Tampilkan postingan dengan label Hukum adat aceh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum adat aceh. Tampilkan semua postingan

Selasa, 28 Juni 2022

MEKANISME PENYELESAIAN DELIK ADAT


Mekanisme penyelesaian delik adat
Mekanisme Penyelesaian Delik Adat


MEKANISME PENYELESAIAN DELIK ADAT yang diakibatkan oleh adanya gannguan terhadap keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat dapatlah ditempuh/diselesaikan melalui beberapa tahapan sebagaimana berikut:

  1. Penyelesaian antara pribadi, keluarga, Tetangga;

Jika terjadi suatu peristiwa atau perbuatan delik adat di kampung, dusun atau suatu permukiman maka untuk memulihkan gangguan keseimbangan keluarga atau masyarakat keluarga atau masyarakat yang bersangkutan diselesaikan langsung di tempat kejadian antara pribadi yang bersangkutan ataupun diselesaikan langsung dirumah keluarga salah satu pihak keluarga yang bersangkutan dalam kesatuan rukun tetanggan dan sebagainya.

Di kota-kota besar sering terjadi kecelakaan lalu lintas, baik itu antara pengendara dengan pengendara motor atau antara pengendara motor dengan para pejalan kaki. Akibat dari terjadi kecelakaan tersebut menyebabkan salah satu pihak menderita luka-luka dan sebagainya. Maka untuk menyelesaikan perselisihan tersebut biasanya kedua belah pihak melakukan kegiatan rembuk bersama (menyelesaikan) permasalahan di tempat kejadian untuk mencapai kata (damai).

Adakalanya perselisihan antara kedua pihak tersebut tidak menemukan titik temu penyelesaiaannya oleh kedua belah pihak maka dilibatkanlah pihak keluarga para pihak.

 

  1. Penyelesaian sengketa melalui jalur Kepala Kerabat atau kepala adat

Adakalanya pertemuan untuk penyelesaian sengketa secara kekeluargaan tidak menemukan titik temu (kesepakatan) maka perkera tersebut perlu untuk dilanjutkan kepada kepala kerabat atau kepala adat dari kedua belah pihak.

Penyelesaian pada tahapan ini dilibatkan para tetua adat karena ada anggapan orang tua bisa/dapat menyelesaikan berbagai hal permasalahan (sengketa) secara adil berdasarkan putusan-putusan adat dari permasalahan dari dahulu kala dan orang tua pada kebiasaannya lebih bijaksana dalam memberikan suatu bentuk keputusan.

 

  1. Penyelesaian sengketa melalui jalur kepala desa;

Apabila penyelesaian delik adat yang dilakukan pada tahap kekeluargaan dan di tingkatan kepala adat juga tidak ditemukan titik temu (kesepakatan damai)oleh para pihak yang bersengketa maka proses penyelesaian sengketa berlanjut pada jalur kepala desa (peradilan Adat Gampong).

Dalam masyarakat adat Aceh diketahui adanya suatu Lembaga Peradilan Adat Gampong, yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan 18 pokok perkara sengketa dalam kehidupan masyarakat adat (lihat Pasal 13 Qanun nomor 9 tahun 2008). Dalam hal menyelesaikan permasalahan tersebut seorang keuchik (aparatur gampong) dijadikan sebagai hakim adat untuk menyelesaikan pokok perkara.

Tujuan penyelesaian ini bukan untuk menemukan atau mencari siapa yang salah dan siapa yang benar melainkan mewujudkan kedamaian antara kedua belah pihak yang bersengketa dan para pihak dapat kembali lagi dalam kehidupan bermasyarakat dalam keadaan damai dan tentram.

 

  1. Penyelesaian sengketa melalui jalur keorganisasian (class action).

Class action adalah suatu cara yang diberikan kepada sekelompok orang yang mempunyai kepentingan dalam suatu masalah, baik seorang atau lebih anggotanya menggugat atau digugat sebagai perwakilan kelompok tanpa harus turut serta dari setiap anggota kelompok. Persyaratan umum yang perlu ada mencakup banyak orangnya, tuntutan kelompok lebih praktis, dan perwakilannya harus jujur dan adequate (layak). Dapat diterima oleh kelompok, dan mempunyai kepentingan hukum dan fakta dari pihak yang diwakili.

Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien, dan seseorang yang akan turut serta dalam class action harus memberikan persetujuan kepada perwakilan.

Istilah class Action dalam masyarakat adat terutama dalam permasalahan pengrusakan wilayah kekuasaan adat, dalam hal ini atas kerugian bagi masyarakat adat seorang ketua adat dapat memfasilitasi pelaku yang merugikan banyak pihak.

Kamis, 20 Juni 2019

Sejarah perkembangan hukum adat di Aceh pasca Mou Helsinki

Sejarah perkembangan hukum adat di Aceh pasca Mou Helsinki
Sejarah perkembangan hukum adat di Aceh pasca Mou Helsinki-Semenjak lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, keberadaan hukum adat semakin kuat dikarenakan adanya pengakuan terhadap lembaga adat. Adanya pemberian kewenangan kepada lembaga adat dalam melaksanakan hukum adat, yang ketentuan di atur dalam Bab XIII Pasal 98 tentang Lembaga Adat UUPA.

Dalam Pasal 98 ayat (1) disebutkan, Bahwa:
“Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban.”

kemudian dalam Pasal 98 ayat (1) berbunyi:
“Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban.”

Maka dengan demikian, berdasarkan amanah UUPA tersebut, dibentuklah turunan peraturan  daerah (Qanun) untuk menguatkan keberadaan lembaga adat (peradilan adat), struktur lembaga adat, dan hukum adat.

Adapun qanun-qanun di maksud adalah, sebagai berikut:
  1. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, yang disahkan pada 30 Desember 2008.
  2. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, yang disahkan pada 30 Desember 2008.
  3. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Imum Mukim,  yang disahkan pada 28 Mei 2009.
  4. Qanun Aceh Nomor  4  Tahun  2009  tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik (Kepala Desa, Kepala Kampung), yang disahkan pada 28 Mei 2009.
Dengan adanya undang-undang dan qanun-qanun di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa keberadaan hukum adat baik dalam arti materil maupun formil (peradilan adat) dapat dikatakan telah ditempatkan dalam sistem hukum positif (formal). Ini menunjukkan bahwa keberadaan hukum adat dan lembaga adat (peradilan adatnya) lambat laun akan menuju pada perundang-undangan formal. Konsekuensinya adalah, hukum adat dan peradilan adat dapat besifat kaku sebagaimana praktik lembaga-lembaga formal lainnya. Jika perundang-undangan tidak mengaturnya, maka praktik kebiasaan masyarakat sebagai unwritten law (hukum tidak tertulis) yang telah dipraktikkan secara turun temurun akan dianggap tidak mempunyai arti formal.

Kamis, 28 Februari 2019

REKONSILIASI BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI ACEH


REKONSILIASI BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI ACEH - Rekonsiliasi berasal dari kata reconciliation yang artinya perdamaian, perukunan kembali. Menurut Bristol dan Carol (1999: 159), berdamai kembali berarti menyelaraskan atau menyelesaikan suatu ketidakcocokan. Menurut Teuku Muttaqin Mansur (2017: 147) perdamaian adat merupakan suatu proses suatu peristiwa atau perbuatan yang memberikan dampak terhadap ganguan keseimbangan (reaksi) di dalam kehidupan bermasyarakat dan dipulihkan kembali dengan cara merukunkan kembali kedua belah pihak yang bersengketa melalui upacara adat.

REKONSILIASI BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI ACEH
(pendengaran suara korban pelanggaran HAM di Aceh oleh KKR Aceh)

Berdasarkan ketentuan Pasal 33 Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran Aceh, adalah:
  1. Merajut kembali persaudaraan yang terpecah dan menghilangkan dendam antara korban, keluarga korban dan pelaku dalam rangka memperkuat keutuhan masyarakat dan bangsa;
  2. Membangun kebersamaan untuk menjaga keberlanjutan perdamaian;
  3.  Mencegah berulangnya konflik, dan
  4.   Menjaga keutuhan Wilayah Aceh.
Pada Pasal 34 Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran Aceh mekanisme rekonsiliasi pada tingkat Gampong atau Kecamatan dalam rangka mengungkapkan kebenaran, pengakuan dan pengampunan yangberbasis kearifan lokal di Aceh adalah sebagai berikut :
  1. Proses rekonsiliasi harus diperlihatkan dan disaksikan Keuchik, Teungku Imum, Imum Mukim, Tuha Peut, Tuha Lapan, aparatur Gampong, Lembaga Adat setingkat Gampong atau Setingkat Mukim.
  2. Mempertemukan dan Melakukan mediasi antara pelaku dan korban.
  3. Jika para pihak sudah sepakat untuk berdamai, maka pelaku pelanggaran HAM memohon maaf kepada korban terbuka. Dalam permohonan maaf pelaku juga diharuskan utukk berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya dan pelaku diharuskan untuk membayar biaya restitusi sebagaimana telah diperjanjiakan oleh kedua belah pihak.
  4. Penerimaan penyataan maaf oleh korban secara terbuka.

Pada umumnya metode penyelesaian sengketa yang dilakukan secara turun-temurun dalam kearifan lokal masyarakat Aceh dilakukan melalui:
  1. Di’iet atau diyat dalam istilah syariat Islam bermakna pengganti jiwa atau anggota tubuh yang hilang atau rusak dengan harta, baik harta bergerak atau harta tidak bergerak.
  2. Sayam adalah bentuk kompensasi berupa harta yang diberikan oleh pelaku pidana terhadap korban atau ahli waris korban.
  3. Suloh berasal dari kata Al-Shulhu atau Ishlah adalah upaya perdamaian antar pihak yang bersengketa atau konflik.
  4. Peusijuk adalahTradisi ini biasanya dilakukan untuk memohon keselamatan, ketentraman, dan kebahagiaan dalamkehidupan. Dan,
  5. Peumat Jaroe merupakan suatu kegiatan berjabat tangan antara para pihak yang bersengketa.Peumat Jaroe biasanya dilakukan pada tahap akhir yang menandakan para pihak sudah saling memaafkan.


Senin, 23 Oktober 2017

HARI PANTANG MELAUT DALAM MASYARAKAT ADAT ACEH

Uroe pantang meulaot (hari pantang melaut dalam masyarakat adat Aceh

HARI PANTANG MELAUT DALAM MASYARAKAT ADAT ACEH – Terdapat beberapa lembaga adat yang masih berkembang semenjak zaman dulu sampai dengan sekarang dalam kehidupan masyarakat adat Aceh salah satunya adalah lembaga adat laot[1]. Lembaga adat laot dipimpin oleh seorang Panglima Laot.[2] Dari beberapa sumber menyatakan Panglima Laot telah berada pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda pada tahun (1607-1636) dan kurang lebih sudah 410 Tahun yang lalu dimana tugas dari seorang panglima Laot dipercayai sebagai petugas pemugut cukai pada tiap kapal-kapal yang bersandar di pelabuhan dan sebagai penghubung antara pihak pemerintahan dan pihak nelayan.

Istilah uroe pantang meulaot pada hukum adat laot Aceh dapat diartikan sebagai hari larangan bagi para nelayan untuk melaut. Adapun hari-hari pantang melaut (uroe pantang meulaot) dalam adat laot aceh adalah sebagai berikut:
  1.  1 (satu) hari pada hari Jum’at;
  2.  2 (dua) hari pada hari raya Idul Fitri;
  3. 4 (empat) hari pada hari raya Idul Adha;
  4. 1 (satu) hari pada hari perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yaitu pada Tangga 17 Agustus;
  5. 1 (satu) hari pada peringatan musibah Tsunami di Aceh tanggal 26 (dua puluh enam) Desember; dan.
  6. 3 (tiga) hari pada waktu pelaksaan kenduri Laut.


Terdapat beberapa sanksi jika para nelayan tidak memenuhi atau melanggar aturan adat laot di Aceh maka pihak yang melanggar akan diberikan hukuman yang berupa pertama, seluruh hasil tangkapan akan disita oleh pihak lembaga adat laot dalam hal ini dipimpin oleh Panglima Laot. Kedua, nelayan yang melanggar adat laot selain disita hasil tangkapan juga akan dikenakan sanksi larangan melaut paling cepat 3 (tiga) hari dan paling lama 7 (tujuh) hari.



[1] Laot merupakan arti dari kata laut.
[2] Panglima Laot adalah orang yang memimpin dan mengatur adat dan reusam pada wilayah pesisir dan laut.

Minggu, 22 Oktober 2017

Asas-Asas Dalam Peradilan Adat di Aceh

Asas-Asas Dalam Peradilan Adat di Aceh - Asas adalah suatu tatanan nilai-nilai sosial yang menduduki tngkatan yang tertinggi dari suatu sistem hukum serta tidak boleh disampingkan dari dan oleh suatu sistem hukum dengan bentuk apapun. Pada suatu sistem hukum adat yang hidup dalam kehidupan masyarakat adat Aceh diketahui terdapat sejumlah asas-asas yang pada umumnya dapat diterima oleh berbagai sistem hukum lainnya. Adapun asas-asas yang asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Asas terpercaya atau sering disebut dengan amanah (Acceptability).
Asas terpercaya (amanah) artinya suatu peradilan adat yang dilaksanakan oleh lembaga adat dalam kehidupan masyarakat adat dapat dipercayai oleh seluruh masyarakat adat.
2.      Asas Tanggung Jawab/Akuntabilitas (accountability).
Pada prinsip ini yang menjadi poin penting adalah suatu mekanisme pertanggung jawaban dalam pelaksanaan suatu peradilan adat dimana pada tiap penyelesaian suatu sengketa adat di dalam peradilan adat. Hasil dari suatu putusan ini harus dapat dipertanggung jawabkan di depan para pihak yang bersengketa, masyarakat yang menyaksikan, negara dan Allah SWT (Tuhan) selaku sang pencipta.
3.      Asas kesetaraan di depan hukum (equality before the law).
Suatu peradilan adat tidak boleh adanya unsur-unsur pembedaan kepada para pihak, di mana didalamnya terdapat suatu kesetaraan dalam hukum pada setiap Individu. Adapun Tujuan utama adanya Equality before the law adalah menegakkan keadilan dimana persamaan kedudukan berarti hukum sebagai satu entitas tidak membedakan siapapun yang meminta keadilan kepadanya.
4.      Asas cepat, mudah dan biaya murah (accessibility to all citizens).
Tiap-tiap putusan sengketa atau perkara yang berada pada peradilan adat haruslah dapat di jangkau oleh masyarakat adat baik menyangkut dari segi biaya, waktu dan prosedur tahapan beracara di peradilan adat.
5.      Asas ikhlas dan sukarela (voluntary nature).
Suatu keadilan adat tidak boleh memaksa para pihak untuk menyelesaikan perkaranya melalui peradilan adat, dengan kata lain. Jika para pihak ingin menyelesaikan perkara (sengketa) melalui jalur peradilan adat maka terlebih dahulu para pihak yangbersengketa haruslah benar-benar sepakat (tidak ada paksaan) untuk menyelesaikan perkara melalui jalur peradilan adat.
6.      Asas penyelesaian sengketa secara damai dan rukun (peaceful resolution).
Asas ini bertujuan hasil dari suatu putusan adat dapat mendamaikan lagi para pihak yang bersengketa dan menciptakan kembali rasa keseimbangan, keharmonisan dan kedamaian saat perkara adat itu dianggap selesai.
7.      Asas musyawarah atau mufakat (consensus).
Tiap seluruh proses peradilan adat
8.      Asas keterbukaan untuk umum (transparancy).
Pada asas ini menganjurkan untuk semua proses peradilan (kecuali untuk kasus-kasus tertentu) baik itu tahapan awal mulai penerimaan pengaduan, pemanggilan saksi, persidangan sampai pengambilan dan pembacaan putusan atau tahapan akhir persidangan peradilan adat haruslah dilaksanakan secara terbuka.
9.      Asas jujur dan kompetensi(competence/authority)
Asas jujur dan kompetensi sangat menekankan seorang ketua adat agar tidak mengambil suatu keuntungan dari sagala bentuk apapun baik itu bersifat material ataupun non material dari suatu penanganan perkara.
10.  Asas Keberagaman (pluralism)
Suatu peradilan adat haruslah menghargai keberagaman peraturan hukum yang terdiri dari berbagai sistem hukum adat dan berlaku dalam suatu masyarakat adat tertentu.
11.  Asas Praduga tak bersalah (presumption of innocence)
Dalam peradilan adat tidak mengenal adanya suatu tindakan main hakim sendiri. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan adat, juga wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan adat  yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
12.  Asas Berkeadilan (propotional justice)

Suatu putusan peradilan adat haruslah bersifat adil dan diterapkan berdasarkan pedoman-pedoman yang sesuai dengan parahnya suatu perkara dan keadaan ekonomi dari para pihak. 

Senin, 16 Oktober 2017

Peran dan tanggung jawab Ketua Adat dalam kehidupan masyarakat adat

Peran dan tanggung jawab Ketua Adat dalam kehidupan masyarakat adat - Terlibatnya ketua adat pada suatu penyelesaian perkara (sengketa) merupakan suatu tanggung jawab besar atas kepercayaan masyarakat hukum adat. Masyarakat memberikan kepercayaan kepada lembaga (pemimpin) adat untuk memutuskan perkara dalam penyelesaian pertikaian, sengketa dengan arif, adil dan damai.
Terdapat beberapa tanggungg jawab yang dibebankan oleh masyarakat kepada seorang pemangku (ketua) adat adalah sebagai berikut:
1.      Melaksanakan proses peradilan adat.
Ketua (pemangku) adat bertanggung jawab atas tiap-tiap tahapan dalam suatu peradilan adat, dimulai dari tahapan penerima laporan awal, duduk perkara antar para pihak yang berkaitan dengan permasalahan yang disengketanan sampai tahapan akhir pada tahapan sidang akhir dan pemberian suatu keputusan hasil sidang peradilan adat.
2.      Memutuskan sengketa (perkara) adat dengan adil.
Para ketua (pemangku adat) harus dapat memastikan setiap putusan-putusan yang diambil (diputuskan) dalam suatu proses peradilan adat diharuskan untuk memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang terlibat di dalam persengketaan. Suatu putusan haruslah diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dalam hasil proses pembuktian dan musyawarah dan bukan atas dasar kepentingan salah satu pihak yang bersengketa.
3.      Melindungi hak-hak para pihak yang bersengketa.
Ketua (pemangku) adat diharuskan dan bertanggung jawab atas pemenuhan hak-hak dari pihak-pihak yang bersengketa dimulai pada tahapan awal proses pelaporan, duduk perkara, proses persidangan dan sampai tahapan akhir pembacaan serta pelaksanaan putusan-putusan di persidangan adat.
4.      Mencatat proses dan keputusan peradilan.
Lembaga adat (ketua adat) diharuskan untuk melakukan pencatatan atas suatu putusan persengketaan adat secara tepat dan akurat dalam suatu dokumen administrasi peradilan adat.
5.      Mengarsipkan berkas perkara.
Ketua adat (lembaga adat) mempunyai tanggung jawab untuk mengarsipkan tiap putusan-putusan perkara dari suatu peradilan adat dan diarsipkan pada tempat yang aman. Hal ini dianggap penting untuk dilakukan agar menjamin dan memperlancar proses peradilan bagi kasus-kasus yang lainnya, sehingga memudahkan pemangku adat mempunyai referensi dalam pengambilan keputusan jika hal sama kembali terulang.

Selasa, 11 Juli 2017

Pengertian Masyarakat Hukum Adat


PENGERTIAN MASYARAKAT HUKUM ADAT- Masyarakat hukum adat adalah suatu bentuk kehidupan bersama, yang warga-warganya hidup secara bersama dalam jangka waktu yang sangat lama, sehingga membentuk suatu kebudayaan. Masyarakat merupakan suatu kesatuan dari sistem sosial, yang menjadi wadah dari berbagai pola-pola interaksi sosial atau hubungan interpersonal ataupun hubungan antar kelompok sosial.
Istilah masyarakat adat merupakan padanan dari indigeneous people. Istilah itu sudah dikenal luas dan telah disebutkan dalam sejumlah kesepakatan internasional, yaitu: Convention of International Labor Organixation Concerning Indigeneous and Tribal People in Independent Countries (1989), Deklarasi Cari Oca tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (1992), Deklarasi Bumi Rio de Janairo (1992), Declaration on the Right of Asian Indigenous Tribal People Chianmai (1993), De Vienna Declaration and Programme Action yang dirumuskan oleh United Nations World Conference on Human Rights (1993). Sekarang istilah indigenous people semakin resmi penggunaannya dengan telah lahirnya Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on the Rights of Indegenous People) pada tahun 2007.
Banyak ahli berpendapat bahwa pengertian masyarakat adat harus dibedakan dengan masyarakat hukum adat. Konsep masyarakat adat merupakan pengertian umum untuk menyebut masyarakat tertentu dengan ciri-ciri tertentu. Sedangkan masyarakat hukum adat merupakan pengertian teknis yuridis yang menunjuk sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah (ulayat) tempat tinggal dan lingkungan kehidupan tertentu, memiliki kekayaan dan pemimpin yang bertugas menjaga kepentingan kelompok (keluar dan ke dalam), dan memiliki tata aturan (sistem) hukum dan pemerintahan.[1]
Secara faktual setiap provinsi di Indonesia terdapat kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dengan karakteristiknya masing-masing yang telah ada ratusan tahun yang lalu. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, yang bertingkah laku sebagai kesatuan, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasa, memiliki hukum adat masing-masing dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang berwujud ataupun tidak berwujud serta menguasai sumber daya alam dalam jangkauannya.[2] Mereka memiliki sistem kebudayaan yang kompleks dalam tatanan kemasyarakatannya dan mempunyai hubungan yang kuat dengan tanah dan sumber daya alamnya. Masyarakat hukum adat juga diartikan sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.[3]
Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan oleh Cornelius van Vollenhoven. Ter Haar sebagai murid dari Cornelius van Vollenhoven mengeksplor lebih mendalam tentang masyarakat hukum adat. Ter Haar memberikan pengertian sebagai berikut, masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun yang tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.[4]
Kusumo Pujosewojo memberikan pengertian yang hampir sama dengan Ter Haar, beliau mengartikan masyarakat hukum adat sebagai masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu, berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, dengan rasa solidaritas sangat besar di antara anggota, memandang anggota masyarakat sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya.[5]
Sedangkan menurut Hazairin, masyarakat hukum adat adalah kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.[6]
Menurut Soepomo dijelaskan bahwa Van Vollenhoven dalam orasinya tanggal 2 Oktober 1901 menegaskan:[7] “bahwa untuk mengetahui hukum, maka yang terutama perlu diselidiki adalah pada waktu dan bilamana serta di daerah mana sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum di mana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu hidup sehari-hari”. Bersandar dari pendapat tersebut, Soepomo mengungkapkan pendapatnya sendiri bahwa: “penguraian tentang badan-badan persekutuan itu harus tidak didasarkan atas sesuatu yang dogmatik, melainkan harus berdasarkan atas kehidupan yang nyata dari masyarakat yang bersangkutan”.[8] Dari apa yang telah dikemukakan oleh Van Vollenhoven dan Soepomo terlihatlah bahwa masyarakat yang mengembangkan ciri khas hukum adat itu adalah Persekutuan Hukum Adat (Adatrechts Gemeenschapen).
Bentuk dan susunan masyarakat hukum yang merupakan persekutuan hukum adat itu, para anggotanya terikat oleh faktor yang bersifat teritorial dan geneologis. Menurut pengertian yang dikemukakan para ahli hukum di zaman Hindia-Belanda, yang dimaksud dengan masyarakat hukum atau persekutuan hukum yang teritorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh para leluhur.[9] Sedangkan masyarakat atau persekutuan hukum yang bersifat geneologis adalah suatu kesatuan masyarakat yang teratur, di mana para anggotanya terikat pada suatu garis keturunan yang sama dari satu leluhur, baik secara tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat.[10]
Berdasarkan pendapat dari beberapa pakar hukum tersebut maka dapat dirumuskan kriteria masyarakat hukum adat sebagai berikut:
a)      Terdapat masyarakat yang teratur.
b)      Menempati suatu wilayah tertentu.
c)      Terdapat kelembagaan.
d)     Memiliki kekayaan bersama.
e)      Susunan masyarakat berdasarkan pertalian darah atau lingkungan daerah, dan.
f)       Hidup secara komunal, dan gotong-royong.
Dalam buku De Commune Trek in Bet Indonesische Rechtsleven, F.D. Hollenmann mengkonstruksikan 4 (empat) sifat umum dari masyarakat adat, yaitu magis religious, komunal, konkrit dan kontan. Hal ini terungkap dalam uraian singkat sebagai berikut:[11]
a)      Sifat magis religious diartikan sebagai suatu pola pikir yang didasarkan pada keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sakral. Sebelum masyarakat bersentuhan dengan sistem hukum agama religiusitas ini diwujudkan dalam cara berpikir yang prologka, animism, dan kepercayaan pada alam ghaib. Masyarakat harus menjaga keharmonisan antara alam nyata dan alam batin (dunia gaib). Setelah masyarakat mengenal sisitem hukum agama perasaan religious diwujudkan dalam bentuk kepercayaan kepada Tuhan (Allah). Masyarakat percaya bahwa setiap perbuatan apapun bentuknya akan selalu mendapat imbalan dan hukuman tuhan sesuai dengan derajat perubahannya.
b)      Sifat komunal (commuun), masyarakat memiliki asumsi bahwa setiap individu, anggota masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat secara keseluruhan. Diyakini bahwa kepentingan individu harus sewajarnya disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat karena tidak ada individu yang terlepas dari masyarakat.
c)      Sifat konkrit diartikan sebagai corak yang serba jelas atau nyata menunjukkan bahwa setiap hubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam atau samar.
d)     Sifat kontan (kontane handeling) mengandung arti sebagai keserta-mertaan terutama dalam pemenuhan prestasi. Setiap pemenuhan prestasi selalu dengan kontra prestasi yang diberikan secara serta-merta/seketika.
Masyarakat adat menunjukkan hubungan yang erat dalam hubungan antar personal dan proses interaksi sosial yang terjadi antar manusia tersebut menimbulkan pola-pola tertentu yang disebut dengan cara (a uniform or customary of belonging within a social group).[12] Manusia pada dasarnya ingin hidup teratur dan kemudian setiap kelompok dalam masyarakat tersebut memiliki pengertian yang berbeda terhadap pengertian teratur. Keteraturan tersebut diperlukan untuk mengatur perilaku manusia dalam kelompok manusia dan hal inilah yang menguatkan konsep dan nilai-nilai komunal dalam masyarakat adat tersebut.[13]




[1] Taqwaddin, Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat (Mukim) di Provinsi Aceh, (Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2010), hal 36.
[2] Ibid., hal 3
[3] Limei Pasaribu, Keberadaan Hak Ulayat dalam Masyarakat Hukum Adat Batak Toba di Kecamatan Nassau Kabupaten Toba Samosir, Tesis, Ilmu Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan,USU, 2011.
[4] Husen Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta,  2010, hal 30.
[5] Ibid., hlm 44.
[6] Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, Jakarta, UNDP Regional Centre in Bangkok, 2006, hal 23.
[7] Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia dalam Kajian Kepustakaan), Alfabeta, Bandung,  2008, hlm. 75.
[8] Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015, hal 92.
[9] Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hal 108.
[10] Ibid., hal 109.
[11] Husen Alting, Op.Cit., hlm. 46.
[12] Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad, Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Berperkara di Mahkamah Konstitusi, Salemba Humanika, Jakarta,  2010, hal 12.
[13] Ibid., hal 13.