DISKRESI DALAM PELAKSANAAN TUGAS KEPOLISIAN - Sebelum kita
membicarakan pelaksanaan Diskresi Kepoloisian dalam kaitannya dengan
pelaksanaan tugas- tugas kepolisian maka perlu kita terlebih dahulu mengenal
Etika Profesi Kepolisian, sebagai hal yang sangat fundamental dan penting dan
besar pengaruhnya terhadap baik- buruknya pelaksanaan Diskresi
Kepolisian. Etika profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai
yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral yang
meliputi pada pengabdian, kelembagaan dan kenegaraan, selanjutnya disusun
kedalam Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Etika profesi
kepolisian terdiri dari :
- Etika pengabdian/kepribadian merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.
- Etika kelembagaan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap institusinya yang menjadi wadah pengabdian yang patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua insan Bhayangkara dan segala martabat dan kehormatannya.
- Etika kenegaraan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk senantiasa bersikap netral, mandiri dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik, golongan dalam rangka menjaga tegaknya hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kode etik
profesi Polri mencakup norma prilaku dan moral yang dijadikan pedoman sehingga
menjadi pendorong semangat dan rambu nurani bagi setiap anggota untuk pemulihan
profesi kepolisian agar dijalankan sesuai tuntutan dan harapan masyarakat. Jadi
polisi harus benar-benar jadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, serta
sebagai penegak hukum yang bersih agar tercipta clean governance dan good
governance.
Tindakan
diskresi yang diputuskan oleh petugas operasional di lapangan secara langsung
pada saat itu juga dan tanpa meminta petunjuk atau keputusan dari atasannya
adalah diskresi yang bersifat individual, sebagai contoh untuk menghindari
terjadinya penumpukan arus lalu lintas di suatu ruas jalan, petugas kepolisian
memberi isyarat untuk terus berjalan kepada pengemudi kendaaraan meskipun saat
itu lampu pengatur lalu lintas berwarna merah dan sebagainya.
Adapun tindakan
untuk mengesampingkan perkara, untuk menahan atau tidak melakukan penahanan
terhadap tersangka/pelaku pelanggaran hukum atau menghentikan proses
penyidikan, bukanlah tindakan diskresi individual petugas kepolisian. Tindakan
tersebut merupakan tindakan diskresi birokrasi karena dalam pengambilan
keputusan diskresi berdasarkan atau berpedoman pada kebijaksanaan–kebijaksanaan
pimpinan dalam organisasi dan hal tersebut telah dijadikan kesepakatan diantara
mereka.
Selain pantas
untuk dilakukan diskresi juga merupakan hal yang penting bagi pelaksanaan tugas
polisi karena :
- Undang-undang ditulis dalam bahasa yang terlalu umum untuk bisa dijadikan petunjuk pelaksanaan sampai detail bagi petugas dilapangan;
- Hukum adalah sebagai alat untuk mewujudkan keadilan dan menjaga ketertiban dan tindakan hukum bukanlah satu-satunya jalan untuk mencapai hal tersebut;
- Pertimbangan sumber daya dan kemampuan dari petugas kepolisian.
James Q Wilson
mengemukakan ada empat tipe situasi tindakan diskresi yang mungkin
dilaksanakan, yaitu :
- police-invoked law enforcement, petugas cukup luas alasannya untuk melakukan tindakan diskresi, tetapi kemungkinannya dimodifikasi oleh kebijaksanaan pimpinannya;
- citizen-invoked law enforcement, diskresi sangat kecil kemungkinan dilaksanakan, karena inisiatornya adalah masyarakat;
- police-invoked order maintenance, diskresi dan pengendalian pimpinan seimbang (intermidiate), apakah pimpinannya akan memerintahkan take it easy atau more vigorous; dan
- citizen-invoked order maintenance, pelaksanaan diskresi perlu dilakukan walau umumnya kurang disetujui oleh atasannya.
Dalam
kenyataannya hukum memang tidak bisa secara kaku untuk diberlakukan kepada
siapapun dan dalam kondisi apapun seperti yang tercantum dalam bunyi
perundang-undangan. Pandangan yang sempit didalam hukum pidana bukan saja tidak
sesuai dengan tujuan hukum pidana, tetapi akan membawa akibat kehidupan
masyarakat menjadi berat, susah dan tidak menyenangkan. Hal ini dikarenakan
segala gerak aktivitas masyarakat diatur atau dikenakan sanksi oleh peraturan.
Jalan keluar untuk mengatasi kekuatan-kekuatan itu oleh hukum adalah diserahkan
kepada petugas penegak hukum itu sendiri untuk menguji setiap perkara yang
masuk didalam proses, untuk selanjutnya diadakan penyaringan-penyaringan yang
dalam hal ini disebut dengan diskresi.
Bila diskresi
diterapkan secara salah maka akan terjadi penyimpangan, menurut Teori dari
Klitgard ;1998 seperti yang dikutip Meliala (2000) untuk menjelaskan
penyimpangan diskresi sebagai korupsi polisi tersebut adalah sebagai berikut:
C = P + D - A
Keterangan : C
= Corruption, P = Power, D = Discretion, A = Accountability.
Jerimi Pope
menyatakan :
Coruption
involves behavior on the part of officials in the public sector; whether
politician or civil servants, in wich they improperly and unlawfully enrich
them selves or those close to them by the misuse of the public power entrusted
them (Saputro paulus : 2000).
Diskresi yang
dilakukan dalam menangani berbagai masalah atau pelanggaran hukum tidak ada
aturan atau batasan yang jelas sehingga sering menyimpang dari ketentuan atau
prinsip dari diskresi. Masalah dalam pelaksanaan diskresi yang dilakukan oleh
polisi adalah : Pertama bersifat individual oleh petugas polisi di lapangan
yang menjadi dasar adalah apa yang diketahui atau dimengerti oleh petugas
dilapangan yang dianggap benar.
Pelaksanaan
hukum secara selektif merupakan bentuk diskresi birokrasi di mana pengambil
kebijaksanaan kepolisian menentukan prioritas organisasi kepada para petugas di
lapangan. Ditinjau dari segi hukum pidana formal, tindakan Polisi untuk
mengesampingkan perkara pidana tidak bisa dibenarkan begitu saja karena sifat
hukum pidana yang tak kenal kompromi. Sedangkan alasan-alasan sosiologis yang
biasa digunakan dalam praktek, bersifat subjektif dan sangat situasional dan
ini memerlukan landasan hukum yang tegas agar terdapat kepastian hukum baik
bagi penyidik maupun bagi masyarakat. Ditinjau dari pelaksanaan operasional
Kepolisian, tindakan mengesampingkan perkara juga dilakukan, dengan
pertimbangan masing-masing perkara itu bisa berbeda-antara satu tempat dengan
tempat lain.
Tindakan
tersebut di atas dilakukan oleh para petugas kepolisian dapat dikerenakan
adanya kekaburan pemahaman hukum yang berkaitan dengan kewenangan diskresi,
kebijaksanaan-kebijaksanaan dari para pejabat dalam birokrasi, yang mendukung
atau merestui tindakan diskresi dijadikan sebagai sarana untuk memenuhi
kebutuhan operasionalnya dan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Hal tersebut juga dapat diakibatkan kurang baiknya sistem kontrol (pseudo
control). Hal lain yang juga mempengaruhi adalah dari masyarakatnya yang kadang
enggan untuk menyelesaikan perkaranya dengan jalur hukum.