Alur Proses Penyelesaian Sengketa Pada Masyarakat Adat - Alur penyelesaian sengketa pada
masyarakat adat Aceh haruslah melalui tahapan-tahapan tertentu, jika
persengketaan perdata yang merugikan para pihak
maka tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut[1]:
1)
Pada tahapan awal harus
adanya pelaporan dari pihak yang mengalami kerugian (korban) atau kedua belah
pihak yang bersengketa kepada kepala dusun atau petuwa jurong (ketua lorong) ditempat terjadi persengketaan atas
dasar asas teritorial. Akan tetapi dalam pelaksanaannya juga memungkinkan pihak
yang mengalami kerugian atau para pihak yang mempunyai sengketa juga dibenarkan
langsung untuk melaporkan perihal pokok
perkara yang disengketakan langsung kepada keuchik.
2)
Ketika keuchik telah menerima laporan dari
ketua dusun, petuwa jurong (ketua
lorong) atau dari pada pihak maka keuchik
membentuk satu musyawarah secara internal antar aparatur gampong yang
terdiri atas, Sekretaris Gampong, Petuwa
Jurong, Kepala Dusun, Imum Meunasah
untuk menentukan jadwal persidangan.
3)
Sebelum dimulai acara
persidangan, terlebih dulu adanya kewajiban bagi aparatur gampong untuk pendekatan musyawarah dengan para pihak yang
bersengketa dengan tujuan agar dapat mengetahui pokok dari duduk perkara dari
permasalahan yang disengketakan dan meminta persetujuan dari para pihak yang
bersengketa untuk menyelesaikan masalah dengan damai.
4)
Jika adanya kesepakatan
dari para pihak menyetujui untuk menyelesaikan perkara secara damai maka
Sekretaris Gampong mengundang para
pihak secara resmi untuk menghadiri persidangan pada hari dan tanggal
sebagaimana telah ditentukan.
5)
Pada saat persidangan
berlangsung maka para pihak dapat diwakili oleh wali ataupun sanak saudaranya
yang dipercayai untuk dijadikan sebagai juru bicara.
6)
Proses persidangan
bersifat resmi dan terbuka untuk umum dan tempat pelaksanaannya dilaksakan di meunasah, mesjid ataupun tempat yang
dianggap aman dan netral.
7)
Forum persidangan
bersifat formal secara adat dan sesuai dengan pola tata letak adat gampong.
8)
Ketika dibuka dan
berlangsung maka keuchik yang selaku
ketua membuka sidang dan mempersilahkan para pihak atau juru bicara untuk
menyampaikan permasalahannya yang kemudian dicatat oleh Sekretaris Gampong selaku panitera.
9)
Setelah penyampaian
permasalahan dari para pihak maka selanjutnya keuchik memberikan kesempatan kepada para saksi untuk memberikan
kesaksian, sebelum memberikan kesaksian maka para saksi diambil sumpah terlebih
dahulu.
10)
Selanjutnya adalah
adanya tanggapan dari ulama atau cendikiawan untuk menyampaikan solusi atau
jalan keluar dari pokok perkera yang disengketakan.
11)
Keuchik beserta seluruh
anggota sidang memusyawarahkan putusan damai atas apa yang diberikan jika telah
adanya kesepakan tentang jenis putusan damai yang akan diputuskan. Jika para
pihak yang bersengketa menerima hasil putusan tersebut, maka sekretaris gampong selaku panitera membuat diktum
putusan atau sering disebut surat perjanjian damai secara tertulis.
12)
Jika salah satu pihak
atau para pihak tidak setuju dengan putusan perdamaian, maka salah satu pihak
atau para pihak dapat mengajukan banding ke tingkat mukim dengan membuat surat pernyataan atas ketidak setujuan dari
para pihak terhadap putusan adat di tingkat gampong
sehingga penyelesaian sengketa diajukan ke persidangan tingkat mukim.
13)
Keuchik
membaca putusan perdamaian dan meminta
kepada para pihak untuk mentanda tangani akta perdamaian serta melaksanakan isi
putusan itu dengan sungguh-sungguh.
14)
Hasil putusan
perdamaian dan salinnya diberikan kepada para pihak dan disimpan pada kantor keuchik atau mukim dan dijadikan sebagai arsip.
15)
Setelah adanya putusan
yang telah dispepakati dan diterima oleh para pihak maka pada petemuan
berikutnya akan dilakukan pengeksekusian terhadap putusan melalui upacara
perdamaian.
Proses penyelenggaran peradilan adat dan
penyelesaian sengketa pada masyarakat adat Aceh pada umumnya diselesaikan berdasarkan alur penyelesaian
di atas dikarenakan pada umumnya masyarakat Aceh mayoritas beragama
Islam maka penyelesaian sengketa di lakukan di mesjid atau meunasah (musalla) dan melibatkan para pihak, saksi-saksi, keuchik, tuha peut, imum meunasah dan
para ulama, keluarga dari para pihak. Penyelesaian sengketa gala dalam masyarakat adat dilakukan
dengan metode musyawarah (mediasi) sehingga dari hasil musyawarah tersebut
nantinya dapat dijadikan sebagai suatu keputusan bersama oleh para pihak.
Sehingga dalam para penyelenggara peradilan
adat nantinya dapat menghasilkan bentuk keputusan hukum adat atas keputusan
damai yang telah ditetapkan. Keputusan tersebut ditetapkan dihadapan umum dan
dihadiri oleh seluruh masyarakat gampong,
para pihak yang berperkara serta keluarga dan orang tua gampong. Bila kedua belah pihak telah
sepakat untuk tidak melakukan banding ke tahapan mukim dan puas dengan rumusan penetapan putusan maka saat hari yang
ditetapkan dilakukan eksekusi melalui suatu upacara perdamaian di mesjid atau meunasah di hadapan umum. Pada saat
pelaksanaan eksekusi putusan pada tahapan awal biasanya para pihak dilakukan
upacara adat peusijuek atau disebut
dengan istilah tepung tawar.
Pada masyarakat Aceh pada umumnya
upacara peusijuk dianggap sebagai
upacara tradisional dari beberapa simbol, salah satunya adalah simbol dari
perestuan dan saling memaafkan dengan tujuan agar para pihak setelah
pelaksanaan eksekusi dan berakhirnya perkara yang disengketkan tidak menyimpan
dendam dan benci sehingga para pihak dapat rukun dan harmonis kembali dan tahap
terakhir adalah eksekusi putusan. Tanggung jawab eksekutor putusan berada di
tangan keuchik, pelaksanaan putusan
eksekutor terhadap dilakukan di mesjid atau meunasah
atau tergantung kesepakatan dari para pihak.[2]