Minggu, 30 Juli 2017

DEFINISI BIROKRASI MENURUT PARA AHLI

A.    DEFINISI BIROKRASI
Terminologi birokrasi dalam literatur Ilmu Administrasi Negara atau Ilmu Politik adalah sebagai berikut :
1)      Berarti Organisasi yang rasional (rational organization).
2)      berarti Ketidakefisienan organisasi (organizational inefficiency).
3)      berarti Pemerintahan oleh para pejabat (rule by official).
4)      berarti Administrasi negara (public administration).
5)      Administrasi oleh para pejabat (administration by official).
6)      Bentuk organisasi dengan ciri tertentu, yaitu adanya hirarki dan peraturan.
7)      Salah satu ciri dari masyarakat modern yang mutlak (an essential quality of modern society)
            Sedangkan untuk definisi birokrasi, banyak sekali para ahli atau tokoh yang mendefinisikan tentang birokrasi, diantaranya adalah:

1.      PETER M BLAU dan W. MEYER
Menurut Peter M. Blau dan W. Meyer dalam bukunya “Bureaucracy” birokrasi adalah tipe organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administrative dengan cara mengkoordinasi secara sistematis teratur pekerjaan dari banyak anggota organisasi.

2.      ROURKE
Sedangkan menurut Rourke birokrasi adalah sistem administrasi dan pelaksanaan tugas keseharian yang terstruktur, dalam sistem hirarki yang jelas, dilakukan dengan tertulis, oleh bagian tertentu yang terpisah dengan bagian lainnya, oleh orang yang dipilih karena kemampuan dan keahlian di bidangnya.

3.      ALMOND dan POWEL
Sementara itu Almond dan Powell, mengatakan bahwa birokrasi adalah Sekumpulan tugas dan jabatan yang terorganisir secara formal, yang saling berhubungan dalam jenjang yang kompleks di bawah pembuat tugas atau peran formal (ketentuan atau peraturan dan bukan orang).

4.      LANCE CASTLE
 Lance Castle memberikan definisi birokrasi sebagai berikut: “bureaucracy I mean the salaried people who are charged with the function of government”. The army officers, the military bureacracy, are of course included. The bureaucracy of which Iam speaking doesn’t always conform to Weber’s notion of rational bureaucracy.

5.      YAHYA MUHAIMIN
Sedang Yahya Muhaimin mengartikan birokrasi sebagai “Keseluruhan aparat pemerintah, sipil maupun militer yang melakukan tugas membantu pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu”.

6.      HEGEL
Hegel mencitrakan birokrasi sebagai mediating agent, penjembatan antara kepentingan-kepetingan masyarakat dengan kepentingan pemerintah. Dan melihat fungsi birokrasi sebagai penghubung antara negara dan civil society. Negara menjelmakan kepentingan umum, sedang civil society merepresentasikan kepentingan khusus yang ada di dalam masyarakat. Karena tugasnya sebagai alat pemerintah ini maka birokrasi justru harus punya kemandirian.

7.      HAROLD LASKI
Birokrasi menggambarkan keadaan rutin dalam administrasi, mengorbankan fleksibilitas terhadap peraturan, keterlambatan dalam pengambilan keputusan, dan menolak usaha-usaha untuk bereksperimen. Sehingga birokrasi adalah ancaman bagi pemerintahan yang demokratis.

8.      KARL MARX
Birokrasi adalah alat kelas yang berkuasa, yaitu kaum borjuis dan kapitalis untuk mengeksploitasi kaum proletar. Birokrasi adalah parasit yang eksistensinya menempel pada kelas yang berkuasa dan dipergunakan untuk menhisap kelas proletar.
            Dari beberapa ahli yang sudah mendefinisikan birokrasi tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwasanya secara umum birokrasi adalah tata kerja pemerintahan agar tujuan negara bisa tercapai secara efektif dan efisien. Oleh karena itu kita harus obyektif dan terbuka, dan tata kerja ini untuk tujuan bersama (bukan per individu atau per orang).

B.     MAKNA BIROKRASI
            Meskipun secara umum sudah ada penjelasan atau definisi tentang birokrasi, tetapi dalam khasanah ilmu pengetahuan perbedaan pendapat dan pandangan sangat dihargai. Demikian juga dengan perbedaan pandangan tentang birokrasi. Ada beberapa tokoh atau ahli yang memandang birokrasi secara positif, ada juga yang secara negatif, tetapi ada juga yang melihatnya secara netral (value free).
1.      MAKNA POSITIF
Birokrasi yang bermakna positif diartikan sebagai birokrasi legal-rasional yang bekerja secara efisien dan efektif. Birokrasi tercipta karena kebutuhan akan adanya penghubung antara negara dan masyarakat, untuk mengejawantahkan kebijakankebijakan negara. Artinya, birokrasi dibutuhkan baik oleh negara maupun oleh rakyat.
Tokoh pendukungnya adalah : Max Weber dan Hegel

2.      MAKNA NEGATIF
Birokrasi yang bermakna negatif diartikan sebagai birokrasi yang penuh dengan patologi (penyakit), organisasi tambun, boros, tidak efisien dan tidak efektif, korupsi, dll. Birokrasi adalah alat penindas (penghisap) bagi kaum yang lemah (miskin) dan hanya membela kepentingan orang kaya. Artinya, birokrasi hanya menguntungkan kelompok orang kaya saja.
Tokoh pendukungnya adalah : Karl Max dan Harold Laski

3.      MAKNA NETRAL (value free)

Sedangkan birokrasi yang bermakna netral diartikan sebagai keseluruhan pejabat negara pada cabang eksekutif atau bisa juga diartikan sebagai setiap organisasi yang berskala besar

Rabu, 26 Juli 2017

SIARAN PERS PAKET KEBIJAKAN EKONOMI VIII

SIARAN PERS
PAKET KEBIJAKAN EKONOMI VIII

Kebijakan Satu Peta Nasional, Kilang Minyak dan Pembebasan Bea Masuk
Suku Cadang Pesawat

Jakarta, 21 Desember 2015


Pemerintah kembali mengumumkan Paket Kebijakan Ekonomi VIII, Senin (21/12) di Istana Kepresidenan, Jakarta. Paket kebijakan kali ini meliputi tiga hal, yaitu kebijakan satu peta nasional (one map policy) dengan skala 1:50.000, membangun ketahanan energi melalui percepatan pembangunan dan pengembangan kilang minyak di dalam negeri, dan insentif bagi perusahaan jasa pemeliharaan pesawat (maintenance, repair and overhoul/MRO).

1.      Kebijakan Satu Peta

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasutionyang membacakan Paket Kebijakan Ekonomi VIII menyatakan, pengembangan kawasan atau infrastruktur, seringkali terbentur dengan sejumlah masalah terkait pemanfaatan ruang dan penggunaan lahan. Konflik ini sulit diselesaikan karena Informasi Geospasial Tematik (IGT) saling tumpang tindih satu sama lain.

Karena itu, kebijakan satu peta yang mengacu pada satu referensi geospasial, satu standar, satu basis data dan satu geoportal untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan nasional menjadi salah satu prioritas pemerintah. Basis referensi peta yang sama, juga akan meningkatkan keandalan informasi terkait lokasi dari berbagai aktivitas ekonomi. Ini akan memberikan kepastian usaha.Berbagai informasi yang dikompilasi dalam satu peta ini juga bisa dimanfaatkan untuk sejumlah simulasi, antara lain untuk mitigasi bencana.

Melalui Peraturan Presiden (Perpres) tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta ini, kementerian dan lembaga akan menyiapkan peta tematik skala 1:50.000 sesuai rencana aksi masing-masing dengan batas akhir tahun 2019.

Menurut Darmin, kebijakan satu peta ini akan “Mempermudah dan mempercepat penyelesaian konflik tumpang tindih pemanfaatan lahan, penyelesaian batas daerah seluruh Indonesia.”

2.      Pembangunan Kilang Minyak

Perhatian pemerintah terhadap ketahanan energi juga diwujudkan dengan percepatan pembangunan dan pengembangan kilang minyak di dalam negeri. Ini demi memenuhi kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan mengurangi ketergantungan impor BBM. Kebijakan ini akan tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres).

Permintaan BBM yang lebih tinggi dari supply domestik saat ini akan terus semakin lebar jaraknya karena permintaan terus meningkat terutama untuk sektor transportasi. Selisih permintaan dan penawaran ini, diperkirakan melebar hingga sekitar 1,2 – 1,9 juta barel per hari pada 2025 jika tidak ada penambahan kapasitas produksi.

Indonesia belum melakukan pembangunan kilang minyak sejak 21tahun terakhir.Seperti diketahui, pembangunan kilang minyak terakhir dilakukan di Balongan pada 1994 dengan kapasitas saat ini 125 ribu barel per hari. Untuk itu, perlu dibangun kilang baru dengan kapasitas 300 ribu barel per hari yang akan membantu menambal selisih permintaan dan penawaran.

“Pembangunan dan pengembangan kilang ini harus dilakukan dengan menggunakan teknologi terbaru, memenuhi ketentuan pengelolaan dan perlindungan lingkungan, dan tentu saja mengutamakan penggunaan produk dalam negeri,” kata Darmin.

Selain itu, pemerintah juga akan memberikan insentif fiskal ataupun nonfiskal bagi terselenggaranya pembangunan dan pengembangan. “Pelaksanaan pembangunan dan pengembangan kilang diintegrasikan sedapat mungkin dengan petrokimia,” lanjutnya.

Selain membangun kilang baru, pemerintah juga akan meningkatkan (upgrade) kilang yang sudah ada. Pemerintah memproyeksikan produksi BBM akan meningkat dari 825 ribu barel per hari pada 2015 menjadi 1,9 juta barel per hari pada 2025.

Dengan terpenuhinya kebutuhan BBM dari produksi kilang dalam negeri, maka harga jual BBM pada dunia usaha dan masyarakat, diharapkan dapat ditekan menjadi lebih murah.

Sampai saat ini, setidaknya ada empat kilang yang beroperasi dan perlu perbaikan, yaitu di Cilacap, Balikpapan, Balongan dan Dumai. Kilang baru akan dibangun di Bontang dan Tuban.

3.      Insentif bagi perusahaan jasa pemeliharaan pesawat.

Industri dalam negeri hingga saat ini belum mampu memproduksi beberapa komponen pesawat terbang.Kalaupun ada, belum mempunyai sertifikasi Part Manufacturing Approval (PMA) dari pabrik pesawat seperti Boeing dan Airbus. Padahal industri jasa pemeliharaan pesawat terbang membutuhkan kecepatan dalam proses impor suku cadang dan komponen untuk proses perbaikan dan pemeliharaan pesawat.

Skema Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMTDP) yang sekarang berlaku, sulit dimanfaatkan perusahaan jasa pemeliharaan pesawat karena tidak memberikan kepastian bagi pengadaan barang yang dibutuhkan. Karena itupemerintah memberikan insentif dalam bentuk bea masuk 0% untuk 21pos tarif terkait suku cadang dan komponen perbaikan atau pemeliharaan pesawat terbang.


Melalui kebijakan ini, pemerintah memberikan kepastian bagi dunia usaha penerbangan nasional dalam hal pemeliharaan dan perbaikan pesawat. Juga mendorong tumbuhnya industri suku cadang dan komponen pesawat terbang dalam negeri. Lebih jauh, diharapkan kebijakan ini akan membuka ruang bagi hadirnya pengembangan kawasan usaha pemeliharaan pesawat terbang.(ekon)

Selasa, 25 Juli 2017

Pengertian Hukum Adat Menurut Para Ahli (Sarjana) di Indonesia


            Menurut beberapa sarjana di Indonesia memberikan pengertian hukum adat, sebagaimana berikut:
1.      Soepomo merupakan salah satu ahli hukum adat pertama di Indonesia dengan memberikan dua rumusan yang berbeda sebagaimana berikut:
1)      Hukum adat merupakan hukum non-statutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum Islam, hukum adat itu pun melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan di mana ia memutuskan perkara. Hukum adat berurat pada kebudayaan tradisional. Hukum adat adalah hukum yang hidup, karena iia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan fitrahnya sendiri, hhukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti suatu kehidupan.[1]
2)      Hukum adat adalah merupakan persamaan dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif. Hukum adat adalah hukum yang hidup sebagai konvensasi di badan-badan negara, hukum yang timbul karena putusan-putusan hakim, dan hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan dalam pergaulan hidup baik di daerah perkotaan maupun perdesaan.[2]
2.      Soekanto mengatakan hukum adat adalah kompleks adat-adat inilah yang kebanyakan tidak dikitabkan (tidak tertulis), tidak dikodifikasi dan bersifat paksaan mempunyai sanksi (dari itu), jadi mempunyai akibat hukum, maka komplek ini disebut sebagai hukum adat.[3]
3.      M. M. Djodjodigoeno menyatakan bahwa hukum adat adalah suatu rangkaian urgeran (aturan) yang mengatur perhubungan pamrih yang membedakan kewajiban dan pantangan.[4]
4.      Soediman Kartohadiprodjo berpendapart bahwa hukum adat merupakan hukum yang tidak tertulis lebih luas artinya dari hukum adat, karena hukum adat adalah suatu jenis jenis hukum tidak tertulis yang tertentu menjadi suatu pemikiran yang khas, yang prinsipil berbeda dari hukum tertulis lainnya. Hukum adat bukan karena bentuknya tidak tertulis, melainkan hukum adat karena tersusun dengan dasar pemikiran tertentu yang prinsipil berbeda dari dasar pikiran hukum barat.[5]
5.      Hazairin merumuskan hukum adat merupakan renapan kesusilaan dalam masyarakat, di mana kaidah-kaidah yang berupa kaidah kesusilaan yang sebenarnya telah mendapat pengakuan umum dalam suatu kehidupan masyarakat.[6]



[1] Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, hal 3
[2] Abdurrahman, Hukum Adat Menurut Perundang-undangan Republik Indonesia, Cendana Press, Jakarta, 1984. Hal. 18.
[3] Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1985. Hal 2.
[4] . Djodjodigoeno, Asas-Asas Hukum Adat, Yayasan Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta, 1985. Hal 3.
[5] Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat  Edisi Revisi, Mandar Maju, Bandung, 2014, hal 22.
[6] Ibid., hal 19

Jumat, 21 Juli 2017

Pengertian Hukum Adat Menurut Para Sarjana (Barat)

Adapun pengertian hukum adat menurut para sarjana diantaranya dikemukakan sebagai berikut:[1]
1.      Snouck Hurgroje menyatakan bahwasanya hukum adat merupakan adat yang mempunyai sanski hukum yang berbeda (berlainan) dengan kebiasaan atau pendirian yang tidak membayangkan arti hukum.
2.      Van Vollenhoven, hukum adat adalah sebagai kumpulan dari peraturan tentang perilaku yang berkembang dan berlaku bagi orang pribumi dan Timur Asing pada satu pihak mempunyai sanksi sedangkan pada sisi lain hukum adat dalam keadaan tidak terkodifikasi.[2]
3.      Ter Haar merumuskan hukum adalah merupakan keseluruhan kaidah-kaidah yang ditentukan berdasarkan hasil keputusan-keputusan dari para fungsionaris hukum yang mempunyai kewibawaan serta mempunyai pengaruh yang diwujudkan dalam pelaksanaannya secara serta merta.[3]
4.      F.D. Holleman dalam pendapatnya yang menyetujui pendapat Van Vollenhoven dan tidak sependapat dengan Ter Haar, ia menjelaskan bahwasanya hukum adat merupakan hukum yang tidak bergantung dari suatu keputusan, bahwasanya norma-norma yang terdapat dalam suatu hukum adat merupakan suatu norma yang hidup yang disertai dengan sanksi dan jika dapat dilaksanakan oleh masyarakat atau badan-badan yang bersangkutan agar ditaati dan dihormati oleh para warga masyarakat. Tanpa adanya persoalan apakah terhadap norma-norma itu ada ataupun tidak adanya suatu keputusan-keputusan dari petugas hukum.[4]
5.      J.H.A. Logemann mengatakan bahwa hukum adat tidak mutlak sebagai suatu keputusan dikarenakan norma-norma yang hidup merupakan norma kehidupan bersama, yang merupakan aturan-aturan perilaku yang harus diikuti oleh semua warga dalam pergaulan bersama. Jika ternyata bahwa ada sesuatu yang berlaku, maka norma itu tentu mempunyai sanksi yang berbentuk sanksi apapun baik dari yang berbentuk ringan sampai berbentuk sangat berat. Sehingga orang dapat menganggap bahwa semua norma yang ada sanksi merupakan norma hukum.



[1] Djamanat Samosir, Hukum Adat Indonesia, Penerbit Nuansa Aulia, Bandung, 2013, hal 15.
[2] Van Vollenhoven, Orientasi dalam Hukum Adat, Laden Volken-kunde (KITLV) Bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Djambatan, 1981, hal 14.
[3] Ter Haar, dkk, Hukum Adat dalam Polemik Ilmiah, Bhrata, 1973, Jakarta, hal 11.
[4] Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat  Edisi Revisi, Mandar Maju, Bandung, 2014, hal 15.

Kamis, 20 Juli 2017

Pemerintahan Mukim Dalam Masyarakat Adat Aceh.


Asal-muasal adanya pemerintahan mukim yang berada pada masyarakat Aceh tidak terlepas dari mayoritas masyarakat Aceh yang beragama Islam, adanya mukim sendiri berawal dari dasar bagi penduduk tetap dalam suatu daerah dalam pelaksanaan ibadah shalat jumat. Berdasarkan Mazhab Imam Syafi’i untuk mendirikan shalat jum’at diperlukan lebih kurang 40 (empat puluh) orang laki-laki yang telah baligh (dewasa).
Pada dasarnya lembaga mukim terbentuk seiring masuknya agama Islam ke Aceh. Mukim merupakan suatu sistem pemerintahan yang berdiri sendiri dan dipimpin oleh seorang Imum Mukim. Imum Mukim dipilih secara langsung oleh tokoh-tokoh dalam suatu kemukiman tersebut, yang terdiri atas Tuha Lapan.[1]
Pada masa kolonial Belanda keberadaan Imum Mukim tetap diakui dan diatur secara khusus dalam Besluit van den Governeur van Nederland Indie Nomor 8 Tahun 1937. Dalam masa penjajahan oleh bangsa Jepang pemerintahan Mukim juga diakui dalam Osamu Serei Nomor 7 Tahun 1944. Setelah Indonesia merdeka ketentuan-ketentuan mengenai pemerintahan Mukim tetap diberlakukan sebagaimana terdapat di dalam ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mempertahankan kedudukan Mukim dalam struktur pemerintahan desa, keresidenan Aceh mengeluarkan Peraturan Keresidenan Aceh Nomor 2 dan Nomor 5 Tahun 1946. Menurut kedua peraturan tersebut, pemerintahan Mukim diberlakukan untuk seluruh Aceh, dan Pemerintahan Mukim mempunyai kedudukan di bawah Camat dan membawahi beberapa Gampong.
Dalam pelaksanaannya pemerintahan Mukim digerakkan oleh tiga unsur yaitu unsur adat, unsur agama dan unsur dewan. Di dalam unsur adat diwakili oleh Imum Mukim, dalam unsur agama di wakili oleh Imum Mesjid dan dari unsur dewan dipimpin oleh Tuha Lapan. Sekalipun pada ketiga unsur tersebut adanya pemisahan kewenangan, namun dalam pengambilan suatu keputusan adanya suatu putusan yang bersifat bersama dan pelaksaan putusan harus dijelaskan oleh imum mukim, sehingga putusan yang diambil merupakan suatu putusan yang terdapat dari tiga unsur tersebut yang mewakili masyarakat, dan kemudian tiap-tiap putusan yang dikeluarkan menjadi suatu putusan yang didukung oleh seluruh masyarakat.
Sistem pemerintahan Mukim pada masyarakat Aceh sendiri tidak terlepas nilai-nilai keislaman, di mana ciri-cirinya sendiri adalah sebagai berikut:[2]
a)      Memperhatikan syarat-syarat keagamaan yang harus dipenuhi oleh para pimpinan pada tingkat Mukim dan Gampong.
b)      Dapat dilihat dalam sistem pengelolaan tanah-tanah umum yang belum dimiliki oleh siapapun, yang oleh masyarakat Aceh disebut sebagai tanoh Potallah (tanah Tuhan). Dalam hal ini, siapa yang menghidupkan dan mengusahakan tanah mati tersebut, dialah yang berhak atas tanah tersebut, untuk dimiliki atau dialihkan kepada orang lain, tentu saja setelah syarat-syarat adat terpenuhi.
c)      Dalam penyelesaian sengketa yang mengedepankan perdamaian melalui musyawarah dan bertujuan untuk membangun kembali harmonisasi pasca sengketa dalam antar para pihak dalam suatu kehidupan bermasyarakat.
Pemerintahan Mukim diatur dalam Qanun Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim, adapun tugas dan fungsi Mukim di dalam pasal 3 dan 4 meliputi:
a)      Menyelenggarakan pemerintahan desentralisasi, dekonstrasi, pembantuan dan segala urusan pemerintahan lainnya.
b)      Menyelenggarakan pembangunan ekonomi, fisik dan mental spiritual.
c)      Menyelenggarakan pelaksanaan syari’at Islam, pendidikan, adat istiadar, sosial budaya, ketentraman dan ketertiban masyarakat.
d)     Menyelenggarakan pelayanan pada masyarakat.
e)      Menyelesaikan sengketa dalam masyarakat.
Sedangkan tugas Imum Mukim menurut dan Pasal 8 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat adalah:
a)      Melakukan pembinaan masyarakat.
b)      Melaksanakan kegiatan adat istiadat.
c)      Menyelesaikan sengketa.
d)     Membantu peningkatan pelaksanaan syariat Islam.
e)      Membantu penyelenggaraan pemerintahan, dan.
f)       Membantu pelaksanaan pembangunan.

Maka apabila melihat peraturan diatas Imum Mukim pada suatu kemukiman selain mempunyai peran untuk membantu tugas dari Camat untuk dapat mengawasi desa, Imum Mukim juga mempunyai peran dalam memutuskan dan atau menetapkan hukum, memelihara dan mengembangkan adat, menyelenggarakan perdamaian adat, menyelesaikan dan memberikan keputusan-keputusan adat terhadap perselisihan-perselisihan dan pelanggaran adat, memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut adat dan menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan adat istiadat di dalam kehidupan bermasyarakat.




[1] Taqwaddin Husin, Sulaiman, dkk, Mukim di Aceh (Belajar Dari Masa Lalu Untuk Membangun Masa Depan), Diandra Pustaka Indonesia, Yogyakarta, 2015, hal 57.
[2] Sanusi M. Syarif., Gampong dan Mukim di Aceh Menuju Rekonstruksi Pasca tsunami, Pustaka Latin, Bogor, 2005, Hal 63.

Selasa, 18 Juli 2017

TEORI BERLAKUNYA HUKUM ISLAM DI INDONESIA

 TEORI BERLAKUNYA HUKUM ISLAM DI INDONESIA

 TEORI BERLAKUNYA HUKUM ISLAM DI INDONESIA - Islam telah diterima oleh bangsa Indonesia jauh sebelum penjajah datang ke Indonesia. Waktu penjajah Belanda datang di Indonesia (Hindia Belanda), mereka menyaksikan kenyataan bahwa di Hindia-Belanda sudah ada hukum yang berlaku, yaitu agama yang dianut oleh penduduk Hindia-Belanda, seperti Islam, Hindu, Budha dan Nasrani, di samping hukum adat bangsa Indonesia. Berlakunya hukum Islam bagi sebagian besar penduduk Hindia-Belanda, berkaitan dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam setelah runtuhnya kerajaan Majapahit pada sekitar tahun 1518 Masehi. Menurut C. Snouck Hurgronje sendiri, bahwa pada abad ke 16 di Hindia-Belanda sudah muncul kerajaan-kerajaan Islam, seperti di Aceh, Mataram, Banten dan Cirebon yang berangsur-angsur mengislamkan seluruh penduduknya.[1]
Walaupun pada mulanya kedatangan Belanda (yang beragama Kristen Protestan) ke Hindia-Belanda tidak ada kaitannya dengan masalah (hukum) agama, namun pada perkembangan selanjutnya, berkaitan dengan kepentingan penjajah, akhirnya mereka tidak bisa menghindari terjadinya persentuhan dengan masalah hukum yang berlaku bagi penduduk pribumi. Sehubungan dengan berlakunya hukum adat bagi bangsa Indonesia dan hukum agama bagi masing-masing pemeluknya, muncullah beberapa teori-teori hukum jauh sebelum Indonesia merdeka. Adapun beberapa teori hukum Islam di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.      Teori Reception in Complexu
Teori receptio in complexu ini dipelopori oleh Lodewijk Willem, Christian van den Berg tahun 1845-1925. Teori receptio in complexu menyatakan bahwa bagi setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing. Bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam sebab ia telah memeluk agama Islam.[2]
Teori receptio in complexu ini telah diberlakukan di zaman VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) sebagaimana terbukti dengan dibuatnya berbagai kumpulan hukum untuk pedoman pejabat dalam menyeleaikan urusan-urusan hukum rakyat pribumi yang tinggal di dalam wilayah kekuasaan VOC yang kemudian dikenal sebagai Nederlandsch Indie.
Contohnya, Statuta Batavia yang saat ini desebut Jakarta 1642 pada menyebutkan bahwa sengketa warisan antara pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipergunakan oleh rakyat sehari-hari. Untuk keperluan ini, D.W Freijer menyusun buku yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam.
2.      Teori Receptie
Teori receptie dipelopori oleh Christian Snouck Hurgronje dan Cornelis van Volenhoven pada tahun 1857-1936.[3] Teori ini dijadikan alat oleh Snouck Hurgronye agar orang-orang pribumi jangan sampai kuat memegang ajaran Islam dan hukum Islam. Jika mereka berpegang terhadap ajaran dan hukum Islam, dikhawatirkan mereka akan sulit menerima dan dipengaruhi dengan mudah oleh budaya barat. Teori ini bertentangan dengan Teori reception in complexu. Menurut teori Receptie, hukum Islam tidak secara otomatis berlaku bagi orang Islam. Hukum Islam berlaku bagi orang Islam jika sudah diterima atau diresepsi oleh hukum adat mereka. Oleh karena itu, hukum adatlah yang menentukan berlaku tidaknya hukum Islam. Sebagai contoh teori Receptie saat ini di Indonesia diungkapkan sebagai berikut.
Hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits hanya sebagian kecil yang mampu dilaksanakan oleh orang Islam di Indonesia. Hukum pidana Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits tidak mempunyai tempat eksekusi bila hukum yang dimaksud tidak diundangkan di Indonesia. Oleh karena itu, hukum pidana Islam belum pernah berlaku kepada pemeluknya secara hukum ketatanegaraan di Indonesia sejak merdeka sampai saat ini. Selain itu, hukum Islam baru dapat berlaku bagi pemeluknya secara yuridis formal bila telah diundangkan di Indonesia. Teori ini berlaku hingga tiba di zaman kemerdekaan Indonesia.
3.      Teori Receptie Exit
Teori receptie exit diperkenalkan oleh Hazairin. Menurutnya setelah Indonesia merdeka, tepatnya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 dijadikan sebagai suatu aturan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, semua peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang berdasarkan teori receptie bertentangan dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, teori receptie itu harus exit atau keluar dari tata hukum Indonesia.
Teori receptie bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, Kemudian dipertegas di dalam Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Menurut teori receptie exit, pemberlakuan hukum Islam tidak harus didasarkan pada hukum adat.[4] Pemahaman demikian kebih dipertegas lagi, antara lain dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang memberlakukan hukum Islam bagi orang Islam (pasal 2 ayat 1), Undang-Undang NoMor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Instruksi presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompulasi Hukum Islam di Indonesia (KHI).
4.      Teori Receptie a Contrario
Teori receptie exit yang diperkenalkan oleh Hazairin dikembangkan oleh Sayuti Thalib dengan memperkenalkan teori receptie a contrario. teori receptie a contrario yang secara harfiah berarti lawan dari teori receptie yang menyatakan bahwa hukum adat berlaku bagi orang Islam kalau hukum adat itu tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam.[5]
Sebagai contoh, umpamanya di Aceh, masyarakatnya menghendaki agar persoalan yang menyangkut dengan hal perkawinan dan warisan diatur berdasarkan hukum Islam. Apabila ada ketentuan adat boleh saja dipakai selama itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dengan demikian, dalam teori receptie a contrario, hukum adat itu baru berlaku apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam. Inilah yang disebut oleh Sayuti Thalib dengan teori receptie a contrario.[6]
5.      Teori Eksistensi
Sebagai kelanjutan dari teori receptie exit dan teori reception a contrario, menurut Ichtijanto S.A, muncullah teori eksistensi.[7] Teori eksistensi adalah teori yang menerangkan adanya hukum Islam dan hukum nasional Indonesia. Menurut teori ini, eksistensi atau keberadaan hukum Islam dan hukum nasional itu ialah:
a.       Ada, dalam arti hukum Islam berada dalam hukum nasional sebagai bagian yang integral darinya.
b.      Ada, dalam arti adanya kemandiriannya yang diakui berkekuatan hukum nasional dan sebagai hukum nasional.
c.       Ada, dalam hukum nasional, dalam arti norma hukum Islam sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia.
Berdasarkan teori Eksistensi diatas, maka keberadaan hukum Islam dalam tata hukum nasional merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah adanya. Bahkan lebih dari itu, hukum Islam merupakan bahan utama dari hukum nasional.




[1] C. Snouck Hurgronje, De Islam in Nederlandsch Indie, alih bahasa S. Gunawan, Islam di Hindia Belanda, Cet.II, Jakarta, Bhratara, 1983, hal 10.
[2] Sayuti Thalib, Receptio A Contrario, Cet. III, Jakarta, Bina Aksara, 1982, hal 15.
[3] H.W.J.Sonius, dalam J.F.Holleman and Vollenhoven, Indonesian Adat Law, Leiden: 1981. Lihat juga, Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita, 1976, hal 57.
[4] Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum, Cet. I, Jakarta, Tintamas, 1974, hal 101.
[5] Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Cet. I, Jakarta, Tintamas, 1975, hal 8.
[6] Sayuti Thalib, Op.Cit., hal 69.
[7] Ichtijanto, Pengadilan Agama sebagai Wadah Perjuangan Mengisi Kemerdekaan Bangsa, dalam Kenang-kenangan Seabad Pengadilan Agama, Cet. I, Jakarta, Dirbinperta Departemen Agama Republik Indonesia 1985, hal 262.