Perbedaan Pemikiran Van
Vollenhoven dan Ter Haar tentang Konsep Hukum Adat Serta Implikasinya Pada
Praktek Hukum - Cornelis van Vollenhoven: mengangkat nilai-nilai
hukum adat sebagai kodifikasi rakyat pribumi. “Elk volk heeft zijn waarde en beteekenis, en alle menschelijke gaven
en talenten, in al hun verscheidenheid hebben aanspraak op volle ontplooiing.”[1]
(Tiap-tiap bangsa mempunyai harga dan arti sendiri, dan semua karunia dan
pepandaian yang diberikannya mempunyai hak untuk berkembang sepenuhnya).
Mengenai definisi hukum adat, C. Van Vollenhoven
berpendapat bahwa apabila seorang hakim menghadapi kenyataan bahwa ada
peraturan tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para
warga masyarakat serta ada perasaan umum peraturan-peraturan itu harus
dipertahankan oleh para penjabat hukum, maka peraturan-peraturan adat tadi
bersifat hukum.[2]
Pendapat tersebut dikemukakan dalam kaitannya untuk membedakan antara Adat
dengan Hukum Adat.
Van Vollenhoven menempatkan hukum adat ke dalam
suatu sistematika yang merupakan suatu ilmu pengetahuan tersendiri. Dari sekian
banyak usaha serta hasil-hasilnya, ada beberapa hal yang perlu mendapat
perhatian dari karya-karyanya. Pertama, van Vollenhoven telah berhasil
menghilangkan kesalahpahaman yang menyatakan bawha hukum adat adalah identik
dengan hukum agama (dalam hal ini hukum Islam).
Kecuali dari pada itu, van Vollenhoven telah membela
hukum adat terhadap ancaman pembuat undang-undang yang mendesak atau bahkan
berusaha melengyapkan hukum adat. Untuk itu dia telah meyakinkan pembuat
undang-undang, bahwa hukum adat merupakan hukum yang hidup dan memiliki sistem
tersendiri. Selanjutnya, van Vollenhoven telah membagi wilayah hukum adat
Indonesia ke dalam 19 lingkungan hukum adat atau adat rechts kringen. Pembagian tersebut sangat mempermudah untuk
mempelajari hukum adat masing-masing daerah yang masing-masing memiliki ciri
khas, sehingga diperoleh suatu ikhtisar yang sistematis dari hukum adat di
Indonesia.[3] Dengan
membentangkan secara luas dan mendalam tentang sistem hukum adat, van
Vollenhoven telah meletakkan dasar bagi penelitian lebih lanjut terhadap hukum
adat.
Pada masa politik etis, dimana pemerintah
Hindia-Belanda berusaha untuk melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum, van
Vollenhoven berperan dalam kegagalan merealisasi unifikasi hukum dan kodifikasi
hukum perdata untuk golongan rakyat di Hindia Belanda. Pada tahun 1905, van
Vollenhoven menentang kebijakan tersebut dan mengatakan bahwa hukum yang
dicita-citakan Idenburg adalah hukum
yang asing bagi orang-orang pribumi, tepat sama seperti hukum Romawi pada zaman
dahulu dipaksakan ke tengah kehidupan orang-orang Belanda.[4]
Meskipun demikian, pada akhirnya rancangan
undang-undang Idenburg tersebut diterima oleh parlemen, namun pendapat-pendapat
van Vollenhoven kemudian disinyalir menjadi pemicu lahirnya amandemen Idsinga
yang menegaskan kebijakan yang telah dikompromikan, ialah bahwa hukum rakyat
yang tidak tertulis (hukum adat) hanya boleh digantikan hukum Eropa manakala
dalam kehidupan sehari-hari rakyat pribumi itu memang benar-benar memerlukan
hukum itu.[5]
Pada tahun 1919, van Vollenhoven juga dengan keras
menentang upaya pemerintah kolonial yang mencoba membawa golongan rakyat
pribumi ke bawah yurisdiksi hukum kolonial yang diunifikasikan, akan tetapi yang
secara sepihak cuma hendak merujuk ke hukum Eropa (yang dipandang superior)
dengan mengabaikan nomenklatur-nomenklatur hukum adat (yang dianggap inferior).
Perlawanan-perlawanan itu diberikan dengan dalih
Savignian, bahwa kebutuhan hukum penduduk pribumi sungguh berbeda dengan
kebutuhan hukum orang-orang Eropa dan karena itu penerapan hukum Eropa secara
sepihak akan mengancam ambruknya tatanan pribumi. Sesungguhnya van Vollenhoven
tidaklah boleh dituduh begitu saja sebagai penolak ide unifikasi dan kodifikasi,
ia hanya keberatan manakala hukum rakyat pribumi yang berkedudukan mayoritas
harus diabaikan untuk membukakan jalan bagi diberlakukannya hukum Eropa. Ia
mencoba memberikan contoh kecil bagaimana seyogyanya hukum kodifikasi
dikembangkan secara khusus untuk orang-orang pribumi dengan memperhatikan
sungguh-sungguh adat, hukum adat, dan kebutuhan hukum rakyat pribumi.[6]
Hingga saat pecahnya perang Pasifik dan runtuhnya kekuasaan de facto
pemerintahan kolonial di Hindia-Belanda, sekalipun ide unifikasi dan kodifikasi
tetap dikukuhi bersama tetapi realisasinya dalam praktek tidak juga kunjung
terwujud.[7]
Perkembangan yang terjadi sepanjang 4 dasawarsa
pertama abad 20 adalah terbukanya pintu pendidikan ke arah ilmu dan budaya
Eropa untuk anak-anak kaum elit pribumi, dan dengan demikian juga membukakan
kesempatan untuk mereka guna memasuki posisi-posisi yang relatif tinggi dalam
organ-organ pemerintahan dan peradilan di Hindia-Belanda.[8]
Selanjutnya, munculnya kaum terpelajar dari kalangan pribumi, juga khususnya
yang berkeahlian hukum dan ilmu hukum, membuka kesempatan untuk diakuinya hukum
adat bahkan setelah kemerdekaan.
Barend ter Haar Bzn: mengembangkan dan merawat hukum
adat melalui cara-cara common law, hakim sebagai legitimator hukum adat. Ter
Haar merupakan salah satu murid van Vollenhoven yang meneruskan penelitiannya
tentang hukum adat. Ia melanjutkan penelitian hukum adat dengan menyoroti
lembaga hukum beserta interrelasinya dan faktor-faktor sosial (di luar hukum)
yang mempengaruhi perkembangan hukum.
Ter Haar mengungkapkan bahwa Hukum Adat mencakup
seluruh peraturan yang menjelma di dalam keputusan-keputusan pada penjabat
hukum, yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta yang di dalam
pelaksanaannya secara serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka
yang diatur oleh keputusan tersebut. Keputusan tersebut dapat mengenai suatu
persengketaan, akan tetapi juga dapat diambil berdasarkan kerukunan dan musyawarah.[9]
Namun demikian, ter Haar juga menyatakan bahwa Hukum Adat dapat timbul dari keputusan
para warga masyarakat.[10]
Ter Haar telah berusaha menempatkan hukum adat
sejajar dengan ilmu-ilmu hukum positif lainnya. Dalam bukunya yang berjudul Beginselen en Stelsel van het Adatrecht,
Ter Haar menguraikan secara sistematis masalah-masalah yang menyangkut
masyarakat hukum adat, tanah, perjanjian, hukum keluarga, hukum perkawinan,
hukum waris, dan lain sebagainya.
Sepanjang dasawarsa 1930-an, sampai pecahnya perang
Pasifik tahun 1942, ter Haar berhasil mempertahankan hukum adat sebagai hukum
yang hidup dan terpakai di badan-badan pengadilan negara (yang diselenggarakan
khusus untuk memeriksa perkara-perkara orang-orang pribumi ialah landraad). Ter
Haar berhasil mengukuhkan hukum adat atas dasar dan/atau atas kekuatan
preseden-preseden yang dikembangkan dalam yurisprudensi landraad.[11]
Pada tahun 1930-an, banyak landraad sudah mulai
diketuai oleh hakim-hakim banyak diantaranya berasal dari kalangan pribumi yang
tahu benar bagaimana menghargai hukum adat, dan paham benar begaimana menemukan
asas-asas hukum adat yang hidup di masyarakat untuk seterusnya diterapkan
sebagai keputusan-keputusan yang mengikat. Lewat cara ini, hukum adat
memperoleh bentuknya yang formal (sebagai hukum pengadilan negara), dan
seterusnya tersistematisasi lewat yurisprudensi. Disadari atau tidak, ter Haar
telah mengembangkan dan merawat hukum adat lewat cara yang dikenal dalam sistem
common law.[12] Untuk mendapatkan pengakuan formil dalam
undang-undang, ter Haar telah memperjuangkan pengakuan hak ulayat melalui “Volksraad”, komisi agraria 1928, maupun
dalam advis komisi tahun 1938.[13]
Hukum adat, sebagaimana hukum rakyat pada umumnya,
sebenarnya memiliki kekuatannya dalam wujud realitanya sebagai pola perilaku (pattern of actual behavior).
Pengkodifikasiannya dan dengan demikian juga pengubahannya menjadi pola untuk
mengatur perilaku (pattern of behavior)
akan menghilangkan kekuatan dinamiknya. Sebenarnya ter Haar telah berhasil
memodernisasi hukum adat, dan menyiapkannya untuk keperluan menata kehidupan
rakyat di dalam lingkungan masyarakat negara. Ter Haar memodernisasi hukum adat
hanya dalam ihwal forum dan fungsinya, namun tetap menyerahkan modernisasi
(dalam arti pemutakhiran nilai) substansinya pada pengalaman masyarakat
sendiri. Namuan para yuris saat ini tidak bisa memahami kenyataan bahwa hukum
adat (dalam konteks nasional sekalipun) sebenarnya hanya akan menemukan
kelestariannya kalau diperlakukan sebagai common law menurut konsep legal
realism, dan tidak sebagai hukum kodifikasi yang dirawat berdasarkan konsep analytical jurisprudence.[14]
Intisari dari pokok pemikiran ter Haar ini dapat
kita lihat dari rumusan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut: “Hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat”.
Rumusan tersebut mengakui nilai-nilai hukum adat
sebagai nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Melalui kewajiban (atau bisa juga diartikan sebagai kewenangan) hakim dan hakim
konstitusi tersebut, eksistensi hukum adat dapat dijaga melalui putusan
pengadilan. Pencantumannya secara tertulis dalam undang-undang tidak terlepas
dari sistem hukum negara Indonesia yang lebih condong ke arah sistem hukum
civil law. Namun demikian, eksistensi hukum adat hanya dapat
dijaga melalui praktek-praktek (law in action). Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman tersebut hanyalah sebagai tool atau alat, tetapi
penerapannya tergantung dari hakim sebagai pihak yang berwenang untuk
menerapkannya. Secara umum, belum banyak hakim yang menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Kebanyakan hakim masih menganut paradigma positivistik, sehingga
putusan-putusannya tidak mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa dan keadilan
masyarakat, melainkan mencerminkan kemauan undang-undang (kehendak penguasa).
[4] Soetandyo
Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke
Hukum Nasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, halaman 124.
[5] Ibid, hal. 126.