Hukum Perjanjian Adat - Menurut
Hilman Hadikusuma, yang dimaksud dengan hukum perjanjian adat adalah hukum yang
meliputi uraian tentang hukum perhutangan (schuldenrecht) adapun termasuk di dalamnya meliputi soal ataupun mekanisme-mekanisme transaksi atas tanah (groundtransakties)
dan transaksi-transaksi yang menyangkut tanah (transaksi waarbij ground betrokkenis).
Dalam
hukum perhutangan (schuldenrecht) dalam
hukum adat menyangkut:[1]
a. Beri-memberi.
b. Pakai-memakai.
c. Pinjam-meminjam.
d. Tanggung-menanggung.
e. Tukar-menukar.
f. Jual-beli.
g. Titip-menitip.
h. Urus-mengurus.
i.
Sewa-menyewa.
j.
Kerja-mengerjakan.
Terhadap
perjanjian yang menyangkut tanah antara lain menurut hukum adat adalah:
a) Perjanjian
bagi-hasil.
b) Perjanjian
sewa-menyewa.
c) Perjanjian
berganda.
d) Perjanjian
pinjam-meminjam dengan jaminan tanah.
e) Perjanjian
semu (simulasi).
Hukum
perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan hukum perjanjian
adat mempunyai perbedaan-perbedaan. Perbedaan ini disebabkan oleh latar
belakang alam pikiran kebudayaan masyarakat yangmelahirkan hukum yang berasal
dari dasar kejiwaanya. Hukum perjanjian barat bertitik tolak pada dasar
kejiwaan kepentingan perseorangan yang bersifat kebendaan, sedangkan hukum
perjanjian adat bertitik tolak pada dasar kejiwaan kekeluargaan dan kerukunan
serta bersifat tolong-menolong. Di samping itu perjanjian menurut hukum barat
menerbitkan perikatan, sedangkan perjanjian menurut paham adat untuk
mengikatnya perjanjian harus adanya tanda pengikat dan kemudian perjanjian
menurut hukum adat tidak selamanaya menyangkut hubungan hukum mengenai harta
benda, tetapi juga menyangkut dengan perjanjian selain kebendaan. Perbedaan
yang lainnya terletak pada sifat dari suatu perjanjian.
Menurut
Mahadi yang menyatakan perjanjian adat tidak hanya bersifat konsensual saja
tetapi juga bersifat kongkrit, oleh karena itu kata-kata saja belum dapat
mengikat persesuaian paham, akan tetapi harus bersifat kongkrit.[2] Sedangkan
menurut Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa hukum adat tidak mengenai perbedaan
antara benda-benda tetap dan benda-benda bergerak, tetap atau tidak tetapnya
suatu benda dilihat dari kemungkinan dan keadaannya.[3]
[1] A. Malik, Perjanjian “Gala” dalam Masyarakat Hukum Adat
Aceh di Kecamatan Lhoknga/Leupung Kabupaten DATI II Aceh Besar, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 1997, hal 33.
[2] Mahadi, Soal Dewasa, cetakan ke II, Fakultas
Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, Medan, 1991, hal
140.