TEORI BERLAKUNYA HUKUM ISLAM DI INDONESIA - Islam telah diterima oleh bangsa
Indonesia jauh sebelum penjajah datang ke Indonesia. Waktu penjajah Belanda
datang di Indonesia (Hindia Belanda), mereka menyaksikan kenyataan bahwa di
Hindia-Belanda sudah ada hukum yang berlaku, yaitu agama yang dianut oleh
penduduk Hindia-Belanda, seperti Islam, Hindu, Budha dan Nasrani, di samping
hukum adat bangsa Indonesia. Berlakunya hukum Islam bagi sebagian besar
penduduk Hindia-Belanda, berkaitan dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam
setelah runtuhnya kerajaan Majapahit pada sekitar tahun 1518 Masehi. Menurut C.
Snouck Hurgronje sendiri, bahwa pada abad ke 16 di Hindia-Belanda sudah muncul
kerajaan-kerajaan Islam, seperti di Aceh, Mataram, Banten dan Cirebon yang
berangsur-angsur mengislamkan seluruh penduduknya.[1]
Walaupun pada mulanya kedatangan Belanda
(yang beragama Kristen Protestan) ke Hindia-Belanda tidak ada kaitannya dengan
masalah (hukum) agama, namun pada perkembangan selanjutnya, berkaitan dengan
kepentingan penjajah, akhirnya mereka tidak bisa menghindari terjadinya
persentuhan dengan masalah hukum yang berlaku bagi penduduk pribumi. Sehubungan
dengan berlakunya hukum adat bagi bangsa Indonesia dan hukum agama bagi
masing-masing pemeluknya, muncullah beberapa teori-teori hukum jauh sebelum Indonesia
merdeka. Adapun beberapa teori hukum Islam di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Teori
Reception in Complexu
Teori
receptio in complexu ini dipelopori oleh Lodewijk Willem,
Christian van den Berg tahun 1845-1925. Teori receptio in complexu menyatakan bahwa bagi setiap penduduk berlaku
hukum agamanya masing-masing. Bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam sebab
ia telah memeluk agama Islam.[2]
Teori
receptio in complexu ini telah diberlakukan di zaman VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie)
sebagaimana terbukti dengan dibuatnya berbagai kumpulan hukum untuk pedoman
pejabat dalam menyeleaikan urusan-urusan hukum rakyat pribumi yang tinggal di
dalam wilayah kekuasaan VOC yang kemudian dikenal sebagai Nederlandsch Indie.
Contohnya, Statuta Batavia yang saat ini
desebut Jakarta 1642 pada menyebutkan bahwa sengketa warisan antara pribumi
yang beragama Islam harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam, yakni
hukum yang dipergunakan oleh rakyat sehari-hari. Untuk keperluan ini, D.W Freijer
menyusun buku yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam.
2. Teori
Receptie
Teori
receptie dipelopori oleh Christian Snouck Hurgronje dan Cornelis van Volenhoven
pada tahun 1857-1936.[3]
Teori ini dijadikan alat oleh Snouck Hurgronye agar orang-orang pribumi jangan
sampai kuat memegang ajaran Islam dan hukum Islam. Jika mereka berpegang
terhadap ajaran dan hukum Islam, dikhawatirkan mereka akan sulit menerima dan
dipengaruhi dengan mudah oleh budaya barat. Teori ini bertentangan dengan Teori reception in complexu. Menurut teori Receptie, hukum Islam tidak secara
otomatis berlaku bagi orang Islam. Hukum Islam berlaku bagi orang Islam jika
sudah diterima atau diresepsi oleh hukum adat mereka. Oleh karena itu, hukum
adatlah yang menentukan berlaku tidaknya hukum Islam. Sebagai contoh teori Receptie saat ini di Indonesia
diungkapkan sebagai berikut.
Hukum Islam yang bersumber dari
Al-Qur’an dan Al-Hadits hanya sebagian kecil yang mampu dilaksanakan oleh orang
Islam di Indonesia. Hukum pidana Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan
Al-Hadits tidak mempunyai tempat eksekusi bila hukum yang dimaksud tidak
diundangkan di Indonesia. Oleh karena itu, hukum pidana Islam belum pernah
berlaku kepada pemeluknya secara hukum ketatanegaraan di Indonesia sejak
merdeka sampai saat ini. Selain itu, hukum Islam baru dapat berlaku bagi pemeluknya
secara yuridis formal bila telah diundangkan di Indonesia. Teori ini berlaku hingga
tiba di zaman kemerdekaan Indonesia.
3. Teori
Receptie Exit
Teori
receptie exit diperkenalkan oleh Hazairin. Menurutnya setelah Indonesia
merdeka, tepatnya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Undang-Undang
Dasar 1945 dijadikan sebagai suatu aturan dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia, semua peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang berdasarkan teori receptie bertentangan dengan jiwa
Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, teori
receptie itu harus exit atau keluar
dari tata hukum Indonesia.
Teori receptie bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, Kemudian
dipertegas di dalam Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Menurut teori receptie exit, pemberlakuan hukum Islam tidak harus didasarkan pada
hukum adat.[4]
Pemahaman demikian kebih dipertegas lagi, antara lain dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang memberlakukan hukum Islam bagi
orang Islam (pasal 2 ayat 1), Undang-Undang NoMor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, Instruksi presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompulasi Hukum Islam
di Indonesia (KHI).
4. Teori
Receptie a Contrario
Teori receptie exit yang diperkenalkan oleh Hazairin dikembangkan oleh
Sayuti Thalib dengan memperkenalkan teori receptie
a contrario. teori receptie a contrario
yang secara harfiah berarti lawan dari teori receptie yang menyatakan bahwa
hukum adat berlaku bagi orang Islam kalau hukum adat itu tidak bertentangan
dengan agama Islam dan hukum Islam.[5]
Sebagai contoh, umpamanya di Aceh,
masyarakatnya menghendaki agar persoalan
yang menyangkut dengan hal perkawinan dan warisan diatur berdasarkan hukum Islam. Apabila ada ketentuan adat boleh
saja dipakai selama itu tidak bertentangan
dengan hukum Islam. Dengan demikian, dalam teori receptie a contrario, hukum adat itu baru berlaku apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam. Inilah
yang disebut oleh Sayuti Thalib dengan teori receptie a contrario.[6]
5. Teori
Eksistensi
Sebagai kelanjutan dari teori receptie exit dan teori reception a contrario, menurut Ichtijanto
S.A, muncullah teori eksistensi.[7]
Teori eksistensi adalah teori yang menerangkan adanya hukum Islam dan hukum nasional
Indonesia. Menurut teori ini, eksistensi atau keberadaan hukum Islam dan hukum
nasional itu ialah:
a. Ada,
dalam arti hukum Islam berada dalam hukum nasional sebagai bagian yang integral
darinya.
b. Ada,
dalam arti adanya kemandiriannya yang diakui berkekuatan hukum nasional dan sebagai
hukum nasional.
c. Ada,
dalam hukum nasional, dalam arti norma hukum Islam sebagai penyaring bahan-bahan
hukum nasional Indonesia.
Berdasarkan teori Eksistensi diatas,
maka keberadaan hukum Islam dalam tata hukum nasional merupakan suatu kenyataan
yang tidak dapat dibantah adanya. Bahkan lebih dari itu, hukum Islam merupakan
bahan utama dari hukum nasional.
[1] C. Snouck Hurgronje, De Islam in Nederlandsch Indie, alih
bahasa S. Gunawan, Islam di Hindia
Belanda, Cet.II, Jakarta, Bhratara, 1983, hal 10.
[2] Sayuti Thalib, Receptio A Contrario, Cet. III, Jakarta,
Bina Aksara, 1982, hal 15.
[3] H.W.J.Sonius, dalam
J.F.Holleman and Vollenhoven, Indonesian
Adat Law, Leiden: 1981. Lihat juga, Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita, 1976, hal 57.
[4] Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum, Cet. I,
Jakarta, Tintamas, 1974, hal 101.
[5] Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan
No. 1 Tahun 1974, Cet. I, Jakarta, Tintamas, 1975, hal 8.
[6] Sayuti Thalib, Op.Cit., hal 69.
[7] Ichtijanto, Pengadilan Agama sebagai Wadah Perjuangan Mengisi
Kemerdekaan Bangsa, dalam Kenang-kenangan Seabad Pengadilan Agama, Cet. I,
Jakarta, Dirbinperta Departemen Agama Republik Indonesia 1985, hal 262.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar