Tampilkan postingan dengan label hukum adat indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukum adat indonesia. Tampilkan semua postingan

Minggu, 22 Oktober 2017

Asas-Asas Dalam Peradilan Adat di Aceh

Asas-Asas Dalam Peradilan Adat di Aceh - Asas adalah suatu tatanan nilai-nilai sosial yang menduduki tngkatan yang tertinggi dari suatu sistem hukum serta tidak boleh disampingkan dari dan oleh suatu sistem hukum dengan bentuk apapun. Pada suatu sistem hukum adat yang hidup dalam kehidupan masyarakat adat Aceh diketahui terdapat sejumlah asas-asas yang pada umumnya dapat diterima oleh berbagai sistem hukum lainnya. Adapun asas-asas yang asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Asas terpercaya atau sering disebut dengan amanah (Acceptability).
Asas terpercaya (amanah) artinya suatu peradilan adat yang dilaksanakan oleh lembaga adat dalam kehidupan masyarakat adat dapat dipercayai oleh seluruh masyarakat adat.
2.      Asas Tanggung Jawab/Akuntabilitas (accountability).
Pada prinsip ini yang menjadi poin penting adalah suatu mekanisme pertanggung jawaban dalam pelaksanaan suatu peradilan adat dimana pada tiap penyelesaian suatu sengketa adat di dalam peradilan adat. Hasil dari suatu putusan ini harus dapat dipertanggung jawabkan di depan para pihak yang bersengketa, masyarakat yang menyaksikan, negara dan Allah SWT (Tuhan) selaku sang pencipta.
3.      Asas kesetaraan di depan hukum (equality before the law).
Suatu peradilan adat tidak boleh adanya unsur-unsur pembedaan kepada para pihak, di mana didalamnya terdapat suatu kesetaraan dalam hukum pada setiap Individu. Adapun Tujuan utama adanya Equality before the law adalah menegakkan keadilan dimana persamaan kedudukan berarti hukum sebagai satu entitas tidak membedakan siapapun yang meminta keadilan kepadanya.
4.      Asas cepat, mudah dan biaya murah (accessibility to all citizens).
Tiap-tiap putusan sengketa atau perkara yang berada pada peradilan adat haruslah dapat di jangkau oleh masyarakat adat baik menyangkut dari segi biaya, waktu dan prosedur tahapan beracara di peradilan adat.
5.      Asas ikhlas dan sukarela (voluntary nature).
Suatu keadilan adat tidak boleh memaksa para pihak untuk menyelesaikan perkaranya melalui peradilan adat, dengan kata lain. Jika para pihak ingin menyelesaikan perkara (sengketa) melalui jalur peradilan adat maka terlebih dahulu para pihak yangbersengketa haruslah benar-benar sepakat (tidak ada paksaan) untuk menyelesaikan perkara melalui jalur peradilan adat.
6.      Asas penyelesaian sengketa secara damai dan rukun (peaceful resolution).
Asas ini bertujuan hasil dari suatu putusan adat dapat mendamaikan lagi para pihak yang bersengketa dan menciptakan kembali rasa keseimbangan, keharmonisan dan kedamaian saat perkara adat itu dianggap selesai.
7.      Asas musyawarah atau mufakat (consensus).
Tiap seluruh proses peradilan adat
8.      Asas keterbukaan untuk umum (transparancy).
Pada asas ini menganjurkan untuk semua proses peradilan (kecuali untuk kasus-kasus tertentu) baik itu tahapan awal mulai penerimaan pengaduan, pemanggilan saksi, persidangan sampai pengambilan dan pembacaan putusan atau tahapan akhir persidangan peradilan adat haruslah dilaksanakan secara terbuka.
9.      Asas jujur dan kompetensi(competence/authority)
Asas jujur dan kompetensi sangat menekankan seorang ketua adat agar tidak mengambil suatu keuntungan dari sagala bentuk apapun baik itu bersifat material ataupun non material dari suatu penanganan perkara.
10.  Asas Keberagaman (pluralism)
Suatu peradilan adat haruslah menghargai keberagaman peraturan hukum yang terdiri dari berbagai sistem hukum adat dan berlaku dalam suatu masyarakat adat tertentu.
11.  Asas Praduga tak bersalah (presumption of innocence)
Dalam peradilan adat tidak mengenal adanya suatu tindakan main hakim sendiri. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan adat, juga wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan adat  yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
12.  Asas Berkeadilan (propotional justice)

Suatu putusan peradilan adat haruslah bersifat adil dan diterapkan berdasarkan pedoman-pedoman yang sesuai dengan parahnya suatu perkara dan keadaan ekonomi dari para pihak. 

Selasa, 11 Juli 2017

HUKUM PERJANJIAN ADAT

Ilustrasi Hukum Perjanjian Adat

Hukum Perjanjian Adat - Menurut Hilman Hadikusuma, yang dimaksud dengan hukum perjanjian adat adalah hukum yang meliputi uraian tentang hukum perhutangan (schuldenrecht) adapun termasuk di dalamnya meliputi soal ataupun mekanisme-mekanisme transaksi atas tanah (groundtransakties) dan transaksi-transaksi yang menyangkut tanah (transaksi waarbij ground betrokkenis).
Dalam hukum perhutangan (schuldenrecht) dalam hukum adat menyangkut:[1]
a.       Beri-memberi.
b.      Pakai-memakai.
c.       Pinjam-meminjam.
d.      Tanggung-menanggung.
e.       Tukar-menukar.
f.       Jual-beli.
g.      Titip-menitip.
h.      Urus-mengurus.
i.        Sewa-menyewa.
j.        Kerja-mengerjakan.
Terhadap perjanjian yang menyangkut tanah antara lain menurut hukum adat adalah:
a)      Perjanjian bagi-hasil.
b)      Perjanjian sewa-menyewa.
c)      Perjanjian berganda.
d)     Perjanjian pinjam-meminjam dengan jaminan tanah.
e)      Perjanjian semu (simulasi).
Hukum perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan hukum perjanjian adat mempunyai perbedaan-perbedaan. Perbedaan ini disebabkan oleh latar belakang alam pikiran kebudayaan masyarakat yangmelahirkan hukum yang berasal dari dasar kejiwaanya. Hukum perjanjian barat bertitik tolak pada dasar kejiwaan kepentingan perseorangan yang bersifat kebendaan, sedangkan hukum perjanjian adat bertitik tolak pada dasar kejiwaan kekeluargaan dan kerukunan serta bersifat tolong-menolong. Di samping itu perjanjian menurut hukum barat menerbitkan perikatan, sedangkan perjanjian menurut paham adat untuk mengikatnya perjanjian harus adanya tanda pengikat dan kemudian perjanjian menurut hukum adat tidak selamanaya menyangkut hubungan hukum mengenai harta benda, tetapi juga menyangkut dengan perjanjian selain kebendaan. Perbedaan yang lainnya terletak pada sifat dari suatu perjanjian.
Menurut Mahadi yang menyatakan perjanjian adat tidak hanya bersifat konsensual saja tetapi juga bersifat kongkrit, oleh karena itu kata-kata saja belum dapat mengikat persesuaian paham, akan tetapi harus bersifat kongkrit.[2] Sedangkan menurut Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa hukum adat tidak mengenai perbedaan antara benda-benda tetap dan benda-benda bergerak, tetap atau tidak tetapnya suatu benda dilihat dari kemungkinan dan keadaannya.[3] 




[1] A. Malik, Perjanjian “Gala” dalam Masyarakat Hukum Adat Aceh di Kecamatan Lhoknga/Leupung Kabupaten DATI II Aceh Besar, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 1997, hal 33.
[2] Mahadi, Soal Dewasa, cetakan ke II, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, Medan, 1991, hal 140.
[3] Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, Hal 6.