Tampilkan postingan dengan label Majelis Adat Aceh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Majelis Adat Aceh. Tampilkan semua postingan

Senin, 16 Oktober 2017

Peran dan tanggung jawab Ketua Adat dalam kehidupan masyarakat adat

Peran dan tanggung jawab Ketua Adat dalam kehidupan masyarakat adat - Terlibatnya ketua adat pada suatu penyelesaian perkara (sengketa) merupakan suatu tanggung jawab besar atas kepercayaan masyarakat hukum adat. Masyarakat memberikan kepercayaan kepada lembaga (pemimpin) adat untuk memutuskan perkara dalam penyelesaian pertikaian, sengketa dengan arif, adil dan damai.
Terdapat beberapa tanggungg jawab yang dibebankan oleh masyarakat kepada seorang pemangku (ketua) adat adalah sebagai berikut:
1.      Melaksanakan proses peradilan adat.
Ketua (pemangku) adat bertanggung jawab atas tiap-tiap tahapan dalam suatu peradilan adat, dimulai dari tahapan penerima laporan awal, duduk perkara antar para pihak yang berkaitan dengan permasalahan yang disengketanan sampai tahapan akhir pada tahapan sidang akhir dan pemberian suatu keputusan hasil sidang peradilan adat.
2.      Memutuskan sengketa (perkara) adat dengan adil.
Para ketua (pemangku adat) harus dapat memastikan setiap putusan-putusan yang diambil (diputuskan) dalam suatu proses peradilan adat diharuskan untuk memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang terlibat di dalam persengketaan. Suatu putusan haruslah diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dalam hasil proses pembuktian dan musyawarah dan bukan atas dasar kepentingan salah satu pihak yang bersengketa.
3.      Melindungi hak-hak para pihak yang bersengketa.
Ketua (pemangku) adat diharuskan dan bertanggung jawab atas pemenuhan hak-hak dari pihak-pihak yang bersengketa dimulai pada tahapan awal proses pelaporan, duduk perkara, proses persidangan dan sampai tahapan akhir pembacaan serta pelaksanaan putusan-putusan di persidangan adat.
4.      Mencatat proses dan keputusan peradilan.
Lembaga adat (ketua adat) diharuskan untuk melakukan pencatatan atas suatu putusan persengketaan adat secara tepat dan akurat dalam suatu dokumen administrasi peradilan adat.
5.      Mengarsipkan berkas perkara.
Ketua adat (lembaga adat) mempunyai tanggung jawab untuk mengarsipkan tiap putusan-putusan perkara dari suatu peradilan adat dan diarsipkan pada tempat yang aman. Hal ini dianggap penting untuk dilakukan agar menjamin dan memperlancar proses peradilan bagi kasus-kasus yang lainnya, sehingga memudahkan pemangku adat mempunyai referensi dalam pengambilan keputusan jika hal sama kembali terulang.

Sabtu, 14 Oktober 2017

DASAR HUKUM PERADILAN ADAT


DASAR HUKUM PERADILAN ADAT- Terdapat beberapa sejumlah aturan PerUndang-Undangan yang mendukung (dasar hukum peradilan adat di Aceh) agar terlaksananya suatu pelaksanaan peradilan adat di Aceh sehingga penguatan terhadap pelaksanaan peradilan adat dapat dilaksanakan mulai dari Gampong dan Mukim. Adapun lembaga-lembaga resmi yang dapat menyelenggarakan peradilan adat adalah lembaga Gampong dan lembaga Mukim.

Terdapat Beberapa aturan-aturan hukum yang mengatur tentang mekanisme dan pelaksanaan adat di Aceh:[1]
  1. Pasal 3 dan 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh yang menyatakan Daerah diberikan kewenangan untuk menghidupkan adat yang sesuai dengan Syariat Islam.
  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, di dalam bab XIII tentang Lembaga Adat yang menyebutkan bahwa:
a.       Pasal 92 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyatakan bahwa: Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat dapat ditempuh melalui lembaga adat;
b.      Adapun Lembaga-lembaga Adat sebagaimana disebutkan di atas adalah sebagai berikut:
1)      Tuha Peut;
2)      Majelis Adat Aceh;
3)      Imum Mukim;
4)      Imum Chiek;
5)      Imum Meunasah;
6)      Tuha Lapan;
7)      Syahbanda;
8)      Haria Peukan
9)      Peutuwa Seunuboek;
10)  Pawang Glee;
11)  Panglima Laot;
12)  Keujruen Blang;
13)  Keuchik.

3.      Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat.
Terdapat penegasan tentang lembaga adat pada Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat. menyatakan bahwa “Lembaga Adat berfungsi sebagai alat kontrol keamanan, ketentraman, kerukunan dan ketertiban masyarakat.
Adapun tugas-tugas lembaga adat adalah sebagai berikut:
1)      Pasal 5 Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat menyebutkan fungsi lembaga adat adalah untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial kemasyarakatan.
2)      Fungsi lembaga adat salah satunya dapat menjadi Hakim Perdamaian dan diberikan prioritas utama oleh aparat penegak hukum untuk menyelesaikan berbagai kasus.[2]

4.      Qanun Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim.
Terdapat beberapa kewenangan Mukim dalam penyelesaian sengketa pada tahapan peradilan adat adalah sebagai berikut:
1)      Dapat memutus dan atau menetapkan hukum;
2)      Memelihara dan mengembangkan adat istiadat;
3)      Menyelenggarakan perdamaian adat;
4)      Menyelesaikan dan memberikan keputusan-keputusan adat terhadap perselisihan dalam pelanggaran adat.
5)      Memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut hukum adat.
6)      Menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan adat dan adat-istiadat.

5.      Qanun Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Terdapat beberapa tugas dan kewajiban pemerintahan Gampong adalah sebagai berikut:
1)      Menyelesaikan sengketa adat;
2)      Menjaga dan memelihara kelestarian adat dan istiadat;
3)      Memelihara ketentraman dan ketertiban serta mencegah munculnya perbuatan yang tidak diinginkan di dalam kehidupan bermasyarakat;
4)      Pemerintahan Gampong, Tuha Peut dan Imum Meunasah menjadi Hakim Perdamaian.


[1] Anonim, Pedoman Peradilan Adat di Aceh, Banda Aceh, 2008, hal. 7.
[2] Lihat Pasal 6 dan 10 Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat.