Selasa, 11 Juli 2017

HUKUM PERJANJIAN ADAT

Ilustrasi Hukum Perjanjian Adat

Hukum Perjanjian Adat - Menurut Hilman Hadikusuma, yang dimaksud dengan hukum perjanjian adat adalah hukum yang meliputi uraian tentang hukum perhutangan (schuldenrecht) adapun termasuk di dalamnya meliputi soal ataupun mekanisme-mekanisme transaksi atas tanah (groundtransakties) dan transaksi-transaksi yang menyangkut tanah (transaksi waarbij ground betrokkenis).
Dalam hukum perhutangan (schuldenrecht) dalam hukum adat menyangkut:[1]
a.       Beri-memberi.
b.      Pakai-memakai.
c.       Pinjam-meminjam.
d.      Tanggung-menanggung.
e.       Tukar-menukar.
f.       Jual-beli.
g.      Titip-menitip.
h.      Urus-mengurus.
i.        Sewa-menyewa.
j.        Kerja-mengerjakan.
Terhadap perjanjian yang menyangkut tanah antara lain menurut hukum adat adalah:
a)      Perjanjian bagi-hasil.
b)      Perjanjian sewa-menyewa.
c)      Perjanjian berganda.
d)     Perjanjian pinjam-meminjam dengan jaminan tanah.
e)      Perjanjian semu (simulasi).
Hukum perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan hukum perjanjian adat mempunyai perbedaan-perbedaan. Perbedaan ini disebabkan oleh latar belakang alam pikiran kebudayaan masyarakat yangmelahirkan hukum yang berasal dari dasar kejiwaanya. Hukum perjanjian barat bertitik tolak pada dasar kejiwaan kepentingan perseorangan yang bersifat kebendaan, sedangkan hukum perjanjian adat bertitik tolak pada dasar kejiwaan kekeluargaan dan kerukunan serta bersifat tolong-menolong. Di samping itu perjanjian menurut hukum barat menerbitkan perikatan, sedangkan perjanjian menurut paham adat untuk mengikatnya perjanjian harus adanya tanda pengikat dan kemudian perjanjian menurut hukum adat tidak selamanaya menyangkut hubungan hukum mengenai harta benda, tetapi juga menyangkut dengan perjanjian selain kebendaan. Perbedaan yang lainnya terletak pada sifat dari suatu perjanjian.
Menurut Mahadi yang menyatakan perjanjian adat tidak hanya bersifat konsensual saja tetapi juga bersifat kongkrit, oleh karena itu kata-kata saja belum dapat mengikat persesuaian paham, akan tetapi harus bersifat kongkrit.[2] Sedangkan menurut Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa hukum adat tidak mengenai perbedaan antara benda-benda tetap dan benda-benda bergerak, tetap atau tidak tetapnya suatu benda dilihat dari kemungkinan dan keadaannya.[3] 




[1] A. Malik, Perjanjian “Gala” dalam Masyarakat Hukum Adat Aceh di Kecamatan Lhoknga/Leupung Kabupaten DATI II Aceh Besar, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 1997, hal 33.
[2] Mahadi, Soal Dewasa, cetakan ke II, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, Medan, 1991, hal 140.
[3] Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, Hal 6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar