Sabtu, 13 Januari 2018

Tujuan Koperasi


Tujuan Perkoperasian - Berdasarkan ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, tertuang tujuan Koperasi Indonesia seperti memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.[1] Koperasi mengandung dua unsur, yaitu unsur ekonomi dan unsur sosial. Koperasi merupakan suatu sistem dan sebagaimana diketahui sistem itu merupakan himpunan komponen-komponen atau bagian yang saling berkaitan yang secara bersama-sama berfungsi mencapai tujuan.[2]

Tujuan yang dimaksud adalah tujuan ekonomi atau dengan kata lain bahwa koperasi harus berdasarkan atas motif ekonomi atau mencari keuntungan, sedangkan bagian-bagian yang saling berkaitan tersebut merupakan unsur-unsur ekonomi seperti digunakannya sistem pembuktian yang baku, diadakannya pemeriksaan secara periodik, adanya cadangan, dan sebagainya.

Sedangkan unsur sosial, bukan dalam arti kedermawanan (philantropis), tetapi lebih unsur menerangkan kedudukan anggota dalam organisasi, hubungan antar sesama anggota dan hubungan anggota dengan pengurus. Juga unsur sosial ditemukan dalam cara koperasi yang demokratis, kesamaan derajat, kebebasan keluar masuk anggota, calon anggota, persaudaraan, pembagian sisa hasil usaha kepada anggota secara proporsional dengan jasanya, serta menolong diri sendiri.[3] Koperasi bersifat suatu kerja sama antara orang-orang yang masuk golongan kurang mampu dalam hal kekayaan (kleine luiden) yang ingin meringankan beban hidup atau beban kerja.

Persamaan dengan bentuk usaha lain adalah sama-sama mengejar suatu keuntungan kebendaan (stoffelijk voordeel). Perbedaannya adalah bahwa biasanya koperasi didirikan oleh orang-orang yang benar-benar memerlukan sekali kerja sama ini untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan orang-orang yang mendirikan bentuk usaha lain sebenarnya masing-masing dapat mencapai tujuan yang dikehendaki dengan mendapat cukup keuntungan tetapi mereka ingin memperbesar keuntungan.






[1] R.T. Sutantya Rahardja Hadikusuma, Hukum Koperasi Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 40.
[2] Andjar Pachta, W.dkk., Op. Cit, hal. 21
[3] Ibid, hal. 22

Rabu, 10 Januari 2018

SEJARAH DAN PENGERTIAN KOPERASI DI INDONESIA

SEJARAH DAN PENGERTIAN KOPERASI DI INDONESIA











SEJARAH DAN PENGERTIAN KOPERASI DI INDONESIA - Koperasi adalah institusi (lembaga) yang tumbuh atas dasar solidaritas tradisional dan kerjasama antar individu, yang pernah berkembang sejak awal sejarah manusia sampai pada awal “Revolusi Industri” di Eropa pada akhir abad 17 dan selama abad 18, sering disebut sebagai Koperasi Historis atau Koperasi Pra-industri. Koperasi modern didirikan pada akhir abad 18, terutama sebagai jawaban atas masalah-masalah sosial yang timbul selama tahap awal Revolusi Industri.[1]

Timbulnya koperasi terutama disebabkan antara lain karena kesulitan dalam mencukupi kebutuhan hidup. Selain itu terjadi persaingan yang ketat dalam bidang ekonomi, ketidakpuasan kerja dan lain-lain kesukaran ekonomi, yang mengakibatkan timbulnya naluri untuk saling bersama-sama bersatu untuk dapat mencari jalan keluar untuk mengatasinya, di antara orang-orang yang sama-sama senasib. Ini sekaligus menunjukkan pula bahwa selain sifat sosial dan sifat kebersamaan, motif ekonomi merupakan motif utama di dalam berkoperasi.

Tidaklah naif jika memandang bahwa koperasi itu harus dikelola berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi yang murni dalam menjalankan fungsinya sebagai badan usaha yang eksis di era globalisasi ekonomi sekarang ini, oleh karena itu, organisasi badan usaha koperasi tidak berbeda dalam menjalankan fungsinya dan kedudukannya dengan badan-badan usaha lain dalam hal menerapkan prinsip-prinsip ekonomi secara murni dalam menjalankan fungsi sosialnya secara modern.[2]

Koperasi mempunyai arti bekerjasama antara orang-orang yang bermoral untuk mencapai suatu tujuan kemakmuran secara bersama-sama yang berasaskan kekeluargaan.[3] R.M. Margono Djojohardikoesoemo menyatakan bahwa “koperasi adalah perkumpulan manusia seorang-seorang yang dengan sukanya sendiri hendak bekerjasama untuk memajukan ekonominya.[4]

Soeryaatmaja memberikan definisi “koperasi sebagai suatu perkumpulan dari orang-orang yang atas dasar persamaan derajat sebagai manusia dengan tidak memandang haluan agama dan politik dan secara sukarela masuk untuk sekedar memenuhi kebutuhan bersama yang bersifat kebendaan atas tanggungan bersama.[5]

Mohammad Hatta dalam bukunya “The Cooperative Movement in Indonesia, mengemukakan bahwa koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong menolong.[6] Mohammad Hatta dalam pidatonya tanggal 12 Juli 1951 mengatakan sebagai berikut: "Apabila kita membuka UUD 1945 dan membaca serta menghayati isi Pasal 38, maka tampaklah di sana akan tercantum dua macam kewajiban atas tujuan yang satu. Tujuannya ialah menyelenggarakan kemakmuran rakyat dengan jalan menyusun perekonomian sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Perekonomian sebagai usaha bersama dengan berdasarkan kekeluargaan adalah koperasi, karena koperasilah yang menyatakan kerja sama antara mereka yang berusaha sebagai keluarga. Di sini tak ada pertentangan antara majikan dan buruh, antara pemimpin dan pekerja. Segala yang bekerja adalah anggota dari koperasinya, sama-sama bertanggung jawab atas keselamatan koperasinya itu. Sebagaimana orang sekeluarga bertanggung jawab atas keselamatan rumah tangganya, demikian pula para anggota koperasi sama-sama bertanggung jawab atas koperasi mereka. Makmur koperasinya, makmurlah hidup mereka bersama, rusak koperasinya, rusaklah hidup mereka bersama".[7]

Yang dimaksudkan dengan Pasal 38 dalam pidato Muhammad Hatta tersebut adalah Pasal 38 UUDS 1950, yang isinya sama persis dengan Pasal 33 UUD 1945, yaitu:

  1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
  2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
  3. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Dari berbagai definisi dan pengertian koperasi, pada umumnya terdapat beragam unsur yang terkandung, tetapi pada pokoknya sama, yaitu:
  1. Merupakan perkumpulan orang, bukan semata perkumpulan modal;
  2. Adanya kesamaan baik dalam tujuan, kepentingan maupun dalam kegiatan ekonomi, yang menyebabkan lahirnya beragam bentuk dan jenis koperasi;
  3. Merupakan usaha yang bersifat sosial, tetapi tetap bermotif ekonomi;
  4. Bukan bertujuan untuk keuntungan badan koperasi itu sendiri, tetapi untuk kepentingan kesejahteraan anggota;
  5. Diurus bersama, dengan semangat kebersamaan dan gotong-royong.
Untuk mewujudkan tujuan nasional yaitu tercapainya masyarakat adil dan makmur seperti tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dengan berlandaskan Pancasila seperti tertuang dalam Bab II, Bagian Pertama, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang berlandaskan kekeluargaan yang sudah berurat berakar dalam jiwa raga kepribadian bangsa Indonesia.

Sesuai dengan jiwa kepribadian bangsa Indonesia, Koperasi Indonesia harus menyadari bahwa dalam dirinya terdapat kepribadian sebagai cermin kehidupan, berbangsa dan bernegara dengan adanya unsur Ketuhanan Yang Maha Esa, kegotongroyongan dalam arti bekerjasama, saling bantu membantu kekeluargaan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.



[1] Ninik Widiyanti dan Y.W. Sunindhia, “Koperasi dan Perekonomian Indonesia”, Cetakan Keempat, (Jakarta: Rineka Cipta dan Bina Adiakarsa, 2003), hal. 17.
[2] Andjar Pachta W. Myra Rosana Bachtiar dan Nadia Maulisa Benemay, Hukum Koperasi Indonesia: Pemahaman, Regulasi, Pendiri dan Modal Usaha, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 26-27.
[3] Rahayu Hartini, “Hukum Komersial”, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 1974), hal. 101.
[4] R.M. Margoro Djojohadikoesoemo, ”Sepuluh Tahun Koperasi :Penerangan tentang Koperasi oleh Pemerintah 1930-1940”, (Batavia-C: Balai Pustaka, 1941), dalam Ibid, hal. 19
[5] Ibid, hal. 19
[6] Muhammad Hatta dalam Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar dan Nadia Maulisa Benemay, Op.Cit., hal. 19.
[7] Ibid, hal. 19-20

Senin, 01 Januari 2018

Perbedaan antara positivism hukum dan aliran hukum alam dilihat dari ontologi, epistemologi dan aksiologi

Perbedaan antara positivism hukum dan aliran hukum alam dilihat dari ontologi, epistemologi dan aksiologi adalah sebagai berikut:

ASPEK ONTOLOGI HUKUM.
ALIRAN POSITIVISME HUKUM
ALIRAN HUKUM ALAM
ASPEK ONTOLIGI
Aliran Positivisme Hukum, memaknai “hakekat hukum” adalah norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan suatu negara. Dengan demikian dengan aliran ini peraturan perundang-undangan merupakan aturan hukum positif.
Aliran Hukum Alam/Kodrat memaknai “hakekat hukum” itu sebagai asas-asas kebenaran dan keadilan atau asas-asas moral yang bersifat kodrati dan berlaku universal. Dengan demikian dimana pun berlaku prinsip bahwa tindakan yang im-moral merupakan tindakan yang tidak benar, tidak adil dan melanggar hukum.

ASPEK EPISTEMOLOGY

ALIRAN POSITIVISME HUKUM
ALIRAN HUKUM ALAM
ASPEK EPISTEMOLOGY

doktrinal deduktif
doktrinal deduktif


ASPEK AKSIOLOGI
Menurut Sidharta, Aksiologi Hukum (ajaran tentang nilai hukum) dikaitkan dengan tujuan hukum, yaitu sebagai berikut :


ALIRAN POSITIVISME HUKUM
ALIRAN HUKUM ALAM
ASPEK AKSIOLOGI
Positivisme Hukum, aspek aksiologis diperjuangkan nilai “kepastian hukum”, dengan sumber hukum formal berupa Peraturan Perundang-Undangan. Hal ini dapat diwujudkan melalui asas legalitas yang merupakan rokh (spirit) dari Positivisme Hukum.
Aliran Hukum Alam / Kodrat, karena senantiasa membebaskan diri dari keterikatan waktu (kekinian), ruang, dalam mana hukum dipandang berlaku universal dan abadi. Maka bisa dikatakan “aksiologi hukum” sebagai nilai abadi dari hukum adalah “keadilan” yang juga bersifat abadi (eterna justice).