Tampilkan postingan dengan label hukum perjanjian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukum perjanjian. Tampilkan semua postingan

Senin, 27 November 2017

CONTOH SURAT PERJANJIAN PERKAWINAN

CONTOH SURAT PERJANJIAN PERKAWINAN

PERJANJIAN PERKAWINAN

Pada hari ini, _____ tanggal _____ bulan _____ tahun _____ .
Menghadap kepada saya, _____ , Sarjana Hukum, Notaris di _____ , dengan dihadiri oleh para saksi yang dikenal oleh saya, Notaris dan akan disebutkan pada akhir akta ini:
1.  Nama       :
    Pekerjaan  :
    Alamat      :
    Bertindak untuk dan atas diri sendiri, yang selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA.

2. Nama       :
    Pekerjaan  :
    Alamat      :
    Bertindak untuk dan atas dirinya sendiri,yang selanjutnya disebut PIHAK KEDUA.

Penghadap telah dikenal oleh saya; Notaris.
Para penghadap menerangkan kepada saya, Notaris:
Bahwa antara Para Pihak telah terdapat kesepakatan untuk melangsungkan perkawin-an, dan untuk itu Para Pihak telah setuju dan mufakat untuk membuat Perjanjian Kawin dengan memakai syarat-syarat dan ketentuanketentuan sebagai berikut:

Pasal 1
PISAH HARTA

Antara suami dan istri tidak akan ada persekutuan harta-benda dengan nama atau sebutan apa pun juga, baik persekutuan harta-benda menurut hukum atau persekutuan untung dan rugi maupun persekutuan hasil dan pendapatan.

Pasal 2
HARTA

Semua harta benda yang bersifat apa pun yang dibawa oleh Para Pihak dalam perkawinan, atau yang diperolehnya selama perkawinan, karena pembelian, waris-an, hibah, dan atau dengan cara apa pun juga tetap menjadi milik dari Para Pihak yang membawa dan atau yang memperolehnya.

Pasal 3
BUKTI PEMILIKAN

1. Barang-barang bergerak yang oleh Para Pihak didapat dari dan oleh sebab apa pun juga sesudah perkawinan dilangsungkan, wajib dibuktikan dengan bukti pemilikan, dengan tidak mengurangi hak PIHAK KEDUA, untuk membuktikan adanya barang-barang atau harganya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 166 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Barang-barang tidak bergerak, yang tidak dapat dibuktikan dengan bukti pemilikan atau surat-surat lainnya oleh salah satu pihak, dianggap sebagai ke-punyaan Para Pihak, masing-masing untuk 1/2 (setengah) bagian yang sama besar.

Pasal 4
HAK-HAK PARA PIHAK

1. Kekayaan dan utang dari Para Pihak yang terjadi sebelum atau sesudah perkawinan dilangsungkan, tetap menjadi hak atau kewajiban masing-masing.
2. PIHAK KEDUA dapat mengurus dan mempertahankan haknya, baik dalam tindakan pengurusan maupun dalam tindakan pemilikan untuk mengurus, menguasai sendiri harta bendanya, baik yang bergerak, maupun yang tidak bergerak, dan penikmatan secara bebas dari penghasilannya
3. Untuk hal-hal tersebut di atas, sepanjang diperlukan dengan ini PIHAK KEDUA telah diberi kuasa dan persetujuan oleh PIHAK PERTAMA.

Pasal 5
BIAYA-BIAYA

1. Biaya-biaya untuk keperluan rumah tangga, untuk mendidik dan memelihara anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka dipikul oleh PIHAK PERTAMA.
2. Pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan tersebut di atas yang dilakukan oleh PIHAK KEDUA, dianggap telah dilakukan dengan persetujuan dari PIHAK PERTAMA.
3. Utang-utang maupun tagihan-tagihan dari pihak lain yang timbul dari biaya-biaya tersebut di atas, harus ditanggung dan wajib dibayar oleh PIHAK PERTAMA, dan PIHAK KEDUA tidak dapat ditagih atau digugat mengenai hal tersebut.

Pasal 6
BERAKHIR/PERHITUNGAN MENURUT HUKUM

1. Pakaian-pakaian dan perhiasan-perhiasan yang ada pada Para Pihak, pada saat berakhirnya perkawinan atau pada waktu diadakan perhitungan menurut hukum, dianggap sebagai milik pihak yang memakainya atau dianggap dimiliki oleh yang biasa memakai barang-barang tersebut, sehingga terhadap barang-barang tersebut tidak akan diadakan perhitungan.     
2. Segala macam barang-barang untuk keperluan rumah tangga termasuk pula perabot-perabot makan, minum, tidur yang ada di dalam rumah kedua belah pihak pada saat berakhirnya perkawinan atau pada saat diadakan perhitungan menurut hukum, dianggap miliknya PIHAK KEDUA, sehingga terhadap barang-barang tersebut, tidak akan diadakan perhitungan.    

Pasal 7
LAIN-LAIN

Bahwa selain daripada pakaian dan barang-barang perhiasan, mereka masing-masing (yang menurut keterangan Para Pihak tidak perlu diuraikan lebih lanjut dalam akta ini), tidak membawa sesuatu apa pun dalam perkawinan yang harus ditulis dalam akta ini.

Pasal 8
DOMISILI

Untuk akta ini dan segala akibatnya serta pelaksanaannya, memilih tempat tinggal yang umum dan tetap di kantor Panitera Pengadilan Negeri _____ di _____ .

DEMIKIANLAH AKTA INI

Dibuat dan diselesaikan di _____ , pada hari, tanggal, bulan, dan tahun seperti tersebut pada awal akta ini, dengan dihadiri oleh: _____ , _____ .
Keduanya karyawan kantor Notaris, dan bertempat tinggal di _____, sebagai para saksi.

Setelah akta ini selesai dibacakan oleh saya, Notaris, kepada para penghadap dan para saksi, maka segera para penghadap, para saksi dan saya, Notaris, menandatangani akta ini.

Dilangsungkan dengan tanpa perubahan, penggantian, dan penambahan.

PIHAK PERTAMA                                                 PIHAK KEDUA

_____________                                                 ___________

SAKSI 1                                                             SAKSI 2

_______                                                            _______
                                         NOTARIS
                                         __________




Rabu, 15 November 2017

CONTOH SURAT KUASA BELI

CONTOH SURAT KUASA BELI

SURAT KUASA BELI

Yang bertanda tangan di bawah ini:
N a m a                 
Tempat/tanggal lahir : 
Pekerjaan               : 
A l a m a t               : 

Dengan ini memberikan kuasa kepada:

N a m a                    :  
Tempat/tanggal lahir :
Pekerjaan               : 
A l a m a t               : 

K H U S U S

Untuk dan atas nama serta sah mewakili pemberi kuasa tersebut membeli atas:
Sebidang  tanah pertanian/sawah Hak Milik No. _____ seluas + _____ m2  (_____ meter persegi) yang terletak di _____ .

Untuk keperluan yang diberi kuasa dikuasakan untuk menghadap kepada pejabat yang berwenang diantaranya PPAT dan NOTARIS, memberikan keterangan-ke-terangan, membuat, suruh membuat, menandatangani surat-surat penting/akta jual-beli, membayar atas harga tanah yang dibeli tersebut di atas, meminta kuitansi/tanda terima lainnya, menerima segala sesuatu yang dibeli dari penjual, se-lanjutnya menjalankan apa yang dianggap baik oleh yang diberi kuasa untuk men-cukupi maksud tersebut di atas.
                                            Banda Aceh, 15 November 2015

Penerima Kuasa                                 Pemberi Kuasa



(_____________)                             (________________)
          

Selasa, 14 November 2017

PENGERTIAN PENGANGKUTAN DAN ASAS HUKUM PENGANGKUTAN

PENGERTIAN DAN ASAS HUKUM PENGANGKUTAN

PENGERTIAN DAN ASAS HUKUM PENGANGKUTAN - Pengangkutan adalah kegiatan pemuatan ke dalam alat pengangkut, memindahan ketempat tujuan dengan alat pengangkut dan penurunan dari alat pengangkut baik mengenai penumpang ataupun barang. Jadi dengan kata lain pengangkutan adalah suatu alat untuk memindahkan orang dan barang atau benda ketempat yang lain.[1]
Pengangkutan udara diatur terdapat dalam beberapa ketentuan sebagai berikut:
a.       Perjanjian - perjanjian internasional tentang penerbangan
1.      Perjanjian Warsawa, 12 Oktober 1992.
2.      Perjanjian Penerbangan Internasional Paris, 13 Oktober 1919
3.      Perjanjian Roma (Tahun 1933 dan 1952).
4.      Perjanjian Chicago (Tahun 1944).
b.      Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.
c.       Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab pengangkut Angkutan udara.
Arti hukum pengangkutan bila ditinjau dari segi keperdataan, dapat ditunjuk sebagai keseluruhan peraturan-peraturan, didalam kodifikasi (KUHPerdata, KUHD) serta diluar kodifikasi yang didasarkan atas dan bertujuan untuk mengatur hubungan-hubungan hukum yang terjadi akibat pemindahan orang atau barang-barang dari suatu tempat ke tempat yang lain untuk memenuhi perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian tertentu serta termasuk perjanjian yang memberikan perantara dalam mendapatkan suatu pengangkutan.[2]
Tujuan pengangkutan sendiri mempunyai arti memindahkan orang, dan benda atau barang serta mengantarkan orang atau suatu barang ke tempat tujuan dengan mengutamakan keselamatan dan tiba tepat pada waktunya.[3]
Asas-asas hukum pengangkutan merupakan landasan filosofi yang diklasifikasi menjadi dua, yaitu asas hukum publik dan asas hukum perdata.[4]
PENGERTIAN DAN ASAS HUKUM PENGANGKUTAN

1.        Asas hukum publik.
Landasan Undang-Undang yang lebih mengutamakan kepentingan umum dan kepentingan orang banyak.
2.        Asas hukum perdata.
Asas hukum perdata merupakan landasan hukum yang hanya berlaku serta berguna bagi kedua belah pihak dalam suatu pengangkutan niaga, yaitu antara pihak pengangkut dan pihak pengguna jasa. Asas-asas hukum yang bersifat perdata yaitu sebagai berikut:
1)      Asas perjanjian.
 Perjanjian pengangkutan tidak diharuskan dalam bentuk tertulis, dan cukup dengan kesepakatan para pihak. Akan tetapi untuk menyatakan bahwa perjanjian itu sudah terjadi atau sudah ada harus dibuktikan dan didukung oleh dokumen pengangkutan.
2)      Asas koordinatif.
Para pihak dalam pengngkutan mempunyai suatu kedudukan setara, dan tidak ada pihak yang mengatasu atau membawahi yang lain. Walaupun pengangkut menyediakan jasa dan melaksanakan perintah penumpang, namun pengangkut bukanlan bawahan dari penumpang.
3)      Asas campuran.
Bahwa makna dari pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis pernjajian yaitu pemberi kuasa, penyimpanan barang, dan melakukan pekerjaan dari penumpang atau pemilik barang kepada pengangkut. Adapun ketiga jenis perjanjian ini berlaku pada pengangkutan, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian pengangkutan.
4)      Asas retensi
Retensi mengandung arti bahwa pengangkutan tidak menggunakan hak retensi atau suatu hak yang bertentangan dengan tujuan dan fungsi pengangkutan. Pengangkutan mempunyai kewajiban untuk menyimpan barang atas biaya dari pemiliknya.
5)      Asas pembuktian dan dokumen.
Setiap terjadinya suatu perjanjian pengangkutan harus selalu dibuktikan dengan suatu dokumen pengangkutan, namun apabila tidak ada dokumen pengangkutan berarti perjanjian itu dianggap tidak pernah ada.




[1] Abdulkadir Muhammad, Hukum pengangkutan niaga, Bandung, Citra Aditya, 2008, Hal 5.
[2] Sutino Usman Adji, dkk. Hukum Pengangkutan Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hal. 2.
[3] Abdulkadir Muhammad, Op Cit hal. 16.
[4] Ibid, Hal.13.

Jumat, 14 Juli 2017

Rukun dan Syarat Sahnya Perjanjian Gadai dalam Islam

 Rukun dan Syarat Sahnya Perjanjian Gadai dalam Islam

Rukun dan Syarat Sahnya Perjanjian Gadai dalam Islam - Pada umumnya aspek hukum keperdataan Islam (fiqh mu’ammalah) dalam hal transaksi baik dalam bentuk jual beli, gadai sewa-menyewa ataupun yang semacamnya yang mempersyaratkan rukun dan syarat sah termasuk dalam transaksi gadai. Demikian juga hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi gadai. Hal dimaksud adalah sebagai berikut:
a)      Rukun gadai.
Dalam fikih empat mazhab (fiqh al-madzahib al-arba’ah) diungkapkan rukun gadai adalah sebagai berikut:
1)      Aqid (orang yang berakal)
Aqid adalah orang yang melakukan akad yang meliputi 2 (dua) arah, yaitu (a) Rahin (orang yang menggadaikan barangnya), dan (b) Murtahin (orang yang berpiutang dan menerima barang gadai), atau penerima gadai. Hal dimaksudkan, didasari oleh Sighat, yaitu ucapan berupa ijab qabul (serah-terima antara kedua belah pihak pemberi gadai dan penerima gadai) untuk melaksanakan akad rahn yang memenuhi kriteria syariat Islam, sehingga akad yang dibuat oleh 2 (dua) belah pihak atau lebih harus memenuhi beberapa rukun dan syarat.[1]
2)      Ma’qud ‘alaih (barang yang diakadkan)
Ma’qud ‘alaih meliputi 2 (dua) hal, yaitu (a) marhun (barang yang digadaikan) dan (b) Marhun bihi (dain), atau barang yang dikarenakannya diadakan akad rahn.[2] Namun demikian, ulama fikih berbeda pendapat mengenai masuknya shighat sebagai rukun dari terjadinya rahn. Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa shighat tidak termasuk sebagai rukun rahn, melainkan ijab (pernyataan menyerahkan barang sebagai agunan bagi pemilik barang) dan qabul (pernyataan kesediaan dan memberi utang dan menerima barang agunan tersebut).
Di samping itu, menurut ulama Hanafi untuk sempurna dan mengikatnya akad rahn masih diperlukan apa yang disebut penguasaan barang oleh kreditor (al-qabdh), sementara kedua pihak yang melaksanakan akan dan harta yang dijadikan agunan atau objek jaminan. Dalam pandangan ulama Hanafi lebih tepat dimasukkan sebagai rahn bukan rukun rahn.
b)     Syarat-syarat sah gadai.
Selain rukun yang harus terpenuhi dalam transaksi gadai, maka dipersyaratkan juga syarat-syarat gadai sebagaimana dimaksud yang terdiri atas 1. shighat, 2. pihak-pihak yang berakad cakap menurut hukum, 3. utang (marhun bih), dan 4. marhun.
1)      Shighat
Syarat shighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan waktu yang akan datang, misalnya orang yang menggadaikan hartanya mempersyaratkan tenggang waktu habis dan utang belum terbayar sehingga pihak penggadai dapat diperpanjang satu bulan tenggang waktunya, kecuali jika syarat itu mendukung kelancaran akad maka diperbolehkan. Sebagai contoh, pihak penerima gadai meminta supaya akad itu disaksikan oleh dua orang saksi.
2)      Pihak-pihak yang berakad cakap menurut hukum
Pihak-pihak yang berakad cakap menurut hukum mempunyai pengertian bahwa pihak rahin dan marhun cakap melakukan perbuatan hukum yang ditandai dengan aqil-baliq, berakal sehat dan mampu melakukan akad. Menurut sebagian pengikut ulanma Abu Hanifah memperbolehkan anak-anak yang mummayiz untuk melakukann akad karena dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Syarat orang yang menggadaikan (ar-rahin) dan orang yang menerima gadai adalah cakap bertindak dalam kacamata hukum, lain halnya menurut mayoritas ulama, orang yang masuk dalam kategori ini adalah orang yang telah baligh dan berakal. Sedangkan menurut mazhab Hanafi kedua belah pihak tidak diisyaratkan baligh, melainkan cukup berakal saja, oleh karena itu mazhab hanafi anak kecil yang mumayyiz yang sudah dapat membedakan suatu perbuatan baik dan buruk, maka ia dapat melakukan akad rahn dengan syarat akad rahn yang dilakukan mendapat persetujuan dari walinya.
3)      Utang (Marhun bih)
Utang (marhun bih) mempunyai pengertian bahwa: (a) utang adalah kewajiban bagi pihak berutang untuk membayar kepada pihak yang memberi piutang, (b) merupakan barang yang dapat dimanfaatkan, jika tidak bermanfaat maka tidak sah, (c) barang tersebut dapat dihitung jumlahnya.
4)      Marhun
Marhun adalah harta yang dipegang oleh murtahin (penerima gadai) atau wakilnya sebagai suatu jaminan utang. Para ulama menyepakati bahwa syarat yang berlaku pada barang gadai adalah syarat yang berlaku pada barang yang dapat diperjual-belikan, yang ketentuannya adalah:[3]
a)      Agunan itu harus bernilai dan dapat dimanfaatkan menurut ketentuan syariat Islam. Sebaliknya agunan yang tidak bernilai dan tidak dapat dimanfaatkan menurut syariat Islam maka tidak dapat dijadikan agunan.
b)      Agunan harus dapat dijual dan nilainya seimbang dengan besarnya utang.
c)      Agunan itu harus jelas dan tertentu (harus dapat ditentukan secara spesifik).
d)     Agunan itu sah milik pemberi gadai.
e)      Agunan itu tidak terikat dengan hak orang lain (bukan milik orang lain, baik sebagian maupun seluruhnya).
f)       Agunan tersebut harus berupa harta yang utuh dan tidak berada dibeberapa tempat.
g)      Agunan itu dapat diserahkan kepada pihak lain, baik itu materi maupun manfaatnya.
Syarat-syarat gadai yang diungkapkan diatas menggambarkan secara umum mengenai syarat-syarat rahn. Namun pada kenyataanya, para ulama tidak sepakat dalam memberikan syarat-syarat rahn, sehingga terjadi perkembangan dalam berbagai versi yang menyangkut kategori yang dapat dimasukkan sebagai syarat-syarat rahn. Adapun syarat-syarat rahn yang dimaksudkan akan dikemukakan pendapat dari para imam mazhab sebagai berikut:
a)      Pendapat ulama mazhab Maliki
Pendapat ulama dari kalangan mazhab Imam Malik berkenaan dengan syarat-syarat rahn terdiri dari 4 (empat) bagian sebagai berikut:[4]
a.       Bagian yang berkaitan dengan kedua belah pihak yang melakukan akad, yaitu pihak rahin dan pihak murtahin. Syarat ini mengharuskan bahwa kedua belah pihak yang terlibat dalam transaksi hukum gadai harus adanya 2 (dua) orang yang memenuhi keabsahan akad dalam jual beli yang tetap (mengikat). Jika akad dilakukan oleh seorang anak yang masih mumayyiz, maka salah satunya dan/atau keduanya maka akadnya tetap sah tetapi tidak mengikat. Kecuali, jika anak mummayyiz yang melakukan akad tersebut diizinkan oleh walinya.
b.      Bagian yang berkaitan dengan marhun (barang gadai). Syarat ini mengharuskan barang yang digadaikan adalah barang yang juga sah bila diperjualbelikan. Oleh karena itu, tidak boleh menggadai barang-barang yang tidak suci (najis) dan barang-barang lainnya yang dalam hukum jual beli juga dilarang.
c.       Bagian yang berkaitan dengan marhun bihi (uang yang dipinjamkan). Syarat ini mengharuskan utang sudah tetap, baik pada saat itu maupun di masa yang akan datang. Adapun hal yang dimaksudkan dalam hal ini dapat diungkapkan sebagai contoh tentang sahnya akad gadai pada al-ju’lu (pengupahan), yakni pemberian upah dari seseorang kepada orang lain atas jasanya.
d.      Bagian yang berkaitan dengan akad. Hal yang dimaksudkan adalah mengharuskan bahwa akad gadai hendaknya tidak menetapkan suatu syarat yang bertentangan dengan tujuan gadai. Misalnya akad gadai yang menghendaki marhun harus dijual jika orang yang menggadaikan (rahin) tidak melunasinya.
Semua persyaratan rahn yang ditentukan oleh mazhab Maliki di atas, berdasarkan pada asas setiap barang yang sah untuk diperjual-belikan, maka sah pula digadaikan.[5]
b)      Pendapat ulama mazhab Hanafi
Ulama dari mazhab Hanafi berpendapat bahwa syarat gadai terbagi atas 3 (tiga), yaitu:
a.       Syarat terjadinya akad rahn, yakni (1) marhun (barang gadai), yang berupa harta benda, dan (2) marhun bihi (utang), yang merupakan sebab terjadinya gadai.
b.      Yang berkaitan dengan syarat-syarat sahnya akad rahn, yaitu (1) hendaknya berkaitan dengan syarat yang tidak dikehendaki oleh akal, (2) tidak didasarkan pada waktu tertentu, (3) marhun(barang gadai) dapat dibedakan dari lainnya, (4) marhun (barang gadai) berada dalam kekuasaan penerima gadai, setelah diterima olehnya (al-qabdh), (5) marhun  (barang gadai) benar-benar kosong, (6) marhun (barang gadai) bukanlah barang yang bernajis (tidak suci), dan (7) marhun (barang gadai) bukan termasuk barang yang tidak bisa diambil manfaatnya,
c.       Syarat tetapnya akad rahn. Akad rahn telah tetap bilamana marhun (barang gadai) diterima oleh murtahin (penerima gadai) dengan terjadinya ijab dan qabul.

c)      Pendapat ulama mazhab Imam Maliki dan Syafi’i
Pendapat ulama dari mazhab Imam Maliki dan Imam Syafi’i yang hanya menekankan ketentuan perihal gadai yang mempersyaratkan keabsahan barang gadai berdasarkan keabsahan barang yang diperjual-belikan. Pengikut dari kedua mazhab yang dimaksud mengatakan bahwa segala sesuatu yang dapat diterima atau dijual, dapat digadaikan, dihibahkan, atau disedekahkan. Karena itu, menurut mereka barang-barang seperti hewan ternak, hewan melata, hamba sahaya (budak), dinar, dirham, tanah, dan barang-barang lainnya selama itu halal diperjual-belikan, maka halal pula digadaikan.[6]
Pendapat dari kalangan ulama Imam Syafi’i menekankan bahwa barang gadai harus berbentu barang yang berwujud, jika tidak demikian maka gadainya menjadi tidak sah. Oleh karena itu, menggadaikan manfaat benda seperti gadai menepati rumah sebagai jaminan, menurut pendapat mereka tidak sah.[7] Karena itu pada umumnya baik pada mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali menyepakati bahwa syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad gadai sehingga syarat tersebut diperbolehkan. Namun, bila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad rahn maka syarat yang demikian menjadi batal.




[1] Zainuddin Ali, Op.cit., hal 20.
[2] Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh ‘ala Al-Madzahib, hal 296.
[3] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Wacana Ulama dan Cendikiawan, Jakarta, Bank Indonesia dan Tazkia Institute, 2001, hal 21.
[4] Abdurrahman Al-Jaziri, Op.Cit., hal 296-298
[5] Abdurrahman Al-Jaziri, Ibid., hal 296-298.
[6] Abi Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Al-Umm, Beirut, Dar Al-Kutub, Jilid III, hal 169.
[7] Abdurrahman Al-Jaziri, Op.Cit., hal 303.