Tampilkan postingan dengan label Hukum Adat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Adat. Tampilkan semua postingan

Senin, 16 Oktober 2017

Peran dan tanggung jawab Ketua Adat dalam kehidupan masyarakat adat

Peran dan tanggung jawab Ketua Adat dalam kehidupan masyarakat adat - Terlibatnya ketua adat pada suatu penyelesaian perkara (sengketa) merupakan suatu tanggung jawab besar atas kepercayaan masyarakat hukum adat. Masyarakat memberikan kepercayaan kepada lembaga (pemimpin) adat untuk memutuskan perkara dalam penyelesaian pertikaian, sengketa dengan arif, adil dan damai.
Terdapat beberapa tanggungg jawab yang dibebankan oleh masyarakat kepada seorang pemangku (ketua) adat adalah sebagai berikut:
1.      Melaksanakan proses peradilan adat.
Ketua (pemangku) adat bertanggung jawab atas tiap-tiap tahapan dalam suatu peradilan adat, dimulai dari tahapan penerima laporan awal, duduk perkara antar para pihak yang berkaitan dengan permasalahan yang disengketanan sampai tahapan akhir pada tahapan sidang akhir dan pemberian suatu keputusan hasil sidang peradilan adat.
2.      Memutuskan sengketa (perkara) adat dengan adil.
Para ketua (pemangku adat) harus dapat memastikan setiap putusan-putusan yang diambil (diputuskan) dalam suatu proses peradilan adat diharuskan untuk memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang terlibat di dalam persengketaan. Suatu putusan haruslah diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dalam hasil proses pembuktian dan musyawarah dan bukan atas dasar kepentingan salah satu pihak yang bersengketa.
3.      Melindungi hak-hak para pihak yang bersengketa.
Ketua (pemangku) adat diharuskan dan bertanggung jawab atas pemenuhan hak-hak dari pihak-pihak yang bersengketa dimulai pada tahapan awal proses pelaporan, duduk perkara, proses persidangan dan sampai tahapan akhir pembacaan serta pelaksanaan putusan-putusan di persidangan adat.
4.      Mencatat proses dan keputusan peradilan.
Lembaga adat (ketua adat) diharuskan untuk melakukan pencatatan atas suatu putusan persengketaan adat secara tepat dan akurat dalam suatu dokumen administrasi peradilan adat.
5.      Mengarsipkan berkas perkara.
Ketua adat (lembaga adat) mempunyai tanggung jawab untuk mengarsipkan tiap putusan-putusan perkara dari suatu peradilan adat dan diarsipkan pada tempat yang aman. Hal ini dianggap penting untuk dilakukan agar menjamin dan memperlancar proses peradilan bagi kasus-kasus yang lainnya, sehingga memudahkan pemangku adat mempunyai referensi dalam pengambilan keputusan jika hal sama kembali terulang.

Sabtu, 14 Oktober 2017

DASAR HUKUM PERADILAN ADAT


DASAR HUKUM PERADILAN ADAT- Terdapat beberapa sejumlah aturan PerUndang-Undangan yang mendukung (dasar hukum peradilan adat di Aceh) agar terlaksananya suatu pelaksanaan peradilan adat di Aceh sehingga penguatan terhadap pelaksanaan peradilan adat dapat dilaksanakan mulai dari Gampong dan Mukim. Adapun lembaga-lembaga resmi yang dapat menyelenggarakan peradilan adat adalah lembaga Gampong dan lembaga Mukim.

Terdapat Beberapa aturan-aturan hukum yang mengatur tentang mekanisme dan pelaksanaan adat di Aceh:[1]
  1. Pasal 3 dan 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh yang menyatakan Daerah diberikan kewenangan untuk menghidupkan adat yang sesuai dengan Syariat Islam.
  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, di dalam bab XIII tentang Lembaga Adat yang menyebutkan bahwa:
a.       Pasal 92 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyatakan bahwa: Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat dapat ditempuh melalui lembaga adat;
b.      Adapun Lembaga-lembaga Adat sebagaimana disebutkan di atas adalah sebagai berikut:
1)      Tuha Peut;
2)      Majelis Adat Aceh;
3)      Imum Mukim;
4)      Imum Chiek;
5)      Imum Meunasah;
6)      Tuha Lapan;
7)      Syahbanda;
8)      Haria Peukan
9)      Peutuwa Seunuboek;
10)  Pawang Glee;
11)  Panglima Laot;
12)  Keujruen Blang;
13)  Keuchik.

3.      Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat.
Terdapat penegasan tentang lembaga adat pada Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat. menyatakan bahwa “Lembaga Adat berfungsi sebagai alat kontrol keamanan, ketentraman, kerukunan dan ketertiban masyarakat.
Adapun tugas-tugas lembaga adat adalah sebagai berikut:
1)      Pasal 5 Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat menyebutkan fungsi lembaga adat adalah untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial kemasyarakatan.
2)      Fungsi lembaga adat salah satunya dapat menjadi Hakim Perdamaian dan diberikan prioritas utama oleh aparat penegak hukum untuk menyelesaikan berbagai kasus.[2]

4.      Qanun Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim.
Terdapat beberapa kewenangan Mukim dalam penyelesaian sengketa pada tahapan peradilan adat adalah sebagai berikut:
1)      Dapat memutus dan atau menetapkan hukum;
2)      Memelihara dan mengembangkan adat istiadat;
3)      Menyelenggarakan perdamaian adat;
4)      Menyelesaikan dan memberikan keputusan-keputusan adat terhadap perselisihan dalam pelanggaran adat.
5)      Memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut hukum adat.
6)      Menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan adat dan adat-istiadat.

5.      Qanun Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Terdapat beberapa tugas dan kewajiban pemerintahan Gampong adalah sebagai berikut:
1)      Menyelesaikan sengketa adat;
2)      Menjaga dan memelihara kelestarian adat dan istiadat;
3)      Memelihara ketentraman dan ketertiban serta mencegah munculnya perbuatan yang tidak diinginkan di dalam kehidupan bermasyarakat;
4)      Pemerintahan Gampong, Tuha Peut dan Imum Meunasah menjadi Hakim Perdamaian.


[1] Anonim, Pedoman Peradilan Adat di Aceh, Banda Aceh, 2008, hal. 7.
[2] Lihat Pasal 6 dan 10 Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat.

Selasa, 11 Juli 2017

HUKUM PERJANJIAN ADAT

Ilustrasi Hukum Perjanjian Adat

Hukum Perjanjian Adat - Menurut Hilman Hadikusuma, yang dimaksud dengan hukum perjanjian adat adalah hukum yang meliputi uraian tentang hukum perhutangan (schuldenrecht) adapun termasuk di dalamnya meliputi soal ataupun mekanisme-mekanisme transaksi atas tanah (groundtransakties) dan transaksi-transaksi yang menyangkut tanah (transaksi waarbij ground betrokkenis).
Dalam hukum perhutangan (schuldenrecht) dalam hukum adat menyangkut:[1]
a.       Beri-memberi.
b.      Pakai-memakai.
c.       Pinjam-meminjam.
d.      Tanggung-menanggung.
e.       Tukar-menukar.
f.       Jual-beli.
g.      Titip-menitip.
h.      Urus-mengurus.
i.        Sewa-menyewa.
j.        Kerja-mengerjakan.
Terhadap perjanjian yang menyangkut tanah antara lain menurut hukum adat adalah:
a)      Perjanjian bagi-hasil.
b)      Perjanjian sewa-menyewa.
c)      Perjanjian berganda.
d)     Perjanjian pinjam-meminjam dengan jaminan tanah.
e)      Perjanjian semu (simulasi).
Hukum perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan hukum perjanjian adat mempunyai perbedaan-perbedaan. Perbedaan ini disebabkan oleh latar belakang alam pikiran kebudayaan masyarakat yangmelahirkan hukum yang berasal dari dasar kejiwaanya. Hukum perjanjian barat bertitik tolak pada dasar kejiwaan kepentingan perseorangan yang bersifat kebendaan, sedangkan hukum perjanjian adat bertitik tolak pada dasar kejiwaan kekeluargaan dan kerukunan serta bersifat tolong-menolong. Di samping itu perjanjian menurut hukum barat menerbitkan perikatan, sedangkan perjanjian menurut paham adat untuk mengikatnya perjanjian harus adanya tanda pengikat dan kemudian perjanjian menurut hukum adat tidak selamanaya menyangkut hubungan hukum mengenai harta benda, tetapi juga menyangkut dengan perjanjian selain kebendaan. Perbedaan yang lainnya terletak pada sifat dari suatu perjanjian.
Menurut Mahadi yang menyatakan perjanjian adat tidak hanya bersifat konsensual saja tetapi juga bersifat kongkrit, oleh karena itu kata-kata saja belum dapat mengikat persesuaian paham, akan tetapi harus bersifat kongkrit.[2] Sedangkan menurut Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa hukum adat tidak mengenai perbedaan antara benda-benda tetap dan benda-benda bergerak, tetap atau tidak tetapnya suatu benda dilihat dari kemungkinan dan keadaannya.[3] 




[1] A. Malik, Perjanjian “Gala” dalam Masyarakat Hukum Adat Aceh di Kecamatan Lhoknga/Leupung Kabupaten DATI II Aceh Besar, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 1997, hal 33.
[2] Mahadi, Soal Dewasa, cetakan ke II, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, Medan, 1991, hal 140.
[3] Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, Hal 6.

Pengertian Masyarakat Hukum Adat


PENGERTIAN MASYARAKAT HUKUM ADAT- Masyarakat hukum adat adalah suatu bentuk kehidupan bersama, yang warga-warganya hidup secara bersama dalam jangka waktu yang sangat lama, sehingga membentuk suatu kebudayaan. Masyarakat merupakan suatu kesatuan dari sistem sosial, yang menjadi wadah dari berbagai pola-pola interaksi sosial atau hubungan interpersonal ataupun hubungan antar kelompok sosial.
Istilah masyarakat adat merupakan padanan dari indigeneous people. Istilah itu sudah dikenal luas dan telah disebutkan dalam sejumlah kesepakatan internasional, yaitu: Convention of International Labor Organixation Concerning Indigeneous and Tribal People in Independent Countries (1989), Deklarasi Cari Oca tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (1992), Deklarasi Bumi Rio de Janairo (1992), Declaration on the Right of Asian Indigenous Tribal People Chianmai (1993), De Vienna Declaration and Programme Action yang dirumuskan oleh United Nations World Conference on Human Rights (1993). Sekarang istilah indigenous people semakin resmi penggunaannya dengan telah lahirnya Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on the Rights of Indegenous People) pada tahun 2007.
Banyak ahli berpendapat bahwa pengertian masyarakat adat harus dibedakan dengan masyarakat hukum adat. Konsep masyarakat adat merupakan pengertian umum untuk menyebut masyarakat tertentu dengan ciri-ciri tertentu. Sedangkan masyarakat hukum adat merupakan pengertian teknis yuridis yang menunjuk sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah (ulayat) tempat tinggal dan lingkungan kehidupan tertentu, memiliki kekayaan dan pemimpin yang bertugas menjaga kepentingan kelompok (keluar dan ke dalam), dan memiliki tata aturan (sistem) hukum dan pemerintahan.[1]
Secara faktual setiap provinsi di Indonesia terdapat kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dengan karakteristiknya masing-masing yang telah ada ratusan tahun yang lalu. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, yang bertingkah laku sebagai kesatuan, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasa, memiliki hukum adat masing-masing dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang berwujud ataupun tidak berwujud serta menguasai sumber daya alam dalam jangkauannya.[2] Mereka memiliki sistem kebudayaan yang kompleks dalam tatanan kemasyarakatannya dan mempunyai hubungan yang kuat dengan tanah dan sumber daya alamnya. Masyarakat hukum adat juga diartikan sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.[3]
Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan oleh Cornelius van Vollenhoven. Ter Haar sebagai murid dari Cornelius van Vollenhoven mengeksplor lebih mendalam tentang masyarakat hukum adat. Ter Haar memberikan pengertian sebagai berikut, masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun yang tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.[4]
Kusumo Pujosewojo memberikan pengertian yang hampir sama dengan Ter Haar, beliau mengartikan masyarakat hukum adat sebagai masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu, berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, dengan rasa solidaritas sangat besar di antara anggota, memandang anggota masyarakat sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya.[5]
Sedangkan menurut Hazairin, masyarakat hukum adat adalah kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.[6]
Menurut Soepomo dijelaskan bahwa Van Vollenhoven dalam orasinya tanggal 2 Oktober 1901 menegaskan:[7] “bahwa untuk mengetahui hukum, maka yang terutama perlu diselidiki adalah pada waktu dan bilamana serta di daerah mana sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum di mana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu hidup sehari-hari”. Bersandar dari pendapat tersebut, Soepomo mengungkapkan pendapatnya sendiri bahwa: “penguraian tentang badan-badan persekutuan itu harus tidak didasarkan atas sesuatu yang dogmatik, melainkan harus berdasarkan atas kehidupan yang nyata dari masyarakat yang bersangkutan”.[8] Dari apa yang telah dikemukakan oleh Van Vollenhoven dan Soepomo terlihatlah bahwa masyarakat yang mengembangkan ciri khas hukum adat itu adalah Persekutuan Hukum Adat (Adatrechts Gemeenschapen).
Bentuk dan susunan masyarakat hukum yang merupakan persekutuan hukum adat itu, para anggotanya terikat oleh faktor yang bersifat teritorial dan geneologis. Menurut pengertian yang dikemukakan para ahli hukum di zaman Hindia-Belanda, yang dimaksud dengan masyarakat hukum atau persekutuan hukum yang teritorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh para leluhur.[9] Sedangkan masyarakat atau persekutuan hukum yang bersifat geneologis adalah suatu kesatuan masyarakat yang teratur, di mana para anggotanya terikat pada suatu garis keturunan yang sama dari satu leluhur, baik secara tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat.[10]
Berdasarkan pendapat dari beberapa pakar hukum tersebut maka dapat dirumuskan kriteria masyarakat hukum adat sebagai berikut:
a)      Terdapat masyarakat yang teratur.
b)      Menempati suatu wilayah tertentu.
c)      Terdapat kelembagaan.
d)     Memiliki kekayaan bersama.
e)      Susunan masyarakat berdasarkan pertalian darah atau lingkungan daerah, dan.
f)       Hidup secara komunal, dan gotong-royong.
Dalam buku De Commune Trek in Bet Indonesische Rechtsleven, F.D. Hollenmann mengkonstruksikan 4 (empat) sifat umum dari masyarakat adat, yaitu magis religious, komunal, konkrit dan kontan. Hal ini terungkap dalam uraian singkat sebagai berikut:[11]
a)      Sifat magis religious diartikan sebagai suatu pola pikir yang didasarkan pada keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sakral. Sebelum masyarakat bersentuhan dengan sistem hukum agama religiusitas ini diwujudkan dalam cara berpikir yang prologka, animism, dan kepercayaan pada alam ghaib. Masyarakat harus menjaga keharmonisan antara alam nyata dan alam batin (dunia gaib). Setelah masyarakat mengenal sisitem hukum agama perasaan religious diwujudkan dalam bentuk kepercayaan kepada Tuhan (Allah). Masyarakat percaya bahwa setiap perbuatan apapun bentuknya akan selalu mendapat imbalan dan hukuman tuhan sesuai dengan derajat perubahannya.
b)      Sifat komunal (commuun), masyarakat memiliki asumsi bahwa setiap individu, anggota masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat secara keseluruhan. Diyakini bahwa kepentingan individu harus sewajarnya disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat karena tidak ada individu yang terlepas dari masyarakat.
c)      Sifat konkrit diartikan sebagai corak yang serba jelas atau nyata menunjukkan bahwa setiap hubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam atau samar.
d)     Sifat kontan (kontane handeling) mengandung arti sebagai keserta-mertaan terutama dalam pemenuhan prestasi. Setiap pemenuhan prestasi selalu dengan kontra prestasi yang diberikan secara serta-merta/seketika.
Masyarakat adat menunjukkan hubungan yang erat dalam hubungan antar personal dan proses interaksi sosial yang terjadi antar manusia tersebut menimbulkan pola-pola tertentu yang disebut dengan cara (a uniform or customary of belonging within a social group).[12] Manusia pada dasarnya ingin hidup teratur dan kemudian setiap kelompok dalam masyarakat tersebut memiliki pengertian yang berbeda terhadap pengertian teratur. Keteraturan tersebut diperlukan untuk mengatur perilaku manusia dalam kelompok manusia dan hal inilah yang menguatkan konsep dan nilai-nilai komunal dalam masyarakat adat tersebut.[13]




[1] Taqwaddin, Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat (Mukim) di Provinsi Aceh, (Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2010), hal 36.
[2] Ibid., hal 3
[3] Limei Pasaribu, Keberadaan Hak Ulayat dalam Masyarakat Hukum Adat Batak Toba di Kecamatan Nassau Kabupaten Toba Samosir, Tesis, Ilmu Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan,USU, 2011.
[4] Husen Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta,  2010, hal 30.
[5] Ibid., hlm 44.
[6] Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, Jakarta, UNDP Regional Centre in Bangkok, 2006, hal 23.
[7] Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia dalam Kajian Kepustakaan), Alfabeta, Bandung,  2008, hlm. 75.
[8] Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015, hal 92.
[9] Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hal 108.
[10] Ibid., hal 109.
[11] Husen Alting, Op.Cit., hlm. 46.
[12] Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad, Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Berperkara di Mahkamah Konstitusi, Salemba Humanika, Jakarta,  2010, hal 12.
[13] Ibid., hal 13.

Minggu, 09 Juli 2017

PENGERTIAN HUKUM ADAT


PENGERTIAN HUKUM ADAT
Pengertian Hukum Adat - Hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia hidup bermasyarakat. Sejak manusia itu diturunkan Tuhan ke muka bumi, maka ia memulai hidupnya berkeluarga, kemudian bermasyarakat dan kemudian bernegara. Terjadinya hukum dimulai dari pribadi manusia yang diberikan oleh Tuhan berupa akal, pikiran serta perilaku. Prilaku yang terus menerus dilakukan oleh perorangan sehingga menimbulkan suatu kebiasaan pribadi. Apabila kebiasaan pribadi itu ditiru oleh orang lain maka ia juga akan menjadi kebiasaan sehingga lambat laun diantara orang satu dan orang yang lain di dalam suatu kesatuan masyarakat akan mengikuti atau mengikuti kebiasaan tersebut, dan akan menjadi suatu kebiasaan baru pada suatu masyarakat tersebut.
Hukum adat merupakan produk dari budaya yang mengandung substansi tentang nilai-nilai budaya cipta, karsa, dan rasa manusia. dalam artinya bahwa hukum adat lahir dari kesadaran atas kebutuhan dan keinginan manusia untuk hidup secara adil dan beradab sebagai aktualisasi peradaban manusia. Selain itu hukum adat juga merupakan produk sosial yaitu sebagai hasil kerja bersama (kesepakatan) dan merupakan karya bersama secara bersama (milik sosial) dari suatu masyarakat hukum adat.[1]
Adat merupakan suatu kebiasaan masyarakat dan kelompok-kelompok masyarakat lambat laun menjadikan adat itu sebagai adat yang seharusnya berlaku bagi semua anggota masyarakat sehingga menjadi hukum adat. Jadi hukum adat adalah adat yang diterima dan harus dilaksanakan dalam masyarakat bersangkutan.[2]
Hukum berasal dari bahasa Belanda yaitu recht, sedangkan Adat berasal dari bahasa Arab yang artinya kebiasaan. Sedangkan istilah hukum adat itu berasal dari terjemahan bahasa Belanda yaitu adat-recht, istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Snouck Hurgronje dan pernah dipakai oleh Van Vollenhoven dalam menulis buku-bukunya yang mengenai hukum adat. Hukum adat merupakan suatu istilah penamaan yang digunakan untuk menyebut hukum yang berlaku bagi masyarakat asli di Indonesia.
Walaupun pemerintah sudah mengakui keberadaannya hukum adat, tetapi masyarakat Indonesia asli belum mengetahui seperti apa berlakunya hukum adat tersebut. Sehingga dalam penyebutannya dalam peraturan perundang-undangan masih banyak digunakan istilah yang berbeda-beda.
Dalam arti sempit hukum adat adalah hukum asli yang tidak tertulis yang hidup dalam kebiasaan masyarakat asli Indonesia dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari, dalam hubungan antara orang yang satu dengan yang lainnya. Di samping yang tidak tertulis ada juga yang tertulis seperti piagam, prasasti, perintah-perintah raja. Di bawah ini terdapat beberapa definisi hukum adat menurut para sarjana:[3]
a)      B. Terhaar Bzn.
Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan dari kepala-kepala adat dan berlaku secara spontan dalam masyarakat. Terhaar terkenal dengan teori Keputusan artinya bahwa untuk melihat apakah sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari sikap penguasa masyarakat hukum terhadap sipelanggar peraturan adat-istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan putusan hukuman terhadap sipelanggar maka adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat.
b)      Cornelis van Vollen Hoven
Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang berlaku dan mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan.
c)      Sukanto
Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang pada umumnya tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum.
d)     J.H.P. Bellefroit
Hukum adat sebagai peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh penguasa, tetapi tetap dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.
e)      Soeroyo Wignyodipuro.
Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagaian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat karena mempunyai akibat hukum (sanksi).
f)       Soepomo.
Hukum adat adalah hukum tidak tertulis di dalam peraturan tidak tertulis, meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Dari batasan-batasan yang dikemukakan di atas, maka terlihat unsur-unsur dari pada hukum adat adalah sebagai berikut:
a)      Adanya tingkah laku yang dilakukan secara terus-menerus oleh masyarakat.
b)      Tingkah laku tersebut bersifat teratur dan sistematis.
c)      Tingkah laku tersebut mempunyai nilai-nilai yang sakral.
d)     Adanya keputusan dari kepala adat.
e)      Adanya sanksi atau akibat hukum.
f)       Tidak tertulis, dan.
g)      Ditaati dalam kehidupan masyarakat.




[1] Djamanat Samosir, Hukum Adat Indonesia, Penerbit Nuansa Aulia, Bandung, 2013, hal 2.
[2] Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2003, hal 1.
[3] Iman Sudiyat, Asas- Asas Hukum Adat Bekal Pengantar Cetakan ke.-5, Liberty, Yogyakarta, 2010, hal 1-2.