Tampilkan postingan dengan label masyarakat adat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label masyarakat adat. Tampilkan semua postingan

Selasa, 17 Oktober 2017

Alur Proses Penyelesaian Sengketa Pada Masyarakat Adat

Alur Proses Penyelesaian Sengketa Pada Masyarakat Adat - Alur penyelesaian sengketa pada masyarakat adat Aceh haruslah melalui tahapan-tahapan tertentu, jika persengketaan perdata yang merugikan para pihak  maka tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut[1]:
1)           Pada tahapan awal harus adanya pelaporan dari pihak yang mengalami kerugian (korban) atau kedua belah pihak yang bersengketa kepada kepala dusun atau petuwa jurong (ketua lorong) ditempat terjadi persengketaan atas dasar asas teritorial. Akan tetapi dalam pelaksanaannya juga memungkinkan pihak yang mengalami kerugian atau para pihak yang mempunyai sengketa juga dibenarkan langsung untuk melaporkan perihal pokok perkara yang disengketakan langsung kepada keuchik.
2)           Ketika keuchik telah menerima laporan dari ketua dusun, petuwa jurong (ketua lorong) atau dari pada pihak maka keuchik membentuk satu musyawarah secara internal antar aparatur gampong yang terdiri atas, Sekretaris Gampong, Petuwa Jurong, Kepala Dusun, Imum Meunasah untuk menentukan jadwal persidangan.
3)           Sebelum dimulai acara persidangan, terlebih dulu adanya kewajiban bagi aparatur gampong untuk pendekatan musyawarah dengan para pihak yang bersengketa dengan tujuan agar dapat mengetahui pokok dari duduk perkara dari permasalahan yang disengketakan dan meminta persetujuan dari para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan masalah dengan damai.
4)           Jika adanya kesepakatan dari para pihak menyetujui untuk menyelesaikan perkara secara damai maka Sekretaris Gampong mengundang para pihak secara resmi untuk menghadiri persidangan pada hari dan tanggal sebagaimana telah ditentukan.
5)           Pada saat persidangan berlangsung maka para pihak dapat diwakili oleh wali ataupun sanak saudaranya yang dipercayai untuk dijadikan sebagai juru bicara.
6)           Proses persidangan bersifat resmi dan terbuka untuk umum dan tempat pelaksanaannya dilaksakan di meunasah, mesjid ataupun tempat yang dianggap aman dan netral.
7)           Forum persidangan bersifat formal secara adat dan sesuai dengan pola tata letak adat gampong.
8)           Ketika dibuka dan berlangsung maka keuchik yang selaku ketua membuka sidang dan mempersilahkan para pihak atau juru bicara untuk menyampaikan permasalahannya yang kemudian dicatat oleh Sekretaris Gampong selaku panitera.
9)           Setelah penyampaian permasalahan dari para pihak maka selanjutnya keuchik memberikan kesempatan kepada para saksi untuk memberikan kesaksian, sebelum memberikan kesaksian maka para saksi diambil sumpah terlebih dahulu.
10)       Selanjutnya adalah adanya tanggapan dari ulama atau cendikiawan untuk menyampaikan solusi atau jalan keluar dari pokok perkera yang disengketakan.
11)       Keuchik beserta seluruh anggota sidang memusyawarahkan putusan damai atas apa yang diberikan jika telah adanya kesepakan tentang jenis putusan damai yang akan diputuskan. Jika para pihak yang bersengketa menerima hasil putusan tersebut, maka sekretaris gampong selaku panitera membuat diktum putusan atau sering disebut surat perjanjian damai secara tertulis.
12)       Jika salah satu pihak atau para pihak tidak setuju dengan putusan perdamaian, maka salah satu pihak atau para pihak dapat mengajukan banding ke tingkat mukim dengan membuat surat pernyataan atas ketidak setujuan dari para pihak terhadap putusan adat di tingkat gampong sehingga penyelesaian sengketa diajukan ke persidangan tingkat mukim.
13)       Keuchik membaca putusan perdamaian dan meminta kepada para pihak untuk mentanda tangani akta perdamaian serta melaksanakan isi putusan itu dengan sungguh-sungguh.
14)       Hasil putusan perdamaian dan salinnya diberikan kepada para pihak dan disimpan pada kantor keuchik atau mukim dan dijadikan sebagai arsip.
15)       Setelah adanya putusan yang telah dispepakati dan diterima oleh para pihak maka pada petemuan berikutnya akan dilakukan pengeksekusian terhadap putusan melalui upacara perdamaian.
Proses penyelenggaran peradilan adat dan penyelesaian sengketa pada masyarakat adat Aceh pada umumnya diselesaikan berdasarkan alur penyelesaian di atas dikarenakan pada umumnya masyarakat Aceh mayoritas beragama Islam maka penyelesaian sengketa di lakukan di mesjid atau meunasah (musalla) dan melibatkan para pihak, saksi-saksi, keuchik, tuha peut, imum meunasah dan para ulama, keluarga dari para pihak. Penyelesaian sengketa gala dalam masyarakat adat dilakukan dengan metode musyawarah (mediasi) sehingga dari hasil musyawarah tersebut nantinya dapat dijadikan sebagai suatu keputusan bersama oleh  para pihak.
 Sehingga dalam para penyelenggara peradilan adat nantinya dapat menghasilkan bentuk keputusan hukum adat atas keputusan damai yang telah ditetapkan. Keputusan tersebut ditetapkan dihadapan umum dan dihadiri oleh seluruh masyarakat gampong, para pihak yang berperkara serta keluarga dan orang tua gampong. Bila kedua belah pihak telah sepakat untuk tidak melakukan banding ke tahapan mukim dan puas dengan rumusan penetapan putusan maka saat hari yang ditetapkan dilakukan eksekusi melalui suatu upacara perdamaian di mesjid atau meunasah di hadapan umum. Pada saat pelaksanaan eksekusi putusan pada tahapan awal biasanya para pihak dilakukan upacara adat peusijuek atau disebut dengan istilah tepung tawar.
Pada masyarakat Aceh pada umumnya upacara peusijuk dianggap sebagai upacara tradisional dari beberapa simbol, salah satunya adalah simbol dari perestuan dan saling memaafkan dengan tujuan agar para pihak setelah pelaksanaan eksekusi dan berakhirnya perkara yang disengketkan tidak menyimpan dendam dan benci sehingga para pihak dapat rukun dan harmonis kembali dan tahap terakhir adalah eksekusi putusan. Tanggung jawab eksekutor putusan berada di tangan keuchik, pelaksanaan putusan eksekutor terhadap dilakukan di mesjid atau meunasah atau tergantung kesepakatan dari para pihak.[2]




[1] Badruzzaman, Ketua Majelis Adat Aceh, Wawancara, 21 Desember 2016.
[2] Sulaiman A. Latief, Imum Mukim Kemukiman Kuta Reuntang, Wawancara.9 Januari 2016.

Selasa, 11 Juli 2017

Pengertian Masyarakat Hukum Adat


PENGERTIAN MASYARAKAT HUKUM ADAT- Masyarakat hukum adat adalah suatu bentuk kehidupan bersama, yang warga-warganya hidup secara bersama dalam jangka waktu yang sangat lama, sehingga membentuk suatu kebudayaan. Masyarakat merupakan suatu kesatuan dari sistem sosial, yang menjadi wadah dari berbagai pola-pola interaksi sosial atau hubungan interpersonal ataupun hubungan antar kelompok sosial.
Istilah masyarakat adat merupakan padanan dari indigeneous people. Istilah itu sudah dikenal luas dan telah disebutkan dalam sejumlah kesepakatan internasional, yaitu: Convention of International Labor Organixation Concerning Indigeneous and Tribal People in Independent Countries (1989), Deklarasi Cari Oca tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (1992), Deklarasi Bumi Rio de Janairo (1992), Declaration on the Right of Asian Indigenous Tribal People Chianmai (1993), De Vienna Declaration and Programme Action yang dirumuskan oleh United Nations World Conference on Human Rights (1993). Sekarang istilah indigenous people semakin resmi penggunaannya dengan telah lahirnya Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on the Rights of Indegenous People) pada tahun 2007.
Banyak ahli berpendapat bahwa pengertian masyarakat adat harus dibedakan dengan masyarakat hukum adat. Konsep masyarakat adat merupakan pengertian umum untuk menyebut masyarakat tertentu dengan ciri-ciri tertentu. Sedangkan masyarakat hukum adat merupakan pengertian teknis yuridis yang menunjuk sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah (ulayat) tempat tinggal dan lingkungan kehidupan tertentu, memiliki kekayaan dan pemimpin yang bertugas menjaga kepentingan kelompok (keluar dan ke dalam), dan memiliki tata aturan (sistem) hukum dan pemerintahan.[1]
Secara faktual setiap provinsi di Indonesia terdapat kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dengan karakteristiknya masing-masing yang telah ada ratusan tahun yang lalu. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, yang bertingkah laku sebagai kesatuan, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasa, memiliki hukum adat masing-masing dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang berwujud ataupun tidak berwujud serta menguasai sumber daya alam dalam jangkauannya.[2] Mereka memiliki sistem kebudayaan yang kompleks dalam tatanan kemasyarakatannya dan mempunyai hubungan yang kuat dengan tanah dan sumber daya alamnya. Masyarakat hukum adat juga diartikan sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.[3]
Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan oleh Cornelius van Vollenhoven. Ter Haar sebagai murid dari Cornelius van Vollenhoven mengeksplor lebih mendalam tentang masyarakat hukum adat. Ter Haar memberikan pengertian sebagai berikut, masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun yang tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.[4]
Kusumo Pujosewojo memberikan pengertian yang hampir sama dengan Ter Haar, beliau mengartikan masyarakat hukum adat sebagai masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu, berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, dengan rasa solidaritas sangat besar di antara anggota, memandang anggota masyarakat sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya.[5]
Sedangkan menurut Hazairin, masyarakat hukum adat adalah kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.[6]
Menurut Soepomo dijelaskan bahwa Van Vollenhoven dalam orasinya tanggal 2 Oktober 1901 menegaskan:[7] “bahwa untuk mengetahui hukum, maka yang terutama perlu diselidiki adalah pada waktu dan bilamana serta di daerah mana sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum di mana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu hidup sehari-hari”. Bersandar dari pendapat tersebut, Soepomo mengungkapkan pendapatnya sendiri bahwa: “penguraian tentang badan-badan persekutuan itu harus tidak didasarkan atas sesuatu yang dogmatik, melainkan harus berdasarkan atas kehidupan yang nyata dari masyarakat yang bersangkutan”.[8] Dari apa yang telah dikemukakan oleh Van Vollenhoven dan Soepomo terlihatlah bahwa masyarakat yang mengembangkan ciri khas hukum adat itu adalah Persekutuan Hukum Adat (Adatrechts Gemeenschapen).
Bentuk dan susunan masyarakat hukum yang merupakan persekutuan hukum adat itu, para anggotanya terikat oleh faktor yang bersifat teritorial dan geneologis. Menurut pengertian yang dikemukakan para ahli hukum di zaman Hindia-Belanda, yang dimaksud dengan masyarakat hukum atau persekutuan hukum yang teritorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh para leluhur.[9] Sedangkan masyarakat atau persekutuan hukum yang bersifat geneologis adalah suatu kesatuan masyarakat yang teratur, di mana para anggotanya terikat pada suatu garis keturunan yang sama dari satu leluhur, baik secara tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat.[10]
Berdasarkan pendapat dari beberapa pakar hukum tersebut maka dapat dirumuskan kriteria masyarakat hukum adat sebagai berikut:
a)      Terdapat masyarakat yang teratur.
b)      Menempati suatu wilayah tertentu.
c)      Terdapat kelembagaan.
d)     Memiliki kekayaan bersama.
e)      Susunan masyarakat berdasarkan pertalian darah atau lingkungan daerah, dan.
f)       Hidup secara komunal, dan gotong-royong.
Dalam buku De Commune Trek in Bet Indonesische Rechtsleven, F.D. Hollenmann mengkonstruksikan 4 (empat) sifat umum dari masyarakat adat, yaitu magis religious, komunal, konkrit dan kontan. Hal ini terungkap dalam uraian singkat sebagai berikut:[11]
a)      Sifat magis religious diartikan sebagai suatu pola pikir yang didasarkan pada keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sakral. Sebelum masyarakat bersentuhan dengan sistem hukum agama religiusitas ini diwujudkan dalam cara berpikir yang prologka, animism, dan kepercayaan pada alam ghaib. Masyarakat harus menjaga keharmonisan antara alam nyata dan alam batin (dunia gaib). Setelah masyarakat mengenal sisitem hukum agama perasaan religious diwujudkan dalam bentuk kepercayaan kepada Tuhan (Allah). Masyarakat percaya bahwa setiap perbuatan apapun bentuknya akan selalu mendapat imbalan dan hukuman tuhan sesuai dengan derajat perubahannya.
b)      Sifat komunal (commuun), masyarakat memiliki asumsi bahwa setiap individu, anggota masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat secara keseluruhan. Diyakini bahwa kepentingan individu harus sewajarnya disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat karena tidak ada individu yang terlepas dari masyarakat.
c)      Sifat konkrit diartikan sebagai corak yang serba jelas atau nyata menunjukkan bahwa setiap hubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam atau samar.
d)     Sifat kontan (kontane handeling) mengandung arti sebagai keserta-mertaan terutama dalam pemenuhan prestasi. Setiap pemenuhan prestasi selalu dengan kontra prestasi yang diberikan secara serta-merta/seketika.
Masyarakat adat menunjukkan hubungan yang erat dalam hubungan antar personal dan proses interaksi sosial yang terjadi antar manusia tersebut menimbulkan pola-pola tertentu yang disebut dengan cara (a uniform or customary of belonging within a social group).[12] Manusia pada dasarnya ingin hidup teratur dan kemudian setiap kelompok dalam masyarakat tersebut memiliki pengertian yang berbeda terhadap pengertian teratur. Keteraturan tersebut diperlukan untuk mengatur perilaku manusia dalam kelompok manusia dan hal inilah yang menguatkan konsep dan nilai-nilai komunal dalam masyarakat adat tersebut.[13]




[1] Taqwaddin, Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat (Mukim) di Provinsi Aceh, (Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2010), hal 36.
[2] Ibid., hal 3
[3] Limei Pasaribu, Keberadaan Hak Ulayat dalam Masyarakat Hukum Adat Batak Toba di Kecamatan Nassau Kabupaten Toba Samosir, Tesis, Ilmu Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan,USU, 2011.
[4] Husen Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta,  2010, hal 30.
[5] Ibid., hlm 44.
[6] Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, Jakarta, UNDP Regional Centre in Bangkok, 2006, hal 23.
[7] Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia dalam Kajian Kepustakaan), Alfabeta, Bandung,  2008, hlm. 75.
[8] Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015, hal 92.
[9] Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hal 108.
[10] Ibid., hal 109.
[11] Husen Alting, Op.Cit., hlm. 46.
[12] Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad, Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Berperkara di Mahkamah Konstitusi, Salemba Humanika, Jakarta,  2010, hal 12.
[13] Ibid., hal 13.