Tampilkan postingan dengan label adat istiadat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label adat istiadat. Tampilkan semua postingan

Selasa, 28 Juni 2022

MEKANISME PENYELESAIAN DELIK ADAT


Mekanisme penyelesaian delik adat
Mekanisme Penyelesaian Delik Adat


MEKANISME PENYELESAIAN DELIK ADAT yang diakibatkan oleh adanya gannguan terhadap keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat dapatlah ditempuh/diselesaikan melalui beberapa tahapan sebagaimana berikut:

  1. Penyelesaian antara pribadi, keluarga, Tetangga;

Jika terjadi suatu peristiwa atau perbuatan delik adat di kampung, dusun atau suatu permukiman maka untuk memulihkan gangguan keseimbangan keluarga atau masyarakat keluarga atau masyarakat yang bersangkutan diselesaikan langsung di tempat kejadian antara pribadi yang bersangkutan ataupun diselesaikan langsung dirumah keluarga salah satu pihak keluarga yang bersangkutan dalam kesatuan rukun tetanggan dan sebagainya.

Di kota-kota besar sering terjadi kecelakaan lalu lintas, baik itu antara pengendara dengan pengendara motor atau antara pengendara motor dengan para pejalan kaki. Akibat dari terjadi kecelakaan tersebut menyebabkan salah satu pihak menderita luka-luka dan sebagainya. Maka untuk menyelesaikan perselisihan tersebut biasanya kedua belah pihak melakukan kegiatan rembuk bersama (menyelesaikan) permasalahan di tempat kejadian untuk mencapai kata (damai).

Adakalanya perselisihan antara kedua pihak tersebut tidak menemukan titik temu penyelesaiaannya oleh kedua belah pihak maka dilibatkanlah pihak keluarga para pihak.

 

  1. Penyelesaian sengketa melalui jalur Kepala Kerabat atau kepala adat

Adakalanya pertemuan untuk penyelesaian sengketa secara kekeluargaan tidak menemukan titik temu (kesepakatan) maka perkera tersebut perlu untuk dilanjutkan kepada kepala kerabat atau kepala adat dari kedua belah pihak.

Penyelesaian pada tahapan ini dilibatkan para tetua adat karena ada anggapan orang tua bisa/dapat menyelesaikan berbagai hal permasalahan (sengketa) secara adil berdasarkan putusan-putusan adat dari permasalahan dari dahulu kala dan orang tua pada kebiasaannya lebih bijaksana dalam memberikan suatu bentuk keputusan.

 

  1. Penyelesaian sengketa melalui jalur kepala desa;

Apabila penyelesaian delik adat yang dilakukan pada tahap kekeluargaan dan di tingkatan kepala adat juga tidak ditemukan titik temu (kesepakatan damai)oleh para pihak yang bersengketa maka proses penyelesaian sengketa berlanjut pada jalur kepala desa (peradilan Adat Gampong).

Dalam masyarakat adat Aceh diketahui adanya suatu Lembaga Peradilan Adat Gampong, yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan 18 pokok perkara sengketa dalam kehidupan masyarakat adat (lihat Pasal 13 Qanun nomor 9 tahun 2008). Dalam hal menyelesaikan permasalahan tersebut seorang keuchik (aparatur gampong) dijadikan sebagai hakim adat untuk menyelesaikan pokok perkara.

Tujuan penyelesaian ini bukan untuk menemukan atau mencari siapa yang salah dan siapa yang benar melainkan mewujudkan kedamaian antara kedua belah pihak yang bersengketa dan para pihak dapat kembali lagi dalam kehidupan bermasyarakat dalam keadaan damai dan tentram.

 

  1. Penyelesaian sengketa melalui jalur keorganisasian (class action).

Class action adalah suatu cara yang diberikan kepada sekelompok orang yang mempunyai kepentingan dalam suatu masalah, baik seorang atau lebih anggotanya menggugat atau digugat sebagai perwakilan kelompok tanpa harus turut serta dari setiap anggota kelompok. Persyaratan umum yang perlu ada mencakup banyak orangnya, tuntutan kelompok lebih praktis, dan perwakilannya harus jujur dan adequate (layak). Dapat diterima oleh kelompok, dan mempunyai kepentingan hukum dan fakta dari pihak yang diwakili.

Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien, dan seseorang yang akan turut serta dalam class action harus memberikan persetujuan kepada perwakilan.

Istilah class Action dalam masyarakat adat terutama dalam permasalahan pengrusakan wilayah kekuasaan adat, dalam hal ini atas kerugian bagi masyarakat adat seorang ketua adat dapat memfasilitasi pelaku yang merugikan banyak pihak.

Kamis, 16 November 2017

Perbedaan Pemikiran Van Vollenhoven dan Ter Haar tentang Konsep Hukum Adat Serta Implikasinya Pada Praktek Hukum

Perbedaan Pemikiran Van Vollenhoven dan Ter Haar tentang Konsep Hukum Adat Serta Implikasinya Pada Praktek Hukum - Cornelis van Vollenhoven: mengangkat nilai-nilai hukum adat sebagai kodifikasi rakyat pribumi. “Elk volk heeft zijn waarde en beteekenis, en alle menschelijke gaven en talenten, in al hun verscheidenheid hebben aanspraak op volle ontplooiing.”[1] (Tiap-tiap bangsa mempunyai harga dan arti sendiri, dan semua karunia dan pepandaian yang diberikannya mempunyai hak untuk berkembang sepenuhnya).

Mengenai definisi hukum adat, C. Van Vollenhoven berpendapat bahwa apabila seorang hakim menghadapi kenyataan bahwa ada peraturan tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para warga masyarakat serta ada perasaan umum peraturan-peraturan itu harus dipertahankan oleh para penjabat hukum, maka peraturan-peraturan adat tadi bersifat hukum.[2] Pendapat tersebut dikemukakan dalam kaitannya untuk membedakan antara Adat dengan Hukum Adat.

Van Vollenhoven menempatkan hukum adat ke dalam suatu sistematika yang merupakan suatu ilmu pengetahuan tersendiri. Dari sekian banyak usaha serta hasil-hasilnya, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari karya-karyanya. Pertama, van Vollenhoven telah berhasil menghilangkan kesalahpahaman yang menyatakan bawha hukum adat adalah identik dengan hukum agama (dalam hal ini hukum Islam).

Kecuali dari pada itu, van Vollenhoven telah membela hukum adat terhadap ancaman pembuat undang-undang yang mendesak atau bahkan berusaha melengyapkan hukum adat. Untuk itu dia telah meyakinkan pembuat undang-undang, bahwa hukum adat merupakan hukum yang hidup dan memiliki sistem tersendiri. Selanjutnya, van Vollenhoven telah membagi wilayah hukum adat Indonesia ke dalam 19 lingkungan hukum adat atau adat rechts kringen. Pembagian tersebut sangat mempermudah untuk mempelajari hukum adat masing-masing daerah yang masing-masing memiliki ciri khas, sehingga diperoleh suatu ikhtisar yang sistematis dari hukum adat di Indonesia.[3] Dengan membentangkan secara luas dan mendalam tentang sistem hukum adat, van Vollenhoven telah meletakkan dasar bagi penelitian lebih lanjut terhadap hukum adat.

Pada masa politik etis, dimana pemerintah Hindia-Belanda berusaha untuk melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum, van Vollenhoven berperan dalam kegagalan merealisasi unifikasi hukum dan kodifikasi hukum perdata untuk golongan rakyat di Hindia Belanda. Pada tahun 1905, van Vollenhoven menentang kebijakan tersebut dan mengatakan bahwa hukum yang dicita-citakan Idenburg adalah hukum yang asing bagi orang-orang pribumi, tepat sama seperti hukum Romawi pada zaman dahulu dipaksakan ke tengah kehidupan orang-orang Belanda.[4]

Meskipun demikian, pada akhirnya rancangan undang-undang Idenburg tersebut diterima oleh parlemen, namun pendapat-pendapat van Vollenhoven kemudian disinyalir menjadi pemicu lahirnya amandemen Idsinga yang menegaskan kebijakan yang telah dikompromikan, ialah bahwa hukum rakyat yang tidak tertulis (hukum adat) hanya boleh digantikan hukum Eropa manakala dalam kehidupan sehari-hari rakyat pribumi itu memang benar-benar memerlukan hukum itu.[5]

Pada tahun 1919, van Vollenhoven juga dengan keras menentang upaya pemerintah kolonial yang mencoba membawa golongan rakyat pribumi ke bawah yurisdiksi hukum kolonial yang diunifikasikan, akan tetapi yang secara sepihak cuma hendak merujuk ke hukum Eropa (yang dipandang superior) dengan mengabaikan nomenklatur-nomenklatur hukum adat (yang dianggap inferior).

Perlawanan-perlawanan itu diberikan dengan dalih Savignian, bahwa kebutuhan hukum penduduk pribumi sungguh berbeda dengan kebutuhan hukum orang-orang Eropa dan karena itu penerapan hukum Eropa secara sepihak akan mengancam ambruknya tatanan pribumi. Sesungguhnya van Vollenhoven tidaklah boleh dituduh begitu saja sebagai penolak ide unifikasi dan kodifikasi, ia hanya keberatan manakala hukum rakyat pribumi yang berkedudukan mayoritas harus diabaikan untuk membukakan jalan bagi diberlakukannya hukum Eropa. Ia mencoba memberikan contoh kecil bagaimana seyogyanya hukum kodifikasi dikembangkan secara khusus untuk orang-orang pribumi dengan memperhatikan sungguh-sungguh adat, hukum adat, dan kebutuhan hukum rakyat pribumi.[6] Hingga saat pecahnya perang Pasifik dan runtuhnya kekuasaan de facto pemerintahan kolonial di Hindia-Belanda, sekalipun ide unifikasi dan kodifikasi tetap dikukuhi bersama tetapi realisasinya dalam praktek tidak juga kunjung terwujud.[7]

Perkembangan yang terjadi sepanjang 4 dasawarsa pertama abad 20 adalah terbukanya pintu pendidikan ke arah ilmu dan budaya Eropa untuk anak-anak kaum elit pribumi, dan dengan demikian juga membukakan kesempatan untuk mereka guna memasuki posisi-posisi yang relatif tinggi dalam organ-organ pemerintahan dan peradilan di Hindia-Belanda.[8] Selanjutnya, munculnya kaum terpelajar dari kalangan pribumi, juga khususnya yang berkeahlian hukum dan ilmu hukum, membuka kesempatan untuk diakuinya hukum adat bahkan setelah kemerdekaan.

Barend ter Haar Bzn: mengembangkan dan merawat hukum adat melalui cara-cara common law, hakim sebagai legitimator hukum adat. Ter Haar merupakan salah satu murid van Vollenhoven yang meneruskan penelitiannya tentang hukum adat. Ia melanjutkan penelitian hukum adat dengan menyoroti lembaga hukum beserta interrelasinya dan faktor-faktor sosial (di luar hukum) yang mempengaruhi perkembangan hukum.

Ter Haar mengungkapkan bahwa Hukum Adat mencakup seluruh peraturan yang menjelma di dalam keputusan-keputusan pada penjabat hukum, yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta yang di dalam pelaksanaannya secara serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut. Keputusan tersebut dapat mengenai suatu persengketaan, akan tetapi juga dapat diambil berdasarkan kerukunan dan musyawarah.[9] Namun demikian, ter Haar juga menyatakan bahwa Hukum Adat dapat timbul dari keputusan para warga masyarakat.[10]

Ter Haar telah berusaha menempatkan hukum adat sejajar dengan ilmu-ilmu hukum positif lainnya. Dalam bukunya yang berjudul Beginselen en Stelsel van het Adatrecht, Ter Haar menguraikan secara sistematis masalah-masalah yang menyangkut masyarakat hukum adat, tanah, perjanjian, hukum keluarga, hukum perkawinan, hukum waris, dan lain sebagainya.

Sepanjang dasawarsa 1930-an, sampai pecahnya perang Pasifik tahun 1942, ter Haar berhasil mempertahankan hukum adat sebagai hukum yang hidup dan terpakai di badan-badan pengadilan negara (yang diselenggarakan khusus untuk memeriksa perkara-perkara orang-orang pribumi ialah landraad). Ter Haar berhasil mengukuhkan hukum adat atas dasar dan/atau atas kekuatan preseden-preseden yang dikembangkan dalam yurisprudensi landraad.[11]

Pada tahun 1930-an, banyak landraad sudah mulai diketuai oleh hakim-hakim banyak diantaranya berasal dari kalangan pribumi yang tahu benar bagaimana menghargai hukum adat, dan paham benar begaimana menemukan asas-asas hukum adat yang hidup di masyarakat untuk seterusnya diterapkan sebagai keputusan-keputusan yang mengikat. Lewat cara ini, hukum adat memperoleh bentuknya yang formal (sebagai hukum pengadilan negara), dan seterusnya tersistematisasi lewat yurisprudensi. Disadari atau tidak, ter Haar telah mengembangkan dan merawat hukum adat lewat cara yang dikenal dalam sistem common law.[12] Untuk mendapatkan pengakuan formil dalam undang-undang, ter Haar telah memperjuangkan pengakuan hak ulayat melalui “Volksraad”, komisi agraria 1928, maupun dalam advis komisi tahun 1938.[13]

Hukum adat, sebagaimana hukum rakyat pada umumnya, sebenarnya memiliki kekuatannya dalam wujud realitanya sebagai pola perilaku (pattern of actual behavior). Pengkodifikasiannya dan dengan demikian juga pengubahannya menjadi pola untuk mengatur perilaku (pattern of behavior) akan menghilangkan kekuatan dinamiknya. Sebenarnya ter Haar telah berhasil memodernisasi hukum adat, dan menyiapkannya untuk keperluan menata kehidupan rakyat di dalam lingkungan masyarakat negara. Ter Haar memodernisasi hukum adat hanya dalam ihwal forum dan fungsinya, namun tetap menyerahkan modernisasi (dalam arti pemutakhiran nilai) substansinya pada pengalaman masyarakat sendiri. Namuan para yuris saat ini tidak bisa memahami kenyataan bahwa hukum adat (dalam konteks nasional sekalipun) sebenarnya hanya akan menemukan kelestariannya kalau diperlakukan sebagai common law menurut konsep legal realism, dan tidak sebagai hukum kodifikasi yang dirawat berdasarkan konsep analytical jurisprudence.[14]

Intisari dari pokok pemikiran ter Haar ini dapat kita lihat dari rumusan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Rumusan tersebut mengakui nilai-nilai hukum adat sebagai nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Melalui kewajiban (atau bisa juga diartikan sebagai kewenangan) hakim dan hakim konstitusi tersebut, eksistensi hukum adat dapat dijaga melalui putusan pengadilan. Pencantumannya secara tertulis dalam undang-undang tidak terlepas dari sistem hukum negara Indonesia yang lebih condong ke arah sistem hukum civil law. Namun demikian, eksistensi hukum adat hanya dapat dijaga melalui praktek-praktek (law in action). Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut hanyalah sebagai tool atau alat, tetapi penerapannya tergantung dari hakim sebagai pihak yang berwenang untuk menerapkannya. Secara umum, belum banyak hakim yang menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kebanyakan hakim masih menganut paradigma positivistik, sehingga putusan-putusannya tidak mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa dan keadilan masyarakat, melainkan mencerminkan kemauan undang-undang (kehendak penguasa).



[1] Cornelis van Vollenhoven, dikutip dari Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981, hal. 101.
[2] C. van Vollenhoven, Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie, Dell III, hal. 398, dalam Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981, hal.15-16.
[3] Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981, hal. 55.
[4] Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, halaman 124.
[5] Ibid, hal. 126.
[6] Ibid, hal. 127.
[7] Ibid, hal. 10-11.
[8] Ibid.
[9] Ter Haar Bzn, Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie in Wetenschap, Practijk en Onderwijs, 193, dalam Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981, hal. 17.
[10] Ter Haar, De Rechtspraak can landraden naar ongenschreven Recht, 1930, dalam Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981, hal.17.
[11] Soetandyo Wignjosoebroto, Op.Cit., hal. 133.
[12] Ibid, hal. 134.
[13] Soekanto dan Soerjono Soekanto, Loc.Cit.,. halaman 58.
[14] Soetandyo Wignjosoebroto, op cit., hal. 135.

Senin, 23 Oktober 2017

HARI PANTANG MELAUT DALAM MASYARAKAT ADAT ACEH

Uroe pantang meulaot (hari pantang melaut dalam masyarakat adat Aceh

HARI PANTANG MELAUT DALAM MASYARAKAT ADAT ACEH – Terdapat beberapa lembaga adat yang masih berkembang semenjak zaman dulu sampai dengan sekarang dalam kehidupan masyarakat adat Aceh salah satunya adalah lembaga adat laot[1]. Lembaga adat laot dipimpin oleh seorang Panglima Laot.[2] Dari beberapa sumber menyatakan Panglima Laot telah berada pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda pada tahun (1607-1636) dan kurang lebih sudah 410 Tahun yang lalu dimana tugas dari seorang panglima Laot dipercayai sebagai petugas pemugut cukai pada tiap kapal-kapal yang bersandar di pelabuhan dan sebagai penghubung antara pihak pemerintahan dan pihak nelayan.

Istilah uroe pantang meulaot pada hukum adat laot Aceh dapat diartikan sebagai hari larangan bagi para nelayan untuk melaut. Adapun hari-hari pantang melaut (uroe pantang meulaot) dalam adat laot aceh adalah sebagai berikut:
  1.  1 (satu) hari pada hari Jum’at;
  2.  2 (dua) hari pada hari raya Idul Fitri;
  3. 4 (empat) hari pada hari raya Idul Adha;
  4. 1 (satu) hari pada hari perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yaitu pada Tangga 17 Agustus;
  5. 1 (satu) hari pada peringatan musibah Tsunami di Aceh tanggal 26 (dua puluh enam) Desember; dan.
  6. 3 (tiga) hari pada waktu pelaksaan kenduri Laut.


Terdapat beberapa sanksi jika para nelayan tidak memenuhi atau melanggar aturan adat laot di Aceh maka pihak yang melanggar akan diberikan hukuman yang berupa pertama, seluruh hasil tangkapan akan disita oleh pihak lembaga adat laot dalam hal ini dipimpin oleh Panglima Laot. Kedua, nelayan yang melanggar adat laot selain disita hasil tangkapan juga akan dikenakan sanksi larangan melaut paling cepat 3 (tiga) hari dan paling lama 7 (tujuh) hari.



[1] Laot merupakan arti dari kata laut.
[2] Panglima Laot adalah orang yang memimpin dan mengatur adat dan reusam pada wilayah pesisir dan laut.

Minggu, 09 Juli 2017

PENGERTIAN HUKUM ADAT


PENGERTIAN HUKUM ADAT
Pengertian Hukum Adat - Hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia hidup bermasyarakat. Sejak manusia itu diturunkan Tuhan ke muka bumi, maka ia memulai hidupnya berkeluarga, kemudian bermasyarakat dan kemudian bernegara. Terjadinya hukum dimulai dari pribadi manusia yang diberikan oleh Tuhan berupa akal, pikiran serta perilaku. Prilaku yang terus menerus dilakukan oleh perorangan sehingga menimbulkan suatu kebiasaan pribadi. Apabila kebiasaan pribadi itu ditiru oleh orang lain maka ia juga akan menjadi kebiasaan sehingga lambat laun diantara orang satu dan orang yang lain di dalam suatu kesatuan masyarakat akan mengikuti atau mengikuti kebiasaan tersebut, dan akan menjadi suatu kebiasaan baru pada suatu masyarakat tersebut.
Hukum adat merupakan produk dari budaya yang mengandung substansi tentang nilai-nilai budaya cipta, karsa, dan rasa manusia. dalam artinya bahwa hukum adat lahir dari kesadaran atas kebutuhan dan keinginan manusia untuk hidup secara adil dan beradab sebagai aktualisasi peradaban manusia. Selain itu hukum adat juga merupakan produk sosial yaitu sebagai hasil kerja bersama (kesepakatan) dan merupakan karya bersama secara bersama (milik sosial) dari suatu masyarakat hukum adat.[1]
Adat merupakan suatu kebiasaan masyarakat dan kelompok-kelompok masyarakat lambat laun menjadikan adat itu sebagai adat yang seharusnya berlaku bagi semua anggota masyarakat sehingga menjadi hukum adat. Jadi hukum adat adalah adat yang diterima dan harus dilaksanakan dalam masyarakat bersangkutan.[2]
Hukum berasal dari bahasa Belanda yaitu recht, sedangkan Adat berasal dari bahasa Arab yang artinya kebiasaan. Sedangkan istilah hukum adat itu berasal dari terjemahan bahasa Belanda yaitu adat-recht, istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Snouck Hurgronje dan pernah dipakai oleh Van Vollenhoven dalam menulis buku-bukunya yang mengenai hukum adat. Hukum adat merupakan suatu istilah penamaan yang digunakan untuk menyebut hukum yang berlaku bagi masyarakat asli di Indonesia.
Walaupun pemerintah sudah mengakui keberadaannya hukum adat, tetapi masyarakat Indonesia asli belum mengetahui seperti apa berlakunya hukum adat tersebut. Sehingga dalam penyebutannya dalam peraturan perundang-undangan masih banyak digunakan istilah yang berbeda-beda.
Dalam arti sempit hukum adat adalah hukum asli yang tidak tertulis yang hidup dalam kebiasaan masyarakat asli Indonesia dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari, dalam hubungan antara orang yang satu dengan yang lainnya. Di samping yang tidak tertulis ada juga yang tertulis seperti piagam, prasasti, perintah-perintah raja. Di bawah ini terdapat beberapa definisi hukum adat menurut para sarjana:[3]
a)      B. Terhaar Bzn.
Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan dari kepala-kepala adat dan berlaku secara spontan dalam masyarakat. Terhaar terkenal dengan teori Keputusan artinya bahwa untuk melihat apakah sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari sikap penguasa masyarakat hukum terhadap sipelanggar peraturan adat-istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan putusan hukuman terhadap sipelanggar maka adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat.
b)      Cornelis van Vollen Hoven
Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang berlaku dan mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan.
c)      Sukanto
Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang pada umumnya tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum.
d)     J.H.P. Bellefroit
Hukum adat sebagai peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh penguasa, tetapi tetap dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.
e)      Soeroyo Wignyodipuro.
Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagaian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat karena mempunyai akibat hukum (sanksi).
f)       Soepomo.
Hukum adat adalah hukum tidak tertulis di dalam peraturan tidak tertulis, meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Dari batasan-batasan yang dikemukakan di atas, maka terlihat unsur-unsur dari pada hukum adat adalah sebagai berikut:
a)      Adanya tingkah laku yang dilakukan secara terus-menerus oleh masyarakat.
b)      Tingkah laku tersebut bersifat teratur dan sistematis.
c)      Tingkah laku tersebut mempunyai nilai-nilai yang sakral.
d)     Adanya keputusan dari kepala adat.
e)      Adanya sanksi atau akibat hukum.
f)       Tidak tertulis, dan.
g)      Ditaati dalam kehidupan masyarakat.




[1] Djamanat Samosir, Hukum Adat Indonesia, Penerbit Nuansa Aulia, Bandung, 2013, hal 2.
[2] Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2003, hal 1.
[3] Iman Sudiyat, Asas- Asas Hukum Adat Bekal Pengantar Cetakan ke.-5, Liberty, Yogyakarta, 2010, hal 1-2.