Selasa, 17 Desember 2019

Aliran hukum alam

Airan hukum alam - Aliran ini disebut juga dengan aliran hukum kodrat atau Natural Law Theory, menurut aliran ini hukum dipandang sebagai suatu keharusan alamiah (nomos), baik semesta alam, maupun hidup manusia. Hukum itu berlaku universal dan bersifat abadi. Pemikiran hukum alam dikembangakan oleh beberapa pakar yang ada pada zaman Yunani dan Romawi.

Diantara aliran hukum alam ada masyarakat pada zaman Yunani Kuno yang diwakili oleh Zeno (320-250 SM), yang mempunyai ajaran sebagai berikut:

  1. Alam ini diperintah oleh pikiran yang rasional.
  2. Kerasionalan alam dicerminkan oleh seluruh manusia yang dengan kekuatan penalarannya memungkinkan menciptakan suatu natural life yang didasarkan pada reasonable living.
  3. Hukum alam dapat di identikan dengan moralitas tertinggi.
  4. Basis hukum adalah aturan Tuhan dan keadaan manusiawi.
  5. Penalaran manusia dimaksudkan agar ia dapat membedakan yang benar dari yang salah dan hukum didasarkan pada konsep-konsep manusia tentang hak dan kewajiban.

Hukum alam dibedakan dalam dua golongan :
  1. Aliran hukum alam irasional, dan
  2. Aliran hukum alam rasional.



Menurut aliran hukum alam irasional bahwa hukum itu berlaku universal dan bersifat abadi dengan mengesampingkan aspek ratio manusia. Tokoh aliran ini antara lain Thomas Aquinas. Menurut aliran hukum alam rasional bahwa hukum itu berlaku universal dan bersifat abadi dengan menekankan terhadap ratio manusia. Tokoh aliran ini antara lain Hugo Degrot.

Teori hukum alam (hukum kodrat melingkupi pendekatan terhadap hukum yang melihat bahwa keberadaan hukum yang ada adalah perwujudan atau merupakan fenomena tatanan hukum yang lebih tinggi yang seharusnya ditaati. Dengan demikian pendekatan dari teori hukum kodrat ada yang berpijak dari pandangan teologis dan sekuler.
  • Pandangan teologis (berdasarkan ke-Tuhan-an)

Teori hukum kodrat yang dipenuhi oleh pandangan atau yang ada, diciptakan dan diatur oleh yang maha kuasa yaitu tuhan yang juga telah meletakan prinsip-prinsip abadi untuk mengatuur perjalanannya alam semesta. Kitab suci menjadi sumber dari pandangan semacam ini. Semua hukum yang diciptakan oleh manusia karena itu harus sesuai  dengan hukum Tuhan seperti yang  digariskan dalam kitab suci (mengesampingkan aspek ratio manusia).
  • Pandangan sekuler (berdasarkan rasio)

Pandangan ini didasari keyakinan bahwa manusia (kemampuan akal budinya) dan dunianya (masyarakat) menjadi sumber bagi tatanan moral yang ada. Tatanan moral yang ada menjadi manifestasi tatanan moral dalam diri dan masyarakat manusia. Keutamaan moral tidak ada dalam sabda Tuhan yang tertulis dalam kitab suci tetapi dalam hati kehidupan sehari-hari manusia. Hukum itu berlaku secara universal dan bersifat abadi dengan menekankan pada aspek rasio manusia. Aliran hukum alam yang rational disebut pula aliran hukum alam yang modern.

Ada yang mengatakan bahwa hukum alam pada dasarnya bukanlah sesuatu aturan jenis hukum, melainkan merupakan kumpulan ide atau gagasan yang keluar dari pendapat para ahli hukum, kemudian diberikan sebuah label yang bernama hukum alam. Menurut pandangan Satjipto Rahardjo, bahwa istilah hukum alam ini didatangkan dalam berbagai arti oleh berbagai kalangan dan pada masa yang berbeda-beda pula. Dengan demikian hakikat hukum alam merupakan hukum yang berlaku universal dan abadi. Sebab menurut Friedmann, sejarah hukum alam adalah sejarah umat manusia dalam usahanya untuk menemukan apa yang disebut absolut justice (keadilan yang mutlak) disamping kegagalan manusia dalam mencari keadilan. Pengertian hukum alam berubah-ubah sesuai dengan perubahan pola piker masyarakat dan keadaan politik dijaman itu.




Kamis, 20 Juni 2019

Sejarah perkembangan hukum adat di Aceh pasca Mou Helsinki

Sejarah perkembangan hukum adat di Aceh pasca Mou Helsinki
Sejarah perkembangan hukum adat di Aceh pasca Mou Helsinki-Semenjak lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, keberadaan hukum adat semakin kuat dikarenakan adanya pengakuan terhadap lembaga adat. Adanya pemberian kewenangan kepada lembaga adat dalam melaksanakan hukum adat, yang ketentuan di atur dalam Bab XIII Pasal 98 tentang Lembaga Adat UUPA.

Dalam Pasal 98 ayat (1) disebutkan, Bahwa:
“Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban.”

kemudian dalam Pasal 98 ayat (1) berbunyi:
“Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban.”

Maka dengan demikian, berdasarkan amanah UUPA tersebut, dibentuklah turunan peraturan  daerah (Qanun) untuk menguatkan keberadaan lembaga adat (peradilan adat), struktur lembaga adat, dan hukum adat.

Adapun qanun-qanun di maksud adalah, sebagai berikut:
  1. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, yang disahkan pada 30 Desember 2008.
  2. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, yang disahkan pada 30 Desember 2008.
  3. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Imum Mukim,  yang disahkan pada 28 Mei 2009.
  4. Qanun Aceh Nomor  4  Tahun  2009  tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik (Kepala Desa, Kepala Kampung), yang disahkan pada 28 Mei 2009.
Dengan adanya undang-undang dan qanun-qanun di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa keberadaan hukum adat baik dalam arti materil maupun formil (peradilan adat) dapat dikatakan telah ditempatkan dalam sistem hukum positif (formal). Ini menunjukkan bahwa keberadaan hukum adat dan lembaga adat (peradilan adatnya) lambat laun akan menuju pada perundang-undangan formal. Konsekuensinya adalah, hukum adat dan peradilan adat dapat besifat kaku sebagaimana praktik lembaga-lembaga formal lainnya. Jika perundang-undangan tidak mengaturnya, maka praktik kebiasaan masyarakat sebagai unwritten law (hukum tidak tertulis) yang telah dipraktikkan secara turun temurun akan dianggap tidak mempunyai arti formal.

Senin, 04 Maret 2019

PERBEDAAN IDEOLOGI TERBUKA DENGAN IDEOLOGI TERTUTUP

PERBEDAAN IDEOLOGI TERBUKA DENGAN IDEOLOGI TERTUTUP - Ideologi berasal dari kata "idea" dan "logos". Menurut Kaelan idea adalah suatu gagasan atau ide, konsep, pengertian dasar atau cita-cita, sedangkan logos bermakna ilmu. Ideologi merupakan cerminan cara berfikir orang atau masyarakat yang sekaligus membentuk orang atau masyarakat yang sekaligus membentuk orang atau masyarakat menuju ke hal yang mereka impikan. secara umum terdapat dua jenis. Pertama adalah ideologi terbuka dan kedua adalah ideologi tertutup, adapun  perbedaan diantaranya keduanya adalah sebagai berikut:

PERBEDAAN IDEOLOGI TERBUKA DENGAN IDEOLOGI TERTUTUP


Ideologi Terbuka
  1. Memiliki sistem pemikiran yang terbuka.
  2. Nilai-nilai dan cita-citanya tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari harta kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakat itu sendiri.
  3. Dasar pembentukan ideologi bukan keyakinan ideologis sekelompok orang, melainkan hasil musyawarah dan kesapakatan antara masyarakat itu sendiri.
  4. Tidak diciptakan oleh negara, melainkan masyarakat itu sendiri sehingga ideologi tersebut adalah milik seluruh rakyat atau anggota masyarakat.
  5. Tidak hanya dibenarkan, melainkan dibutuhkan oleh seluruh masyarakat.
Ideologi Tertutup
  1. Sistem pemikiran yang tertutup.
  2. cenderung untuk memaksa mengambil nilai-nilai ideologi dari luar masyarakatnya yang tidak sesuai dengan keyakinan dan pemikiran masyarakatnya.
  3. dasar pembentukannya adalah cita-cita atau keyakinan ideologis perseorangan atau suatu kelompok orang
  4. pada dasarnya ideologi tertutup diciptakan oleh negara, dalam hal ini penguasa negara yang mutlak harus diikuti oleh seluruh warga masyarakat.
  5. pada hakikatnya ideologi tersebut hanya dibutuhkan oleh penguasa negara untuk melanggengkan kekuasaannya dan cenderung memiliki nilai kebenaran hanya dari sudut pandang penguasa saja.

Minggu, 03 Maret 2019

Perbendaan Bunga Bank Konvensional dan Bagi Hasil Pada Perbankan Syariah

Perbendaan Bunga Bank Konvensional dan Bagi Hasil Pada Perbankan Syariah

Perbendaan Bunga Bank Konvensional dan Bagi Hasil Pada Perbankan Syariah - Terdapat beberapa perbedaan antara bunga pada bank konvensional dan bagi hasil pada bank syariah adalah sebagai berikut:

Bagi Hasil Pada Perbankan Syariah


  1. Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
  2. Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
  3. Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
  4. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan pendapatan.
  5. Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
Bunga Pada Bank Konvensional

  1. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung.
  2. Besarnya presentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
  3. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa adanya pertimbangan proyek yang dijalankan oleh nasabah mengalami keuntungan atau rugi.
  4. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang booming
  5. Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama, termasuk Islam.

Sabtu, 02 Maret 2019

PERBEDAAN ANTARA EKONOMI SYARIAH DAN EKONOMI KONVENSIONAL

PERBEDAAN ANTARA EKONOMI SYARIAH DAN EKONOMI KONVENSIONAL

PERBEDAAN ANTARA EKONOMI SYARIAH DAN EKONOMI KONVENSIONAL - Berikut adalah beberapa perbedaan antara ekonomi syariah dengan ekonomi konvensional:
  1. Prinsip Dasar : Ekonomi syariah dan ekonomi konvensional memiliki perbedaan dalam prinsip dasar. Hal inilah yang kemudian mempengaruhi perbedaan segala tujuan, tindakan, norma serta pengembangan prinsip. Ekonomi konvensional bertujuan untuk melakukan pertumbuhan ekonomi. Sistem konvensional menganggap ketika pertumbuhan ekonomi berjalan baik maka semua orang akan mencapai kepuasan individu yang diinginkan. Sementara ekonomi syariah berprinsip bahwa agama dan ekonomi memiliki kaitan yang sangat erat, dimana kegiatan ekonomi dilakukan sebagai ibadah.
  2. Perjanjian Kredit : Dalam ekonomi konvensional perjanjian kredit dikenal dengan adanya perjanjian baku. Perjanjian baku merupakan suatu perjanjian yang dibuat sepihak. Perjanjian ini telah terlebih dulu dibuat oleh pihak tertentu bahkan sebelum pihak lainnya datang. Sementara dalam ekonomi syariah dikenal perjanjian pembiayaan mudhorobah. Ekonomi syariah tidak mengenal adanya perjanjian baku. Perjanjian dalam ekonomi syariah dibuat oleh kedua pihak, misalkan antara bank dan nasabah.
  3. Hak Milik : Terdapat perbedaan antara ekonomi konvensional dan ekonomi syariah mengenai hak milik seseorang. Kedua sistem ini memang sama-sama mengakui adanya hak milik seseorang namun ada perbedaan yang sangat jauh mengenai cara mendapatkan hal milik serta ketentuan mengenai hak milik tersebut. Dalam ekonomi konvensional diakui adanya hak milik perorangan. Semua orang tanpa terkecuali berhak memiliki barang, aset atau uang yang dikehendaki individu. Hal ini bisa ia lakukan asal ia memiliki sumber daya untuk mendapatkan hak milik tersebut. Ekonomi konvensional tidak menyebutkan atau menjelaskan bagaimana batas serta aturan untuk memperoleh hak milik tersebut. Ekonomi syariah atau ekonomi islam mengenal aturan yang berbeda mengenai hak milik individu. Kepemilikan diperbolehkan selama tidak menimbulkan kezaliman, disamping itu kepemilikan individu harus diperoleh dengan cara-cara yang halal dan sesuai dengan ketentuan agama. Barang ataupun sumber daya yang menyangkut hajad hidup banyak orang tidak diperbolehkan untuk dimiliki individu. Individu juga diwajibkan untuk mensucikan harta yang dimiliki melalui zakat, infaq, shodaqoh dan sebagainya. Kepemilikan atau harta yang dimiliki individu tidak boleh terlalu lama ditimbun oleh satu pihak. Harta tersebut harus digunakan dan dikelola untuk kepentingan bersama dan bukan hanya untuk kepentingan individu.
  4. Dasar Hukum : Perbedaan yang dirasa paling mencolok antara ekonomi syariah dan ekonomi konvensional memang terletak pada dasar hukum yang digunakan. Lembaga keuangan yang menggunakan ekonomi syariah seperti bank syariah menggunakan hukum yang didasarkan pada syariat Islam. Hal ini berlandaskan Al-Qur’an, Hadist dan Fatwa Ulama. Hal ini berbeda dengan bank konvensional, bank konvensional memiliki sistem yang didasarkan pada hukum positif. Perspektif hukum yang digunakan dalam transaksi bank syariah antara lain menggunakan bagi hasil, perkongsian, sewa-menyewa, kerja sama tani dan keagenan, atau al-musyarakah (perkongsian), al-mudharabah (bagi hasil), al-musaqat (kerja sama tani), al-ijarah (sewa-menyewa), al-ba’i (bagi hasil) dan al-wakalah (keagenan).
  5. Perbedaan Investasi : Dalam hal investasi ekonomi syariah dan ekonomi konvensional juga memiliki perbedaan. Lembaga seperti bank syariah dapat meminjamkan dana pada seseorang jika jenis usaha yang sedang dijalankan adalah usaha yang baik dan halal. Jenis usaha tersebut antara lain peternakan, pertanian, perdagangan dan sebagainya. Dalam bank konvensional, seseorang diijinkan mengajukan pinjaman selama usaha yang dijalankan diperbolehkan dalam hukum positif.
  6. Perbedaan Orientasi : Bank konvensional yang menggunakan sistem ekonomi konvensional berorientasi pada keuntungan sementara bank syariah yang menggunakan sistem ekonomi syariah memperhatikan kebahagiaan hidup baik dunia maupun di akhirat.
  7. Pembagian Keuntungan : Poin ini yang paling sering diketahui oleh masyarakat. Ekonomi syariah dan ekonomi konvensional memiliki ketentuan yang berbeda mengenai pembagian keuntungan. Perbedaan ini juga sangat nyata diterapkan dalam lembaga keuangan dan perbankan. Anda mungkin pernah mendengar istilah bunga dalam ekonomi konvensional. Bunga tersebut justru dilarang dalam ekonomi syariah. Bank konvensional yang menggunakan sistem ekonomi konvensional menggunakan sistem bunga tetap ataupun bunga mengambang. Sistem bunga tersbeut diterapkan dalam semua pinjaman yang diberikan kepada nasabah. Sementara bank syariah yang menggunakan ekonomi syariah atau ekonomi Islam tidak menggunakan sistem bunga, baik bunga tetap maupun bunga mengambang. Dalam hal pembagian keuntungan, bank syariah menggunakan cara lainnya. Keuntungan yang didapatkan oleh bank syariah disesuaikan dengan akad atau kerjasama yang telah disepakati di awal atau pada saat perjanjian. Meski begitu, bank syariah tetap memperhitungkan kemungkinan rugi dan laba dalam usahanya. Jika berdasarkan beberapa kriteria yang menjadi ketentuan, bank meras tidak akan untung maka bank syariah akan menolak pengajuan pinjaman.
  8. Hubungan Nasabah : Baik dalam ekonomi syariah maupun ekonomi konvensional, dalam lembaga keuangan seperti bank, anda akan menemukan adanya hubungan antara nasabah dan bank. Bank syariah menerapkan sistem kemitraan sebagai hubungan antara bank dengan nasabah. Berbeda dengan ekonomi konvensional, ekonomi konvensional menggunakan istilah kreditur dan debitur sebagai hubungan antara bank dan nasabah.\
  9. Pengawasan : Dalam hal pengawasan, anda juga akan memahami adanya perbedaan antara bank konvensional dan bank syariah. Dalam operasionalnya, bank konvensional diawasi sesuai dengan peraturan pemerintah dan hukum positif. Bank konvensional dapat diawasi oleh lembaga tertentu dan pihak internal di dalamnya. Sementara bank syariah tidak hanya diawasi oleh pemerintah atau lembaga tertentu namun juga memiliki dewan pengawas yang berbeda dari bank konvensional. Dewan pengawas dalam bank syariah terdiri dari ahli ekonomi yang memahami fiqih muamalah dan sekumpulan ulama.

Jumat, 01 Maret 2019

KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILISI ACEH (KKRA)


KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILISI ACEH (KKRA)

KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILISI ACEH (KKRA) - Komisi Kebenaran dan Rekonsilisi Aceh yang disingkat KKR Aceh, merupakan perwujudan Pasal 228 Ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang menyebutkan bahwa untuk memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sesudah Undang-Undang ini diundangkan dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka KKR Aceh adalah sebuah lembaga independen yang dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran, pola motif atas pelanggaran HAM ringan dalam konflik bersenjata di Aceh selama dua masa tahapan, tahapan pertama dimulai dari tanggal 4 Desember 1976 sampai dengan tanggal 15 Agustus 2005 dan, tahapan kedua sebelum tanggal 4 Desember 1976. Jika adanya pelaporan selama perihal motif pelanggaran HAM oleh masyarakat selama dua periode tersebut Pihak KKR berhak untuk merekomendasikan, menindaklanjuti, merekomendasikan reparasi dan melaksanakan rekonsiliasi.

Dalam melaksanakan kerja KKR Aceh berasaskan keislaman, Ke-Acehan, Independensi, Imprasi, non diskriminasi, demokratisasi, berkeadilan dan kesetaraan, serta adanya kepastian hukum. Adapun maksud dari pada azas-azas sebagaimana disebutkan adalah sebagai berikut:
  1. Asas keislaman adalah Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi dalam proses penungkapan kebenaran haruslah sesuai dengan tuntunan agama Islam.
  2. Asas keacehan merupakan proses pengungkapan kebenaran harus memperhatikan kearifan lokal dan menjunjung tinggi adat-istiadat Aceh.
  3. Asas Imparsial adalah kemampuan KKR dalam menyelesaikan perkara HAM di Aceh untuk bertindak secara utuh  tanpa melakukan satu pemihakan pada satu atau lain pihak.
  4. Asas Non-diskriminasi adalah KKR Acehbekerja dengan tidak melakukan pembedaan atau pengecualian atas dasar gender, ras, keyakinan, agama, etnis dan pembedaan lainnya;
  5. Asas Demokratisasi dalam menyelesaikan perkara HAM di Aceh harus melindungi hak-hak dari para pihak demi kepentingan bersama.
  6. Asas keadilan dan kesetaraan proses pengungkapan kebenaran yang ada haruslah memperhatikan keadilan dan kesetaraan semua pihak.
  7. Asas  kepastian  hukum, dalam pengungkapan kebenaran berdasarkan landasan PeraturanPerundang-undangan, kepatutan, dan keadilan.
Terdapat beberapa tujuan dari pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsilisi adlah sebagai berikut:
  1. Memperkuat perdamaian dengan mengungkapkan kebenaran terhadappelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu.
  2. Membantu tercapainya rekonsiliasi antara pelaku pelanggaran HAM baik itu perorangan maupun lembaga dengan para korban, dan
  3. Merekomendasikan raparasi menyeluruh bagi korban pelanggaran HAM, sesuai dengan standar universal yang berkaitan dengan hak-hak korban.
Tujuan Rekonsiliasi yang di muat pada Pasal 33 Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Aceh adalah sebagai berikut:
  1. Merajut kembali persaudaraan yang terpecah dan menghilangkan dendam antara korban/keluarga korban danpelaku dalam rangka memperkuat keutuhan masyarakat dan bangsa.
  2. Membangun kebersamaan untuk menjaga keberlanjutan perdamaian.
  3. Mencegah berulangnya konflik, dan
  4. Menjaga keutuhan wilayah Aceh.


Kamis, 28 Februari 2019

REKONSILIASI BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI ACEH


REKONSILIASI BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI ACEH - Rekonsiliasi berasal dari kata reconciliation yang artinya perdamaian, perukunan kembali. Menurut Bristol dan Carol (1999: 159), berdamai kembali berarti menyelaraskan atau menyelesaikan suatu ketidakcocokan. Menurut Teuku Muttaqin Mansur (2017: 147) perdamaian adat merupakan suatu proses suatu peristiwa atau perbuatan yang memberikan dampak terhadap ganguan keseimbangan (reaksi) di dalam kehidupan bermasyarakat dan dipulihkan kembali dengan cara merukunkan kembali kedua belah pihak yang bersengketa melalui upacara adat.

REKONSILIASI BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI ACEH
(pendengaran suara korban pelanggaran HAM di Aceh oleh KKR Aceh)

Berdasarkan ketentuan Pasal 33 Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran Aceh, adalah:
  1. Merajut kembali persaudaraan yang terpecah dan menghilangkan dendam antara korban, keluarga korban dan pelaku dalam rangka memperkuat keutuhan masyarakat dan bangsa;
  2. Membangun kebersamaan untuk menjaga keberlanjutan perdamaian;
  3.  Mencegah berulangnya konflik, dan
  4.   Menjaga keutuhan Wilayah Aceh.
Pada Pasal 34 Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran Aceh mekanisme rekonsiliasi pada tingkat Gampong atau Kecamatan dalam rangka mengungkapkan kebenaran, pengakuan dan pengampunan yangberbasis kearifan lokal di Aceh adalah sebagai berikut :
  1. Proses rekonsiliasi harus diperlihatkan dan disaksikan Keuchik, Teungku Imum, Imum Mukim, Tuha Peut, Tuha Lapan, aparatur Gampong, Lembaga Adat setingkat Gampong atau Setingkat Mukim.
  2. Mempertemukan dan Melakukan mediasi antara pelaku dan korban.
  3. Jika para pihak sudah sepakat untuk berdamai, maka pelaku pelanggaran HAM memohon maaf kepada korban terbuka. Dalam permohonan maaf pelaku juga diharuskan utukk berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya dan pelaku diharuskan untuk membayar biaya restitusi sebagaimana telah diperjanjiakan oleh kedua belah pihak.
  4. Penerimaan penyataan maaf oleh korban secara terbuka.

Pada umumnya metode penyelesaian sengketa yang dilakukan secara turun-temurun dalam kearifan lokal masyarakat Aceh dilakukan melalui:
  1. Di’iet atau diyat dalam istilah syariat Islam bermakna pengganti jiwa atau anggota tubuh yang hilang atau rusak dengan harta, baik harta bergerak atau harta tidak bergerak.
  2. Sayam adalah bentuk kompensasi berupa harta yang diberikan oleh pelaku pidana terhadap korban atau ahli waris korban.
  3. Suloh berasal dari kata Al-Shulhu atau Ishlah adalah upaya perdamaian antar pihak yang bersengketa atau konflik.
  4. Peusijuk adalahTradisi ini biasanya dilakukan untuk memohon keselamatan, ketentraman, dan kebahagiaan dalamkehidupan. Dan,
  5. Peumat Jaroe merupakan suatu kegiatan berjabat tangan antara para pihak yang bersengketa.Peumat Jaroe biasanya dilakukan pada tahap akhir yang menandakan para pihak sudah saling memaafkan.