Tampilkan postingan dengan label Hukum Adat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Adat. Tampilkan semua postingan

Selasa, 28 Juni 2022

MEKANISME PENYELESAIAN DELIK ADAT


Mekanisme penyelesaian delik adat
Mekanisme Penyelesaian Delik Adat


MEKANISME PENYELESAIAN DELIK ADAT yang diakibatkan oleh adanya gannguan terhadap keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat dapatlah ditempuh/diselesaikan melalui beberapa tahapan sebagaimana berikut:

  1. Penyelesaian antara pribadi, keluarga, Tetangga;

Jika terjadi suatu peristiwa atau perbuatan delik adat di kampung, dusun atau suatu permukiman maka untuk memulihkan gangguan keseimbangan keluarga atau masyarakat keluarga atau masyarakat yang bersangkutan diselesaikan langsung di tempat kejadian antara pribadi yang bersangkutan ataupun diselesaikan langsung dirumah keluarga salah satu pihak keluarga yang bersangkutan dalam kesatuan rukun tetanggan dan sebagainya.

Di kota-kota besar sering terjadi kecelakaan lalu lintas, baik itu antara pengendara dengan pengendara motor atau antara pengendara motor dengan para pejalan kaki. Akibat dari terjadi kecelakaan tersebut menyebabkan salah satu pihak menderita luka-luka dan sebagainya. Maka untuk menyelesaikan perselisihan tersebut biasanya kedua belah pihak melakukan kegiatan rembuk bersama (menyelesaikan) permasalahan di tempat kejadian untuk mencapai kata (damai).

Adakalanya perselisihan antara kedua pihak tersebut tidak menemukan titik temu penyelesaiaannya oleh kedua belah pihak maka dilibatkanlah pihak keluarga para pihak.

 

  1. Penyelesaian sengketa melalui jalur Kepala Kerabat atau kepala adat

Adakalanya pertemuan untuk penyelesaian sengketa secara kekeluargaan tidak menemukan titik temu (kesepakatan) maka perkera tersebut perlu untuk dilanjutkan kepada kepala kerabat atau kepala adat dari kedua belah pihak.

Penyelesaian pada tahapan ini dilibatkan para tetua adat karena ada anggapan orang tua bisa/dapat menyelesaikan berbagai hal permasalahan (sengketa) secara adil berdasarkan putusan-putusan adat dari permasalahan dari dahulu kala dan orang tua pada kebiasaannya lebih bijaksana dalam memberikan suatu bentuk keputusan.

 

  1. Penyelesaian sengketa melalui jalur kepala desa;

Apabila penyelesaian delik adat yang dilakukan pada tahap kekeluargaan dan di tingkatan kepala adat juga tidak ditemukan titik temu (kesepakatan damai)oleh para pihak yang bersengketa maka proses penyelesaian sengketa berlanjut pada jalur kepala desa (peradilan Adat Gampong).

Dalam masyarakat adat Aceh diketahui adanya suatu Lembaga Peradilan Adat Gampong, yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan 18 pokok perkara sengketa dalam kehidupan masyarakat adat (lihat Pasal 13 Qanun nomor 9 tahun 2008). Dalam hal menyelesaikan permasalahan tersebut seorang keuchik (aparatur gampong) dijadikan sebagai hakim adat untuk menyelesaikan pokok perkara.

Tujuan penyelesaian ini bukan untuk menemukan atau mencari siapa yang salah dan siapa yang benar melainkan mewujudkan kedamaian antara kedua belah pihak yang bersengketa dan para pihak dapat kembali lagi dalam kehidupan bermasyarakat dalam keadaan damai dan tentram.

 

  1. Penyelesaian sengketa melalui jalur keorganisasian (class action).

Class action adalah suatu cara yang diberikan kepada sekelompok orang yang mempunyai kepentingan dalam suatu masalah, baik seorang atau lebih anggotanya menggugat atau digugat sebagai perwakilan kelompok tanpa harus turut serta dari setiap anggota kelompok. Persyaratan umum yang perlu ada mencakup banyak orangnya, tuntutan kelompok lebih praktis, dan perwakilannya harus jujur dan adequate (layak). Dapat diterima oleh kelompok, dan mempunyai kepentingan hukum dan fakta dari pihak yang diwakili.

Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien, dan seseorang yang akan turut serta dalam class action harus memberikan persetujuan kepada perwakilan.

Istilah class Action dalam masyarakat adat terutama dalam permasalahan pengrusakan wilayah kekuasaan adat, dalam hal ini atas kerugian bagi masyarakat adat seorang ketua adat dapat memfasilitasi pelaku yang merugikan banyak pihak.

Kamis, 20 Juni 2019

Sejarah perkembangan hukum adat di Aceh pasca Mou Helsinki

Sejarah perkembangan hukum adat di Aceh pasca Mou Helsinki
Sejarah perkembangan hukum adat di Aceh pasca Mou Helsinki-Semenjak lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, keberadaan hukum adat semakin kuat dikarenakan adanya pengakuan terhadap lembaga adat. Adanya pemberian kewenangan kepada lembaga adat dalam melaksanakan hukum adat, yang ketentuan di atur dalam Bab XIII Pasal 98 tentang Lembaga Adat UUPA.

Dalam Pasal 98 ayat (1) disebutkan, Bahwa:
“Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban.”

kemudian dalam Pasal 98 ayat (1) berbunyi:
“Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban.”

Maka dengan demikian, berdasarkan amanah UUPA tersebut, dibentuklah turunan peraturan  daerah (Qanun) untuk menguatkan keberadaan lembaga adat (peradilan adat), struktur lembaga adat, dan hukum adat.

Adapun qanun-qanun di maksud adalah, sebagai berikut:
  1. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, yang disahkan pada 30 Desember 2008.
  2. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, yang disahkan pada 30 Desember 2008.
  3. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Imum Mukim,  yang disahkan pada 28 Mei 2009.
  4. Qanun Aceh Nomor  4  Tahun  2009  tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik (Kepala Desa, Kepala Kampung), yang disahkan pada 28 Mei 2009.
Dengan adanya undang-undang dan qanun-qanun di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa keberadaan hukum adat baik dalam arti materil maupun formil (peradilan adat) dapat dikatakan telah ditempatkan dalam sistem hukum positif (formal). Ini menunjukkan bahwa keberadaan hukum adat dan lembaga adat (peradilan adatnya) lambat laun akan menuju pada perundang-undangan formal. Konsekuensinya adalah, hukum adat dan peradilan adat dapat besifat kaku sebagaimana praktik lembaga-lembaga formal lainnya. Jika perundang-undangan tidak mengaturnya, maka praktik kebiasaan masyarakat sebagai unwritten law (hukum tidak tertulis) yang telah dipraktikkan secara turun temurun akan dianggap tidak mempunyai arti formal.

Kamis, 28 Februari 2019

REKONSILIASI BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI ACEH


REKONSILIASI BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI ACEH - Rekonsiliasi berasal dari kata reconciliation yang artinya perdamaian, perukunan kembali. Menurut Bristol dan Carol (1999: 159), berdamai kembali berarti menyelaraskan atau menyelesaikan suatu ketidakcocokan. Menurut Teuku Muttaqin Mansur (2017: 147) perdamaian adat merupakan suatu proses suatu peristiwa atau perbuatan yang memberikan dampak terhadap ganguan keseimbangan (reaksi) di dalam kehidupan bermasyarakat dan dipulihkan kembali dengan cara merukunkan kembali kedua belah pihak yang bersengketa melalui upacara adat.

REKONSILIASI BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI ACEH
(pendengaran suara korban pelanggaran HAM di Aceh oleh KKR Aceh)

Berdasarkan ketentuan Pasal 33 Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran Aceh, adalah:
  1. Merajut kembali persaudaraan yang terpecah dan menghilangkan dendam antara korban, keluarga korban dan pelaku dalam rangka memperkuat keutuhan masyarakat dan bangsa;
  2. Membangun kebersamaan untuk menjaga keberlanjutan perdamaian;
  3.  Mencegah berulangnya konflik, dan
  4.   Menjaga keutuhan Wilayah Aceh.
Pada Pasal 34 Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran Aceh mekanisme rekonsiliasi pada tingkat Gampong atau Kecamatan dalam rangka mengungkapkan kebenaran, pengakuan dan pengampunan yangberbasis kearifan lokal di Aceh adalah sebagai berikut :
  1. Proses rekonsiliasi harus diperlihatkan dan disaksikan Keuchik, Teungku Imum, Imum Mukim, Tuha Peut, Tuha Lapan, aparatur Gampong, Lembaga Adat setingkat Gampong atau Setingkat Mukim.
  2. Mempertemukan dan Melakukan mediasi antara pelaku dan korban.
  3. Jika para pihak sudah sepakat untuk berdamai, maka pelaku pelanggaran HAM memohon maaf kepada korban terbuka. Dalam permohonan maaf pelaku juga diharuskan utukk berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya dan pelaku diharuskan untuk membayar biaya restitusi sebagaimana telah diperjanjiakan oleh kedua belah pihak.
  4. Penerimaan penyataan maaf oleh korban secara terbuka.

Pada umumnya metode penyelesaian sengketa yang dilakukan secara turun-temurun dalam kearifan lokal masyarakat Aceh dilakukan melalui:
  1. Di’iet atau diyat dalam istilah syariat Islam bermakna pengganti jiwa atau anggota tubuh yang hilang atau rusak dengan harta, baik harta bergerak atau harta tidak bergerak.
  2. Sayam adalah bentuk kompensasi berupa harta yang diberikan oleh pelaku pidana terhadap korban atau ahli waris korban.
  3. Suloh berasal dari kata Al-Shulhu atau Ishlah adalah upaya perdamaian antar pihak yang bersengketa atau konflik.
  4. Peusijuk adalahTradisi ini biasanya dilakukan untuk memohon keselamatan, ketentraman, dan kebahagiaan dalamkehidupan. Dan,
  5. Peumat Jaroe merupakan suatu kegiatan berjabat tangan antara para pihak yang bersengketa.Peumat Jaroe biasanya dilakukan pada tahap akhir yang menandakan para pihak sudah saling memaafkan.


Kamis, 16 November 2017

Perbedaan Pemikiran Van Vollenhoven dan Ter Haar tentang Konsep Hukum Adat Serta Implikasinya Pada Praktek Hukum

Perbedaan Pemikiran Van Vollenhoven dan Ter Haar tentang Konsep Hukum Adat Serta Implikasinya Pada Praktek Hukum - Cornelis van Vollenhoven: mengangkat nilai-nilai hukum adat sebagai kodifikasi rakyat pribumi. “Elk volk heeft zijn waarde en beteekenis, en alle menschelijke gaven en talenten, in al hun verscheidenheid hebben aanspraak op volle ontplooiing.”[1] (Tiap-tiap bangsa mempunyai harga dan arti sendiri, dan semua karunia dan pepandaian yang diberikannya mempunyai hak untuk berkembang sepenuhnya).

Mengenai definisi hukum adat, C. Van Vollenhoven berpendapat bahwa apabila seorang hakim menghadapi kenyataan bahwa ada peraturan tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para warga masyarakat serta ada perasaan umum peraturan-peraturan itu harus dipertahankan oleh para penjabat hukum, maka peraturan-peraturan adat tadi bersifat hukum.[2] Pendapat tersebut dikemukakan dalam kaitannya untuk membedakan antara Adat dengan Hukum Adat.

Van Vollenhoven menempatkan hukum adat ke dalam suatu sistematika yang merupakan suatu ilmu pengetahuan tersendiri. Dari sekian banyak usaha serta hasil-hasilnya, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari karya-karyanya. Pertama, van Vollenhoven telah berhasil menghilangkan kesalahpahaman yang menyatakan bawha hukum adat adalah identik dengan hukum agama (dalam hal ini hukum Islam).

Kecuali dari pada itu, van Vollenhoven telah membela hukum adat terhadap ancaman pembuat undang-undang yang mendesak atau bahkan berusaha melengyapkan hukum adat. Untuk itu dia telah meyakinkan pembuat undang-undang, bahwa hukum adat merupakan hukum yang hidup dan memiliki sistem tersendiri. Selanjutnya, van Vollenhoven telah membagi wilayah hukum adat Indonesia ke dalam 19 lingkungan hukum adat atau adat rechts kringen. Pembagian tersebut sangat mempermudah untuk mempelajari hukum adat masing-masing daerah yang masing-masing memiliki ciri khas, sehingga diperoleh suatu ikhtisar yang sistematis dari hukum adat di Indonesia.[3] Dengan membentangkan secara luas dan mendalam tentang sistem hukum adat, van Vollenhoven telah meletakkan dasar bagi penelitian lebih lanjut terhadap hukum adat.

Pada masa politik etis, dimana pemerintah Hindia-Belanda berusaha untuk melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum, van Vollenhoven berperan dalam kegagalan merealisasi unifikasi hukum dan kodifikasi hukum perdata untuk golongan rakyat di Hindia Belanda. Pada tahun 1905, van Vollenhoven menentang kebijakan tersebut dan mengatakan bahwa hukum yang dicita-citakan Idenburg adalah hukum yang asing bagi orang-orang pribumi, tepat sama seperti hukum Romawi pada zaman dahulu dipaksakan ke tengah kehidupan orang-orang Belanda.[4]

Meskipun demikian, pada akhirnya rancangan undang-undang Idenburg tersebut diterima oleh parlemen, namun pendapat-pendapat van Vollenhoven kemudian disinyalir menjadi pemicu lahirnya amandemen Idsinga yang menegaskan kebijakan yang telah dikompromikan, ialah bahwa hukum rakyat yang tidak tertulis (hukum adat) hanya boleh digantikan hukum Eropa manakala dalam kehidupan sehari-hari rakyat pribumi itu memang benar-benar memerlukan hukum itu.[5]

Pada tahun 1919, van Vollenhoven juga dengan keras menentang upaya pemerintah kolonial yang mencoba membawa golongan rakyat pribumi ke bawah yurisdiksi hukum kolonial yang diunifikasikan, akan tetapi yang secara sepihak cuma hendak merujuk ke hukum Eropa (yang dipandang superior) dengan mengabaikan nomenklatur-nomenklatur hukum adat (yang dianggap inferior).

Perlawanan-perlawanan itu diberikan dengan dalih Savignian, bahwa kebutuhan hukum penduduk pribumi sungguh berbeda dengan kebutuhan hukum orang-orang Eropa dan karena itu penerapan hukum Eropa secara sepihak akan mengancam ambruknya tatanan pribumi. Sesungguhnya van Vollenhoven tidaklah boleh dituduh begitu saja sebagai penolak ide unifikasi dan kodifikasi, ia hanya keberatan manakala hukum rakyat pribumi yang berkedudukan mayoritas harus diabaikan untuk membukakan jalan bagi diberlakukannya hukum Eropa. Ia mencoba memberikan contoh kecil bagaimana seyogyanya hukum kodifikasi dikembangkan secara khusus untuk orang-orang pribumi dengan memperhatikan sungguh-sungguh adat, hukum adat, dan kebutuhan hukum rakyat pribumi.[6] Hingga saat pecahnya perang Pasifik dan runtuhnya kekuasaan de facto pemerintahan kolonial di Hindia-Belanda, sekalipun ide unifikasi dan kodifikasi tetap dikukuhi bersama tetapi realisasinya dalam praktek tidak juga kunjung terwujud.[7]

Perkembangan yang terjadi sepanjang 4 dasawarsa pertama abad 20 adalah terbukanya pintu pendidikan ke arah ilmu dan budaya Eropa untuk anak-anak kaum elit pribumi, dan dengan demikian juga membukakan kesempatan untuk mereka guna memasuki posisi-posisi yang relatif tinggi dalam organ-organ pemerintahan dan peradilan di Hindia-Belanda.[8] Selanjutnya, munculnya kaum terpelajar dari kalangan pribumi, juga khususnya yang berkeahlian hukum dan ilmu hukum, membuka kesempatan untuk diakuinya hukum adat bahkan setelah kemerdekaan.

Barend ter Haar Bzn: mengembangkan dan merawat hukum adat melalui cara-cara common law, hakim sebagai legitimator hukum adat. Ter Haar merupakan salah satu murid van Vollenhoven yang meneruskan penelitiannya tentang hukum adat. Ia melanjutkan penelitian hukum adat dengan menyoroti lembaga hukum beserta interrelasinya dan faktor-faktor sosial (di luar hukum) yang mempengaruhi perkembangan hukum.

Ter Haar mengungkapkan bahwa Hukum Adat mencakup seluruh peraturan yang menjelma di dalam keputusan-keputusan pada penjabat hukum, yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta yang di dalam pelaksanaannya secara serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut. Keputusan tersebut dapat mengenai suatu persengketaan, akan tetapi juga dapat diambil berdasarkan kerukunan dan musyawarah.[9] Namun demikian, ter Haar juga menyatakan bahwa Hukum Adat dapat timbul dari keputusan para warga masyarakat.[10]

Ter Haar telah berusaha menempatkan hukum adat sejajar dengan ilmu-ilmu hukum positif lainnya. Dalam bukunya yang berjudul Beginselen en Stelsel van het Adatrecht, Ter Haar menguraikan secara sistematis masalah-masalah yang menyangkut masyarakat hukum adat, tanah, perjanjian, hukum keluarga, hukum perkawinan, hukum waris, dan lain sebagainya.

Sepanjang dasawarsa 1930-an, sampai pecahnya perang Pasifik tahun 1942, ter Haar berhasil mempertahankan hukum adat sebagai hukum yang hidup dan terpakai di badan-badan pengadilan negara (yang diselenggarakan khusus untuk memeriksa perkara-perkara orang-orang pribumi ialah landraad). Ter Haar berhasil mengukuhkan hukum adat atas dasar dan/atau atas kekuatan preseden-preseden yang dikembangkan dalam yurisprudensi landraad.[11]

Pada tahun 1930-an, banyak landraad sudah mulai diketuai oleh hakim-hakim banyak diantaranya berasal dari kalangan pribumi yang tahu benar bagaimana menghargai hukum adat, dan paham benar begaimana menemukan asas-asas hukum adat yang hidup di masyarakat untuk seterusnya diterapkan sebagai keputusan-keputusan yang mengikat. Lewat cara ini, hukum adat memperoleh bentuknya yang formal (sebagai hukum pengadilan negara), dan seterusnya tersistematisasi lewat yurisprudensi. Disadari atau tidak, ter Haar telah mengembangkan dan merawat hukum adat lewat cara yang dikenal dalam sistem common law.[12] Untuk mendapatkan pengakuan formil dalam undang-undang, ter Haar telah memperjuangkan pengakuan hak ulayat melalui “Volksraad”, komisi agraria 1928, maupun dalam advis komisi tahun 1938.[13]

Hukum adat, sebagaimana hukum rakyat pada umumnya, sebenarnya memiliki kekuatannya dalam wujud realitanya sebagai pola perilaku (pattern of actual behavior). Pengkodifikasiannya dan dengan demikian juga pengubahannya menjadi pola untuk mengatur perilaku (pattern of behavior) akan menghilangkan kekuatan dinamiknya. Sebenarnya ter Haar telah berhasil memodernisasi hukum adat, dan menyiapkannya untuk keperluan menata kehidupan rakyat di dalam lingkungan masyarakat negara. Ter Haar memodernisasi hukum adat hanya dalam ihwal forum dan fungsinya, namun tetap menyerahkan modernisasi (dalam arti pemutakhiran nilai) substansinya pada pengalaman masyarakat sendiri. Namuan para yuris saat ini tidak bisa memahami kenyataan bahwa hukum adat (dalam konteks nasional sekalipun) sebenarnya hanya akan menemukan kelestariannya kalau diperlakukan sebagai common law menurut konsep legal realism, dan tidak sebagai hukum kodifikasi yang dirawat berdasarkan konsep analytical jurisprudence.[14]

Intisari dari pokok pemikiran ter Haar ini dapat kita lihat dari rumusan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Rumusan tersebut mengakui nilai-nilai hukum adat sebagai nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Melalui kewajiban (atau bisa juga diartikan sebagai kewenangan) hakim dan hakim konstitusi tersebut, eksistensi hukum adat dapat dijaga melalui putusan pengadilan. Pencantumannya secara tertulis dalam undang-undang tidak terlepas dari sistem hukum negara Indonesia yang lebih condong ke arah sistem hukum civil law. Namun demikian, eksistensi hukum adat hanya dapat dijaga melalui praktek-praktek (law in action). Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut hanyalah sebagai tool atau alat, tetapi penerapannya tergantung dari hakim sebagai pihak yang berwenang untuk menerapkannya. Secara umum, belum banyak hakim yang menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kebanyakan hakim masih menganut paradigma positivistik, sehingga putusan-putusannya tidak mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa dan keadilan masyarakat, melainkan mencerminkan kemauan undang-undang (kehendak penguasa).



[1] Cornelis van Vollenhoven, dikutip dari Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981, hal. 101.
[2] C. van Vollenhoven, Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie, Dell III, hal. 398, dalam Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981, hal.15-16.
[3] Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981, hal. 55.
[4] Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, halaman 124.
[5] Ibid, hal. 126.
[6] Ibid, hal. 127.
[7] Ibid, hal. 10-11.
[8] Ibid.
[9] Ter Haar Bzn, Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie in Wetenschap, Practijk en Onderwijs, 193, dalam Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981, hal. 17.
[10] Ter Haar, De Rechtspraak can landraden naar ongenschreven Recht, 1930, dalam Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981, hal.17.
[11] Soetandyo Wignjosoebroto, Op.Cit., hal. 133.
[12] Ibid, hal. 134.
[13] Soekanto dan Soerjono Soekanto, Loc.Cit.,. halaman 58.
[14] Soetandyo Wignjosoebroto, op cit., hal. 135.

Senin, 23 Oktober 2017

HARI PANTANG MELAUT DALAM MASYARAKAT ADAT ACEH

Uroe pantang meulaot (hari pantang melaut dalam masyarakat adat Aceh

HARI PANTANG MELAUT DALAM MASYARAKAT ADAT ACEH – Terdapat beberapa lembaga adat yang masih berkembang semenjak zaman dulu sampai dengan sekarang dalam kehidupan masyarakat adat Aceh salah satunya adalah lembaga adat laot[1]. Lembaga adat laot dipimpin oleh seorang Panglima Laot.[2] Dari beberapa sumber menyatakan Panglima Laot telah berada pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda pada tahun (1607-1636) dan kurang lebih sudah 410 Tahun yang lalu dimana tugas dari seorang panglima Laot dipercayai sebagai petugas pemugut cukai pada tiap kapal-kapal yang bersandar di pelabuhan dan sebagai penghubung antara pihak pemerintahan dan pihak nelayan.

Istilah uroe pantang meulaot pada hukum adat laot Aceh dapat diartikan sebagai hari larangan bagi para nelayan untuk melaut. Adapun hari-hari pantang melaut (uroe pantang meulaot) dalam adat laot aceh adalah sebagai berikut:
  1.  1 (satu) hari pada hari Jum’at;
  2.  2 (dua) hari pada hari raya Idul Fitri;
  3. 4 (empat) hari pada hari raya Idul Adha;
  4. 1 (satu) hari pada hari perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yaitu pada Tangga 17 Agustus;
  5. 1 (satu) hari pada peringatan musibah Tsunami di Aceh tanggal 26 (dua puluh enam) Desember; dan.
  6. 3 (tiga) hari pada waktu pelaksaan kenduri Laut.


Terdapat beberapa sanksi jika para nelayan tidak memenuhi atau melanggar aturan adat laot di Aceh maka pihak yang melanggar akan diberikan hukuman yang berupa pertama, seluruh hasil tangkapan akan disita oleh pihak lembaga adat laot dalam hal ini dipimpin oleh Panglima Laot. Kedua, nelayan yang melanggar adat laot selain disita hasil tangkapan juga akan dikenakan sanksi larangan melaut paling cepat 3 (tiga) hari dan paling lama 7 (tujuh) hari.



[1] Laot merupakan arti dari kata laut.
[2] Panglima Laot adalah orang yang memimpin dan mengatur adat dan reusam pada wilayah pesisir dan laut.

Minggu, 22 Oktober 2017

Asas-Asas Dalam Peradilan Adat di Aceh

Asas-Asas Dalam Peradilan Adat di Aceh - Asas adalah suatu tatanan nilai-nilai sosial yang menduduki tngkatan yang tertinggi dari suatu sistem hukum serta tidak boleh disampingkan dari dan oleh suatu sistem hukum dengan bentuk apapun. Pada suatu sistem hukum adat yang hidup dalam kehidupan masyarakat adat Aceh diketahui terdapat sejumlah asas-asas yang pada umumnya dapat diterima oleh berbagai sistem hukum lainnya. Adapun asas-asas yang asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Asas terpercaya atau sering disebut dengan amanah (Acceptability).
Asas terpercaya (amanah) artinya suatu peradilan adat yang dilaksanakan oleh lembaga adat dalam kehidupan masyarakat adat dapat dipercayai oleh seluruh masyarakat adat.
2.      Asas Tanggung Jawab/Akuntabilitas (accountability).
Pada prinsip ini yang menjadi poin penting adalah suatu mekanisme pertanggung jawaban dalam pelaksanaan suatu peradilan adat dimana pada tiap penyelesaian suatu sengketa adat di dalam peradilan adat. Hasil dari suatu putusan ini harus dapat dipertanggung jawabkan di depan para pihak yang bersengketa, masyarakat yang menyaksikan, negara dan Allah SWT (Tuhan) selaku sang pencipta.
3.      Asas kesetaraan di depan hukum (equality before the law).
Suatu peradilan adat tidak boleh adanya unsur-unsur pembedaan kepada para pihak, di mana didalamnya terdapat suatu kesetaraan dalam hukum pada setiap Individu. Adapun Tujuan utama adanya Equality before the law adalah menegakkan keadilan dimana persamaan kedudukan berarti hukum sebagai satu entitas tidak membedakan siapapun yang meminta keadilan kepadanya.
4.      Asas cepat, mudah dan biaya murah (accessibility to all citizens).
Tiap-tiap putusan sengketa atau perkara yang berada pada peradilan adat haruslah dapat di jangkau oleh masyarakat adat baik menyangkut dari segi biaya, waktu dan prosedur tahapan beracara di peradilan adat.
5.      Asas ikhlas dan sukarela (voluntary nature).
Suatu keadilan adat tidak boleh memaksa para pihak untuk menyelesaikan perkaranya melalui peradilan adat, dengan kata lain. Jika para pihak ingin menyelesaikan perkara (sengketa) melalui jalur peradilan adat maka terlebih dahulu para pihak yangbersengketa haruslah benar-benar sepakat (tidak ada paksaan) untuk menyelesaikan perkara melalui jalur peradilan adat.
6.      Asas penyelesaian sengketa secara damai dan rukun (peaceful resolution).
Asas ini bertujuan hasil dari suatu putusan adat dapat mendamaikan lagi para pihak yang bersengketa dan menciptakan kembali rasa keseimbangan, keharmonisan dan kedamaian saat perkara adat itu dianggap selesai.
7.      Asas musyawarah atau mufakat (consensus).
Tiap seluruh proses peradilan adat
8.      Asas keterbukaan untuk umum (transparancy).
Pada asas ini menganjurkan untuk semua proses peradilan (kecuali untuk kasus-kasus tertentu) baik itu tahapan awal mulai penerimaan pengaduan, pemanggilan saksi, persidangan sampai pengambilan dan pembacaan putusan atau tahapan akhir persidangan peradilan adat haruslah dilaksanakan secara terbuka.
9.      Asas jujur dan kompetensi(competence/authority)
Asas jujur dan kompetensi sangat menekankan seorang ketua adat agar tidak mengambil suatu keuntungan dari sagala bentuk apapun baik itu bersifat material ataupun non material dari suatu penanganan perkara.
10.  Asas Keberagaman (pluralism)
Suatu peradilan adat haruslah menghargai keberagaman peraturan hukum yang terdiri dari berbagai sistem hukum adat dan berlaku dalam suatu masyarakat adat tertentu.
11.  Asas Praduga tak bersalah (presumption of innocence)
Dalam peradilan adat tidak mengenal adanya suatu tindakan main hakim sendiri. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan adat, juga wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan adat  yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
12.  Asas Berkeadilan (propotional justice)

Suatu putusan peradilan adat haruslah bersifat adil dan diterapkan berdasarkan pedoman-pedoman yang sesuai dengan parahnya suatu perkara dan keadaan ekonomi dari para pihak. 

Selasa, 17 Oktober 2017

Alur Proses Penyelesaian Sengketa Pada Masyarakat Adat

Alur Proses Penyelesaian Sengketa Pada Masyarakat Adat - Alur penyelesaian sengketa pada masyarakat adat Aceh haruslah melalui tahapan-tahapan tertentu, jika persengketaan perdata yang merugikan para pihak  maka tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut[1]:
1)           Pada tahapan awal harus adanya pelaporan dari pihak yang mengalami kerugian (korban) atau kedua belah pihak yang bersengketa kepada kepala dusun atau petuwa jurong (ketua lorong) ditempat terjadi persengketaan atas dasar asas teritorial. Akan tetapi dalam pelaksanaannya juga memungkinkan pihak yang mengalami kerugian atau para pihak yang mempunyai sengketa juga dibenarkan langsung untuk melaporkan perihal pokok perkara yang disengketakan langsung kepada keuchik.
2)           Ketika keuchik telah menerima laporan dari ketua dusun, petuwa jurong (ketua lorong) atau dari pada pihak maka keuchik membentuk satu musyawarah secara internal antar aparatur gampong yang terdiri atas, Sekretaris Gampong, Petuwa Jurong, Kepala Dusun, Imum Meunasah untuk menentukan jadwal persidangan.
3)           Sebelum dimulai acara persidangan, terlebih dulu adanya kewajiban bagi aparatur gampong untuk pendekatan musyawarah dengan para pihak yang bersengketa dengan tujuan agar dapat mengetahui pokok dari duduk perkara dari permasalahan yang disengketakan dan meminta persetujuan dari para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan masalah dengan damai.
4)           Jika adanya kesepakatan dari para pihak menyetujui untuk menyelesaikan perkara secara damai maka Sekretaris Gampong mengundang para pihak secara resmi untuk menghadiri persidangan pada hari dan tanggal sebagaimana telah ditentukan.
5)           Pada saat persidangan berlangsung maka para pihak dapat diwakili oleh wali ataupun sanak saudaranya yang dipercayai untuk dijadikan sebagai juru bicara.
6)           Proses persidangan bersifat resmi dan terbuka untuk umum dan tempat pelaksanaannya dilaksakan di meunasah, mesjid ataupun tempat yang dianggap aman dan netral.
7)           Forum persidangan bersifat formal secara adat dan sesuai dengan pola tata letak adat gampong.
8)           Ketika dibuka dan berlangsung maka keuchik yang selaku ketua membuka sidang dan mempersilahkan para pihak atau juru bicara untuk menyampaikan permasalahannya yang kemudian dicatat oleh Sekretaris Gampong selaku panitera.
9)           Setelah penyampaian permasalahan dari para pihak maka selanjutnya keuchik memberikan kesempatan kepada para saksi untuk memberikan kesaksian, sebelum memberikan kesaksian maka para saksi diambil sumpah terlebih dahulu.
10)       Selanjutnya adalah adanya tanggapan dari ulama atau cendikiawan untuk menyampaikan solusi atau jalan keluar dari pokok perkera yang disengketakan.
11)       Keuchik beserta seluruh anggota sidang memusyawarahkan putusan damai atas apa yang diberikan jika telah adanya kesepakan tentang jenis putusan damai yang akan diputuskan. Jika para pihak yang bersengketa menerima hasil putusan tersebut, maka sekretaris gampong selaku panitera membuat diktum putusan atau sering disebut surat perjanjian damai secara tertulis.
12)       Jika salah satu pihak atau para pihak tidak setuju dengan putusan perdamaian, maka salah satu pihak atau para pihak dapat mengajukan banding ke tingkat mukim dengan membuat surat pernyataan atas ketidak setujuan dari para pihak terhadap putusan adat di tingkat gampong sehingga penyelesaian sengketa diajukan ke persidangan tingkat mukim.
13)       Keuchik membaca putusan perdamaian dan meminta kepada para pihak untuk mentanda tangani akta perdamaian serta melaksanakan isi putusan itu dengan sungguh-sungguh.
14)       Hasil putusan perdamaian dan salinnya diberikan kepada para pihak dan disimpan pada kantor keuchik atau mukim dan dijadikan sebagai arsip.
15)       Setelah adanya putusan yang telah dispepakati dan diterima oleh para pihak maka pada petemuan berikutnya akan dilakukan pengeksekusian terhadap putusan melalui upacara perdamaian.
Proses penyelenggaran peradilan adat dan penyelesaian sengketa pada masyarakat adat Aceh pada umumnya diselesaikan berdasarkan alur penyelesaian di atas dikarenakan pada umumnya masyarakat Aceh mayoritas beragama Islam maka penyelesaian sengketa di lakukan di mesjid atau meunasah (musalla) dan melibatkan para pihak, saksi-saksi, keuchik, tuha peut, imum meunasah dan para ulama, keluarga dari para pihak. Penyelesaian sengketa gala dalam masyarakat adat dilakukan dengan metode musyawarah (mediasi) sehingga dari hasil musyawarah tersebut nantinya dapat dijadikan sebagai suatu keputusan bersama oleh  para pihak.
 Sehingga dalam para penyelenggara peradilan adat nantinya dapat menghasilkan bentuk keputusan hukum adat atas keputusan damai yang telah ditetapkan. Keputusan tersebut ditetapkan dihadapan umum dan dihadiri oleh seluruh masyarakat gampong, para pihak yang berperkara serta keluarga dan orang tua gampong. Bila kedua belah pihak telah sepakat untuk tidak melakukan banding ke tahapan mukim dan puas dengan rumusan penetapan putusan maka saat hari yang ditetapkan dilakukan eksekusi melalui suatu upacara perdamaian di mesjid atau meunasah di hadapan umum. Pada saat pelaksanaan eksekusi putusan pada tahapan awal biasanya para pihak dilakukan upacara adat peusijuek atau disebut dengan istilah tepung tawar.
Pada masyarakat Aceh pada umumnya upacara peusijuk dianggap sebagai upacara tradisional dari beberapa simbol, salah satunya adalah simbol dari perestuan dan saling memaafkan dengan tujuan agar para pihak setelah pelaksanaan eksekusi dan berakhirnya perkara yang disengketkan tidak menyimpan dendam dan benci sehingga para pihak dapat rukun dan harmonis kembali dan tahap terakhir adalah eksekusi putusan. Tanggung jawab eksekutor putusan berada di tangan keuchik, pelaksanaan putusan eksekutor terhadap dilakukan di mesjid atau meunasah atau tergantung kesepakatan dari para pihak.[2]




[1] Badruzzaman, Ketua Majelis Adat Aceh, Wawancara, 21 Desember 2016.
[2] Sulaiman A. Latief, Imum Mukim Kemukiman Kuta Reuntang, Wawancara.9 Januari 2016.