI DALAM PELAKSANAAN TUGAS KEPOLISIAN - Sebelum kita membicarakan pelaksanaan Diskresi Kepoloisian dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas- tugas kepolisian maka perlu kita terlebih dahulu mengenal Etika Profesi Kepolisian, sebagai hal yang sangat fundamental dan penting dan besar pengaruhnya terhadap baik- buruknya pelaksanaan Diskresi Kepolisian.  Etika profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral yang meliputi pada pengabdian, kelembagaan dan kenegaraan, selanjutnya disusun kedalam Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Etika profesi kepolisian terdiri dari :
  1. Etika pengabdian/kepribadian merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,  penegak hukum serta pelindung,  pengayom dan pelayan masyarakat.
  2. Etika kelembagaan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap institusinya yang menjadi wadah pengabdian yang patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua insan Bhayangkara dan segala martabat dan kehormatannya.
  3. Etika kenegaraan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk senantiasa bersikap netral,  mandiri dan  tidak terpengaruh oleh kepentingan politik, golongan dalam rangka menjaga tegaknya hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kode etik profesi Polri mencakup norma prilaku dan moral yang dijadikan pedoman sehingga menjadi pendorong semangat dan rambu nurani bagi setiap anggota untuk pemulihan profesi kepolisian agar dijalankan sesuai tuntutan dan harapan masyarakat. Jadi polisi harus benar-benar jadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, serta sebagai penegak hukum yang bersih agar tercipta clean governance dan good governance.

Tindakan diskresi yang diputuskan oleh petugas operasional di lapangan secara langsung pada saat itu juga dan tanpa meminta petunjuk atau keputusan dari atasannya adalah diskresi yang bersifat individual, sebagai contoh untuk menghindari terjadinya penumpukan arus lalu lintas di suatu ruas jalan, petugas kepolisian memberi isyarat untuk terus berjalan kepada pengemudi kendaaraan meskipun saat itu lampu pengatur lalu lintas berwarna merah dan sebagainya.

Adapun tindakan untuk mengesampingkan perkara, untuk menahan atau tidak melakukan penahanan terhadap tersangka/pelaku pelanggaran hukum atau menghentikan proses penyidikan, bukanlah tindakan diskresi individual petugas kepolisian. Tindakan tersebut merupakan tindakan diskresi birokrasi karena dalam pengambilan keputusan diskresi berdasarkan atau berpedoman pada kebijaksanaan–kebijaksanaan pimpinan dalam organisasi dan hal tersebut telah dijadikan kesepakatan diantara mereka.
Selain pantas untuk dilakukan diskresi juga merupakan hal yang penting bagi pelaksanaan tugas polisi karena :
  1. Undang-undang ditulis dalam bahasa yang terlalu umum untuk bisa dijadikan petunjuk pelaksanaan sampai detail bagi petugas dilapangan;
  2. Hukum adalah sebagai alat untuk mewujudkan keadilan dan menjaga ketertiban dan tindakan hukum bukanlah satu-satunya jalan untuk mencapai hal tersebut;
  3. Pertimbangan sumber daya dan kemampuan dari petugas kepolisian.
James Q Wilson mengemukakan ada empat tipe situasi tindakan diskresi yang mungkin dilaksanakan, yaitu :
  1. police-invoked law enforcement, petugas cukup luas alasannya untuk melakukan tindakan diskresi, tetapi kemungkinannya dimodifikasi oleh kebijaksanaan pimpinannya;
  2. citizen-invoked law enforcement, diskresi sangat kecil kemungkinan dilaksanakan, karena inisiatornya adalah masyarakat;
  3. police-invoked order maintenance, diskresi dan pengendalian pimpinan seimbang (intermidiate), apakah pimpinannya akan memerintahkan take it easy atau more vigorous; dan
  4. citizen-invoked order maintenance, pelaksanaan diskresi perlu dilakukan walau umumnya kurang disetujui oleh atasannya.

Dalam kenyataannya hukum memang tidak bisa secara kaku untuk diberlakukan kepada siapapun dan dalam kondisi apapun seperti yang tercantum dalam bunyi perundang-undangan. Pandangan yang sempit didalam hukum pidana bukan saja tidak sesuai dengan tujuan hukum pidana, tetapi akan membawa akibat kehidupan masyarakat menjadi berat, susah dan tidak menyenangkan. Hal ini dikarenakan segala gerak aktivitas masyarakat diatur atau dikenakan sanksi oleh peraturan. Jalan keluar untuk mengatasi kekuatan-kekuatan itu oleh hukum adalah diserahkan kepada petugas penegak hukum itu sendiri untuk menguji setiap perkara yang masuk didalam proses, untuk selanjutnya diadakan penyaringan-penyaringan yang dalam hal ini disebut dengan diskresi.
Bila diskresi diterapkan secara salah maka akan terjadi penyimpangan, menurut Teori dari Klitgard ;1998  seperti yang dikutip Meliala (2000) untuk menjelaskan penyimpangan diskresi sebagai korupsi polisi tersebut adalah sebagai berikut:

C = P + D - A
Keterangan : C = Corruption, P = Power, D = Discretion, A = Accountability.

Jerimi Pope menyatakan :
Coruption involves behavior on the part of officials in the public sector; whether politician or civil servants, in wich they improperly and unlawfully enrich them selves or those close to them by the misuse of the public power entrusted them (Saputro paulus : 2000).

Diskresi yang dilakukan dalam menangani berbagai masalah atau pelanggaran hukum tidak ada aturan atau batasan yang jelas sehingga sering menyimpang dari ketentuan atau prinsip dari diskresi. Masalah dalam pelaksanaan diskresi yang dilakukan oleh polisi adalah : Pertama bersifat individual oleh petugas polisi di lapangan yang menjadi dasar adalah apa yang diketahui atau dimengerti oleh petugas dilapangan yang dianggap benar.

Pelaksanaan hukum secara selektif merupakan bentuk diskresi birokrasi di mana pengambil kebijaksanaan kepolisian menentukan prioritas organisasi kepada para petugas di lapangan. Ditinjau dari segi hukum pidana formal, tindakan Polisi untuk mengesampingkan perkara pidana tidak bisa dibenarkan begitu saja karena sifat hukum pidana yang tak kenal kompromi. Sedangkan alasan-alasan sosiologis yang biasa digunakan dalam praktek, bersifat subjektif dan sangat situasional dan ini memerlukan landasan hukum yang tegas agar terdapat kepastian hukum baik bagi penyidik maupun bagi masyarakat. Ditinjau dari pelaksanaan operasional Kepolisian, tindakan mengesampingkan perkara juga dilakukan, dengan pertimbangan masing-masing perkara itu bisa berbeda-antara satu tempat dengan tempat lain.

Tindakan tersebut di atas dilakukan oleh para petugas kepolisian dapat dikerenakan adanya kekaburan pemahaman hukum yang berkaitan dengan kewenangan diskresi, kebijaksanaan-kebijaksanaan dari para pejabat dalam birokrasi, yang mendukung atau merestui tindakan diskresi dijadikan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya dan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Hal tersebut juga dapat diakibatkan kurang baiknya sistem kontrol (pseudo control). Hal lain yang juga mempengaruhi adalah dari masyarakatnya yang kadang enggan untuk menyelesaikan perkaranya dengan jalur hukum.

Sabtu, 18 November 2017

PENGERTIAN HUKUM PERUSAHAAN

Ilustrasi Perusahaan

PENGERTIAN HUKUM PERUSAHAAN - Perusahaan adalah istilah ekonomi yang dipakai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan perundang-undangan di luar KUHD. Adapun pengertian perusahaan oleh beberapa ahli adalah sebagai berikut:
Menurut Molengraaff (1966), perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, bertindak ke Iuar, untuk memperoleh penghasilan, dengan cara memperdagangkan atau menyerahkan barang atau mengadakan perjanjian perdagangan. Beliau memandang pengertian perusahaan dari sudut ekonomi karena tujuan memperoleh penghasilan dilakukan dengan cara:
  1. Memperdagangkan barang, artinya membeli barang dan menjualnya lagi dengan perhitungan memperoleh penghasilan berupa keuntungan atau Iaba;
  2. Menyerahkan barang, artinya melepaskan penguasaan atas barang dengan perhitungan memperoleh penghasilan, misalnya menyewakan barang;
  3. Perjanjian perdagangan, yaitu menghubungkan pihak yang satu dengan pihak yang lain dengan perhitungan memperoleh penghasilan berupa keuntungan atau laba bagi pemberi kuasa, dan upah bagi penerima kuasa, misalnya makelar, komisioner, agen perusahaan.


Polak (1935) memandang perusahaan dan sudut komersial, artinya baru dapat dikatakan perusahaan apabila diperlukan perhitungan laba dan rugi yang dapat diperkirakan dan dicatat dalam pembukuan. Di sini Polak menambahkan unsur pembukuan pada unsur-unsur lain seperti yang telah dikemukakan oleh Molengraaff.

Dalam Pasal 1 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan ditentukan: Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus-menerus dan didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wllayah negara Indonesia dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka dalam definisi perusahaan terdapat 2 (dua) unsur pokok, yaitu: Bentuk usaha yang berupa organisasi atau badan usaha, yang didirikan, bekerja dan berkedudukan dalam wilayah negara Indonesia. Dalam bahasa Inggris disebut company. Jenis usaha yang berupa kegiatan dalam bidang perekonomian (perindustrian, perdagangan, penjasaan, pembiayaan) dijalankan oleh badan usaha secara terus-menerus, dalam bahasa lnggris disebut business. Bentuk usaha adalah organisasi usaha atau badan usaha yang menjadi wadah penggerak setiap jenis usaha, yang disebut bentuk hukum perusahaan. Bentuk hukum perusahaan persekutuan dan badan hukum sudah diatur dengan undang-undang, Firma (Fa) dan Persekutuan Komanditer (CV) di atur dalam KUHD, Perseroan Terbatas (PT) diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, Koperasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992.

Kamis, 16 November 2017

Perbedaan Pemikiran Van Vollenhoven dan Ter Haar tentang Konsep Hukum Adat Serta Implikasinya Pada Praktek Hukum

Perbedaan Pemikiran Van Vollenhoven dan Ter Haar tentang Konsep Hukum Adat Serta Implikasinya Pada Praktek Hukum - Cornelis van Vollenhoven: mengangkat nilai-nilai hukum adat sebagai kodifikasi rakyat pribumi. “Elk volk heeft zijn waarde en beteekenis, en alle menschelijke gaven en talenten, in al hun verscheidenheid hebben aanspraak op volle ontplooiing.”[1] (Tiap-tiap bangsa mempunyai harga dan arti sendiri, dan semua karunia dan pepandaian yang diberikannya mempunyai hak untuk berkembang sepenuhnya).

Mengenai definisi hukum adat, C. Van Vollenhoven berpendapat bahwa apabila seorang hakim menghadapi kenyataan bahwa ada peraturan tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para warga masyarakat serta ada perasaan umum peraturan-peraturan itu harus dipertahankan oleh para penjabat hukum, maka peraturan-peraturan adat tadi bersifat hukum.[2] Pendapat tersebut dikemukakan dalam kaitannya untuk membedakan antara Adat dengan Hukum Adat.

Van Vollenhoven menempatkan hukum adat ke dalam suatu sistematika yang merupakan suatu ilmu pengetahuan tersendiri. Dari sekian banyak usaha serta hasil-hasilnya, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari karya-karyanya. Pertama, van Vollenhoven telah berhasil menghilangkan kesalahpahaman yang menyatakan bawha hukum adat adalah identik dengan hukum agama (dalam hal ini hukum Islam).

Kecuali dari pada itu, van Vollenhoven telah membela hukum adat terhadap ancaman pembuat undang-undang yang mendesak atau bahkan berusaha melengyapkan hukum adat. Untuk itu dia telah meyakinkan pembuat undang-undang, bahwa hukum adat merupakan hukum yang hidup dan memiliki sistem tersendiri. Selanjutnya, van Vollenhoven telah membagi wilayah hukum adat Indonesia ke dalam 19 lingkungan hukum adat atau adat rechts kringen. Pembagian tersebut sangat mempermudah untuk mempelajari hukum adat masing-masing daerah yang masing-masing memiliki ciri khas, sehingga diperoleh suatu ikhtisar yang sistematis dari hukum adat di Indonesia.[3] Dengan membentangkan secara luas dan mendalam tentang sistem hukum adat, van Vollenhoven telah meletakkan dasar bagi penelitian lebih lanjut terhadap hukum adat.

Pada masa politik etis, dimana pemerintah Hindia-Belanda berusaha untuk melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum, van Vollenhoven berperan dalam kegagalan merealisasi unifikasi hukum dan kodifikasi hukum perdata untuk golongan rakyat di Hindia Belanda. Pada tahun 1905, van Vollenhoven menentang kebijakan tersebut dan mengatakan bahwa hukum yang dicita-citakan Idenburg adalah hukum yang asing bagi orang-orang pribumi, tepat sama seperti hukum Romawi pada zaman dahulu dipaksakan ke tengah kehidupan orang-orang Belanda.[4]

Meskipun demikian, pada akhirnya rancangan undang-undang Idenburg tersebut diterima oleh parlemen, namun pendapat-pendapat van Vollenhoven kemudian disinyalir menjadi pemicu lahirnya amandemen Idsinga yang menegaskan kebijakan yang telah dikompromikan, ialah bahwa hukum rakyat yang tidak tertulis (hukum adat) hanya boleh digantikan hukum Eropa manakala dalam kehidupan sehari-hari rakyat pribumi itu memang benar-benar memerlukan hukum itu.[5]

Pada tahun 1919, van Vollenhoven juga dengan keras menentang upaya pemerintah kolonial yang mencoba membawa golongan rakyat pribumi ke bawah yurisdiksi hukum kolonial yang diunifikasikan, akan tetapi yang secara sepihak cuma hendak merujuk ke hukum Eropa (yang dipandang superior) dengan mengabaikan nomenklatur-nomenklatur hukum adat (yang dianggap inferior).

Perlawanan-perlawanan itu diberikan dengan dalih Savignian, bahwa kebutuhan hukum penduduk pribumi sungguh berbeda dengan kebutuhan hukum orang-orang Eropa dan karena itu penerapan hukum Eropa secara sepihak akan mengancam ambruknya tatanan pribumi. Sesungguhnya van Vollenhoven tidaklah boleh dituduh begitu saja sebagai penolak ide unifikasi dan kodifikasi, ia hanya keberatan manakala hukum rakyat pribumi yang berkedudukan mayoritas harus diabaikan untuk membukakan jalan bagi diberlakukannya hukum Eropa. Ia mencoba memberikan contoh kecil bagaimana seyogyanya hukum kodifikasi dikembangkan secara khusus untuk orang-orang pribumi dengan memperhatikan sungguh-sungguh adat, hukum adat, dan kebutuhan hukum rakyat pribumi.[6] Hingga saat pecahnya perang Pasifik dan runtuhnya kekuasaan de facto pemerintahan kolonial di Hindia-Belanda, sekalipun ide unifikasi dan kodifikasi tetap dikukuhi bersama tetapi realisasinya dalam praktek tidak juga kunjung terwujud.[7]

Perkembangan yang terjadi sepanjang 4 dasawarsa pertama abad 20 adalah terbukanya pintu pendidikan ke arah ilmu dan budaya Eropa untuk anak-anak kaum elit pribumi, dan dengan demikian juga membukakan kesempatan untuk mereka guna memasuki posisi-posisi yang relatif tinggi dalam organ-organ pemerintahan dan peradilan di Hindia-Belanda.[8] Selanjutnya, munculnya kaum terpelajar dari kalangan pribumi, juga khususnya yang berkeahlian hukum dan ilmu hukum, membuka kesempatan untuk diakuinya hukum adat bahkan setelah kemerdekaan.

Barend ter Haar Bzn: mengembangkan dan merawat hukum adat melalui cara-cara common law, hakim sebagai legitimator hukum adat. Ter Haar merupakan salah satu murid van Vollenhoven yang meneruskan penelitiannya tentang hukum adat. Ia melanjutkan penelitian hukum adat dengan menyoroti lembaga hukum beserta interrelasinya dan faktor-faktor sosial (di luar hukum) yang mempengaruhi perkembangan hukum.

Ter Haar mengungkapkan bahwa Hukum Adat mencakup seluruh peraturan yang menjelma di dalam keputusan-keputusan pada penjabat hukum, yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta yang di dalam pelaksanaannya secara serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut. Keputusan tersebut dapat mengenai suatu persengketaan, akan tetapi juga dapat diambil berdasarkan kerukunan dan musyawarah.[9] Namun demikian, ter Haar juga menyatakan bahwa Hukum Adat dapat timbul dari keputusan para warga masyarakat.[10]

Ter Haar telah berusaha menempatkan hukum adat sejajar dengan ilmu-ilmu hukum positif lainnya. Dalam bukunya yang berjudul Beginselen en Stelsel van het Adatrecht, Ter Haar menguraikan secara sistematis masalah-masalah yang menyangkut masyarakat hukum adat, tanah, perjanjian, hukum keluarga, hukum perkawinan, hukum waris, dan lain sebagainya.

Sepanjang dasawarsa 1930-an, sampai pecahnya perang Pasifik tahun 1942, ter Haar berhasil mempertahankan hukum adat sebagai hukum yang hidup dan terpakai di badan-badan pengadilan negara (yang diselenggarakan khusus untuk memeriksa perkara-perkara orang-orang pribumi ialah landraad). Ter Haar berhasil mengukuhkan hukum adat atas dasar dan/atau atas kekuatan preseden-preseden yang dikembangkan dalam yurisprudensi landraad.[11]

Pada tahun 1930-an, banyak landraad sudah mulai diketuai oleh hakim-hakim banyak diantaranya berasal dari kalangan pribumi yang tahu benar bagaimana menghargai hukum adat, dan paham benar begaimana menemukan asas-asas hukum adat yang hidup di masyarakat untuk seterusnya diterapkan sebagai keputusan-keputusan yang mengikat. Lewat cara ini, hukum adat memperoleh bentuknya yang formal (sebagai hukum pengadilan negara), dan seterusnya tersistematisasi lewat yurisprudensi. Disadari atau tidak, ter Haar telah mengembangkan dan merawat hukum adat lewat cara yang dikenal dalam sistem common law.[12] Untuk mendapatkan pengakuan formil dalam undang-undang, ter Haar telah memperjuangkan pengakuan hak ulayat melalui “Volksraad”, komisi agraria 1928, maupun dalam advis komisi tahun 1938.[13]

Hukum adat, sebagaimana hukum rakyat pada umumnya, sebenarnya memiliki kekuatannya dalam wujud realitanya sebagai pola perilaku (pattern of actual behavior). Pengkodifikasiannya dan dengan demikian juga pengubahannya menjadi pola untuk mengatur perilaku (pattern of behavior) akan menghilangkan kekuatan dinamiknya. Sebenarnya ter Haar telah berhasil memodernisasi hukum adat, dan menyiapkannya untuk keperluan menata kehidupan rakyat di dalam lingkungan masyarakat negara. Ter Haar memodernisasi hukum adat hanya dalam ihwal forum dan fungsinya, namun tetap menyerahkan modernisasi (dalam arti pemutakhiran nilai) substansinya pada pengalaman masyarakat sendiri. Namuan para yuris saat ini tidak bisa memahami kenyataan bahwa hukum adat (dalam konteks nasional sekalipun) sebenarnya hanya akan menemukan kelestariannya kalau diperlakukan sebagai common law menurut konsep legal realism, dan tidak sebagai hukum kodifikasi yang dirawat berdasarkan konsep analytical jurisprudence.[14]

Intisari dari pokok pemikiran ter Haar ini dapat kita lihat dari rumusan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Rumusan tersebut mengakui nilai-nilai hukum adat sebagai nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Melalui kewajiban (atau bisa juga diartikan sebagai kewenangan) hakim dan hakim konstitusi tersebut, eksistensi hukum adat dapat dijaga melalui putusan pengadilan. Pencantumannya secara tertulis dalam undang-undang tidak terlepas dari sistem hukum negara Indonesia yang lebih condong ke arah sistem hukum civil law. Namun demikian, eksistensi hukum adat hanya dapat dijaga melalui praktek-praktek (law in action). Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut hanyalah sebagai tool atau alat, tetapi penerapannya tergantung dari hakim sebagai pihak yang berwenang untuk menerapkannya. Secara umum, belum banyak hakim yang menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kebanyakan hakim masih menganut paradigma positivistik, sehingga putusan-putusannya tidak mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa dan keadilan masyarakat, melainkan mencerminkan kemauan undang-undang (kehendak penguasa).



[1] Cornelis van Vollenhoven, dikutip dari Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981, hal. 101.
[2] C. van Vollenhoven, Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie, Dell III, hal. 398, dalam Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981, hal.15-16.
[3] Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981, hal. 55.
[4] Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, halaman 124.
[5] Ibid, hal. 126.
[6] Ibid, hal. 127.
[7] Ibid, hal. 10-11.
[8] Ibid.
[9] Ter Haar Bzn, Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie in Wetenschap, Practijk en Onderwijs, 193, dalam Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981, hal. 17.
[10] Ter Haar, De Rechtspraak can landraden naar ongenschreven Recht, 1930, dalam Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981, hal.17.
[11] Soetandyo Wignjosoebroto, Op.Cit., hal. 133.
[12] Ibid, hal. 134.
[13] Soekanto dan Soerjono Soekanto, Loc.Cit.,. halaman 58.
[14] Soetandyo Wignjosoebroto, op cit., hal. 135.