A.
PENGERTIAN
PERJANJIAN GADAI
Gadai
merupakan suatu praktik ekonomi yang telah berada sejak lama dalam kehidupan
bermasyarakat di Indonesia. Istilah gadai diperkenalkan oleh Van Vollenhoven,
menurutnya gadai merupakan suatu perjanjian tanah untuk menerima sejumlah uang
secara tunai dengan permufakatan bahwa si penyerah gadai berhak memperoleh
kembali hak atas kembalinya barang yang digadaikan apabila telah membayarkan
sejumlah uang yang sama kepada pihak penerima gadai.[1]
Selain
Van Vollenhoven, pengertian gadai menurut beberapa sarjana yang lain adalah
sebagai berikut:
a) Ter
Haar berpendapat gadai tanah merupakan suatu perjanjian yang menyebabkan bahwa
tanah yang diserahkan untuk mendapatkan sejumlah uang tunai, dengan pemufakatan
bahwa pihak penyerah berhak mengembalikan tanah itu ke dirinya sendiri dengan
jalan membayar sejumlah uang yang sama.
b) Soerojo
Wignjodipuro menjelaskan bahwasanya gadai adalah penyerahan kontan disertai
ketentuan, bahwa yang menyerahkan tanah mempunyai hak mengambil kembali tanah
itu dengan pembayaran uang yang sama jumlahnya.
c) A.
Fauzi Ridwan, pengertian gadai adalah suatu transaksi (penyerahan) tanah kepada
pihak lain (pemegang gadai) dengan menerima sejumlah uang pembayaran dengan
tunai, dengan perjanjian bahwa pemberi gadai yang menyerahkan tanah berhak
menarik kembali tanah itu dengan jalan menebus pembayaran di atas.
Di dalam hukum tanah adat istilah
menjual gadai ini tidak sama pengertian dengan istilah menjual lepas, menjual
tahunan, walaupun ketiga jenis ini merupakan transaksi tanah yang bersifat riil di dalam hukum harta kekayaan. Pada
prinsipnya pemilik tanah yang melakukan transaksi gadai tidak menginginkan
pelepasan tanahnya itu kepada pihak lain, melainkan pada suatu saat tertentu
pihak pemilik tanah dapat menebus hak atas tanah tersebut dengan syarat
membayar kembali uang tebusan yang diterimanya dahulu. Adanya penebusan kembali
ini merupakan salah satu ciri jual gadai yang artinya sebelum ditebus tanah
yang bersangkutan berada dalam penguasaan pemegang gadai.
Kata gadai memperoleh berbagai macam
sebutan di dalam kehidupan masyarakat adat di Indonesia, dimisalakan saja pada
daerah Medan disebut dengan menggadai,
di Minangkabau disebut dengan nama manggadai,
di Riau dan Jambi disebut dengan menjual
gade, di Jawa disebut dengan odol
sende, di Sunda diberi sebutan dengan jual
sande, di Pariangan, Bogor, Purwokerto Selatan dan Kuningan memakai istilah
akad, gade, jual akad atau tandon, di Jakarta, Cirebon dikenal
dengan istilah gade dan pada
masyarakat Aceh pada umumnya mengenal dengan istilah gala[2]
Dalam
penerapan asas-asas hukum adat tidaklah bersifat mutlak, pada prakteknya
sendiri selalu memperhatikan dan disesuaikan dengan perkembangan, kenyataan dan
kebutuhan dalam suatu kehidupan bermasyarakat. Dalam suatu perjanjian gala ditemukan asas-asas umum dalam
transaksi gala sebagai berikut:[3]
a) Asas
Tolong-menolong.
b) Asas
Kepercayaan.
c) Asas
konsesualisme dan kongkrit (Riil),
dan.
d) Asas
Musyawarah.
1.
Obyek
Gala (Gadai)
Sesuatu
yang menjadi objek gadai dalam masyarakat adat mencakup tanah dan benda lain
selain tanah yang dianggap berharga. Menurut R. Subekti dalam makalahnya pada
seminar Hukum Jaminan Nasional 1978, dengan judul Suatu Tinjauan Tenatang hukum
Jaminan Nasional dikatakan bahwa istilah gadai mempunyai arti yang sangat luas,
menurut hukum adat arti asli dari gadai ini bisa ditunjukan kepada tanah dan
bukan tanah. Selanjutnya dikatakan bahwa pada umumnya orang Indonesia sudah
terbiasa mengatakan sawah, rumah dan perabotan telah digadaikan meskipun objek
yang digadaikan masih dipakai terus menerus.
Soerojo
Wignjodipuro, mengatakan bahwa objek gadai pada umumnya tanah tetapi dapat
dipersamakan pula dengan tanah adalah kolam ikan, rumah dan pekaranganyanya
serta pohon-pohon, buah-buahan beserta kebunnya.[4]
Pengertian
tanah sebagai objek gadai dalam hukum adat termasuk di dalamnya adalah tambak
ikan,[5]
dan juga pohon-pohon, rumah-rumah dapat menjadi objek gadai apabila yang
digadaikan bersama-sama dengan halamannya.
Soekanto
selanjutnya mengatakan bahwa dalam hukum tanah adat yang dapat menjadi suatu
objek dalam perjanjian gadai adalah tanah, selain tanah yang dapat dijadikan
objek perjanjian gadai adalah kolam, tambak, kebun dan barang-barang yang
bersifat religio magis misalkan
jimat, keris yang dapat dijadikan sebagai suatu objek gadai.[6] Maka
berdasarkan pendapat tersebut, yang dapat dijadikan sebagai objek dalam suatu
perjanjian gadai itu boleh tanah atau objek yang berupa selain tanah.
Berdasarkan
pendapat beberapa para ahli dapat disimpulkan bahwa objek dari perjanjian gadai
dapat berupa tanah dan selain tanah berupa benda-benda berharga lainnya. Namun,
dalam perjanjian gala pada masyarakat
adat Aceh pada umumnya gala dilakukan
pada objek tanah, akan tetapi tidak menutup kemungkinan benda-benda yang lain
juga dapat dijadikan sebagai objek dari suatu perjanjian gala (gadai).
2.
Hak
dan kewajiban bagi Pihak Pemberi dan Pemegang Gadai
Hak gadai timbul dari perjanjian yang
mengikuti perjanjian pokok yaitu perjanjian utang piutang, dari hubungan utang
piutang ini akan menimbulkan hubungan hukum gadai yang mengakibatkan perikatan
antara penerima gadai dan pemberi gadai. Perikatan ini menimbulkan hak dan
kewajiban timbal-balik sebagaimana diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal
1160 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.[7]
Selama perjanjian gadai berlangsung, pemberi gadai dan penerima gadai tidak
lepas dari hak dan kewajibannya masing-masing sebagai bentuk pertanggung
jawaban atas benda gadai.
a. Hak-hak
pemberi gadai:[8]
1) Pemberi
gadai berhak untuk menuntut apabila barang itu telah hilang atau mundur sebagai
akibat dari kelalaian pemegang gadai.
2) Pemberi
gadai berhak untuk mendapatkan pemberitahuan terlebih dahulu dari pemegang
gadai apabila barang gadai akan dijual.
3) Pemberi
gadai berhak mendapatkan kelebihan atas penjualan barang gadai setelah
dikurangi dengan pelunasan hutangnya.
4) Pemberi
gadai berhak mendapatkan kembali barang yang digadaikan apabila hutangnya telah
dibayar lunas (ditebus).
b. Kewajiban
pemberi gadai:[9]
1) Pemberi
gadai menyerahkan barang yang dipertanggungkan sampai pada waktu hutang
dilunasi, baik mengenai jumlah pokok maupun bunga.
2) Pemberi
gadai bertanggung jawab atas pelunasan hutangnya, terutama dalam hal penjualan
barang yang digadaikan.
3) Pemberi
gadai berkewajiban memberikan ganti kerugian atas biaya yang telah dikeluarkan
oleh pemegang gadai untuk menyelamatkan atas barang yang digadaikan.
4) Apabila
telah diperjanjikan sebelumnya, pemberi gadai harus menerima jika pemegang
gadai, menggadaikan kembali barang yang digadaikan tersebut.
c. Hak
Pemegang/penerima Gadai:[10]
1) Menjual
dengan kekuasaan sendiri (parate
eksekusi).
Yang dimaksud dengan parate eksekusi adalah suatu wewenang
yang diberikan kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutang dari kekayaan
debitur tanpa memiliki eksekutorial titel.
Dalam hal pemberi gadai melakukan wanprestasi tidak memenuhi kewajiban setelah
jangka waktu yang ditentukan itu telah terlampaui apabila oleh semua pihak
tidak ditentukan lain atau diperjanjikan lain atau jika tidak ditentukan
sesuatu, maka pihak berpiutang atau pemegang gadai berhak untuk menjual atas
kekuasaan sendiri benda gadai.
Hak pemegang gadai ini
tidak lain dari perjanjian yang secara tegas dinyatakan oleh para pihak, akan
tetapi demi hukum kecuali kalau diperjanjikan lain. Hak pemegang untuk menjual
barang atas kekuasaanya sendiri ini tidak tunduk pada aturan umum tentang
eksekusi yang diatur secara khusus. Dalam sistem gadai, penjualan barang harus
dilakukan dimuka umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat dan berdasarkan atas
syarat-syarat yang lazim berlaku kemudian dari hasil penjualan tersebut diambil
untuk dilunasi hutang debitur, bunga dan biasanya dikembalikan kepada debitur
sesuai dengan apa yang telah disebutkan di dalam Pasal 1155 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
2) Hak
menjual barang gadai dengan perantara hakim.
Penjual benda gadai untuk mengambil
pelunasan dapat juga terjadi jika pihak berpiutang menuntut di muka hakim
supaya barang gadai dijual menurut cara yang ditentukan hakim untuk melunasi
hutang beserta bunga dan biaya, hasil penjualan digunakan untuk melunasi hutang
pemberi gadai. Jika terdapat kelebihan maka dikembalikan kembali kepada pemberi
gadai tetapi jika hasil penjualan tidak bisa digunakan melunasi hutang atau
terdapat kekurangan maka hal tersebut menjadi tanggung jawab pihak penerima
gadai.
3) Atas
izin hakim tetap menguasai benda gadai.
Jika pihak berpiutang atau pemegang
gadai dapat menuntut agar barang gadai tetap berada pada pihak pemegang gadai
untuk suatu jumlah yang akan ditetapkan dalam vonis hingga sebesar piutangnya
beserta bunga dan biaya (Pasal 1156 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
4) Hak
untuk mendapatkan ganti-rugi.
Pemegang gadai berhak untuk mendapat
ganti rugi berupa biaya yang perlu dan berguna yang telah dikeluarkan oleh
pihak berpiutang atau pemegang gadai untuk menyelamatkan benda gadai tersebut.
5) Hak
retensi (recht van terughoudeng).
Selama pemegang gadai tidak menyalahkan
gunakan barang yang diberikan dalam gadai
maka pihak berpiutang sepenuhnya baik uang pokok maupun bunga dan biaya
hutangnya yang untuk menjamin barang gadai telah diberikan beserta biaya-biaya
yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang-barang gadai.
6) Hak
didahulukan (recht van worrang).
Kreditur atau pemegang gadai mempunyai
hak untuk didahulukan pemenuhan tagihan-tagihan lainnya, baik itu terhadap
hutang pokok, bunga, dan biaya-biaya lainnya (Pasal 1150 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata), hak tersebut dapat dilihat dari kreditur atau pegang gadai
untuk menjual barang gadai atas kekuasaan pemegang gadai sendiri maupun melalui
bantuan hakim (Pasal 1155 dan Pasal 1156 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Terhadap hak yang diduhulukan ini ada pengendaliannya yaitu biaya lelang dan
biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang gadai tersebut.
d. Kewajiban
pemegang atau spenerima gadai:
1) Pemegang
gadai bertanggung jawab untuk hilangnya atau kemunduran harga barang gadai jika
itu terjadi akibat kesalahan atau kelalaian pemegang gadai (Pasal 1157 ayat 1
Kitab- Undang-undang Hukum Perdata).
2) Kewajiban
untuk memberitahukan pihak pemberi gadai jika barang gadai (agunan) dijual.
Kewajiban memberitahukan ini selambat-lambatnya pada hari berikutnya,
pemberitahuna kepada pemberi gadai adalah perwujudan dari asas-asas itikad baik
yaitu untuk mencegah pemegang gadai menjual benda gadai secara diam-diam.
3) Pemegang
gadai harus memberikan perhitungan tentang pendapatan dari penjualan barang
gadai dan setelah ia mengambil pelunasan hutangnya maka harus menyerahkan
kelebihannya kepada debitur.
4) Pemegang
gadai harus mengembalikan barang gadai apabila utang pokok, bunga dan biaya
untuk menyelamatkan barang gadai telah dibayar lunas.
3.
Berakhirnya
Waktu Gadai
Pada umumnya berakhirnya perjanjian
gadai terjadi apabila pihak pemberi gadai menebusnya dengan membayar kembali
sejumlah uang yang telah diterima terlebih dahulu kepada pihak penerima gadai
maka saat itulah perjanjian gadai berakhir. Terdapat beberapa pendapat sarjana
diantaranya adalah: Ter Haar mengemukakan bahwa pada saat uang gadai itu
diterima kembali, maka pada saat itulah berakhirnya hak penguasaan objek gadai
pada pihak penerima gadai.[11]
Selanjutnya Van Dijk mengatakan bahwa berakhirnya gadai apabila sesudah
penebusan gadai itu kembali menjadi hak milik penuh dari pihak pemberi gadai.[12]
Berakhirnya gadai karena diperjanjikan
yaitu dalam perjanjian disebutkan jangka waktu berakhirnya gadai artinya kalau
pihak pemberi gadai tidak menebusnya maka pihak penerima gadai berhak
menuntutnya melalui jalur hukum apakah dengan tidak ditebusnya objek gadai itu
menjadi milik pihak penerima gadai sebagaimana yang telah diperjanjikan dalam
surat perjanjian yang dilanjutkan dengan penetapan hakim maka dengan demikian berakhirlah
hubungan gadai. Dalam hal ini Soekanto mengemukakan bahwa bebeapa tempat sering
kali terdapat kejadian pemberi gadai tidak mengembalikan uang untuk menebus
dalam jangka waktu yang telah diperjanjikan maka objek gadai (agunan) menjadi
milik penerima gadai.[13]
Soerojo wignjodipuro mengatakan bahwa
dalam suatu transaksi perjanjian gadai biasanya disertai dengan perjanjian
tambahan yang memuat klausula apabila objek gadai (agunan) tidak ditebus dalam
masa yang dijanjikan, maka objek gadai (agunan) menjadi milik pihak penerima
gadai.[14]
Di samping itu dimungkinkan juga objek gadai (agunan) tersebut dijual jika
uangnya kurang ditambah dan jika lebih maka harus dikembalikan lagi kepada
pemberi gadai.
Ter Haar mengatakan bila pihak pemberi
gadai tidak mampu menebus, maka pihak penerima gadai dapat menuntut supaya
tanah diserahkan kepadanya dengan “hak milik” atau mungkin tambahan bayaran
bila uang gadainya lebih rendah dari pada harga penjualan objek gadai (agunan)
tersebut. Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa kalau dalam suatu hubungan
gadai tentang tanah ditetapkan suatu tenggang waktu untuk menebus.
Berakhirnya gadai karena penyerahan
secara sukarela baik oleh pihak penerima gadai dengan pertimbangan bahwa selama
berlangsungnya gadai sudah memperoleh kembali uang yang telah diberikan oleh
pihak pemberi gadai atau pihak penerima gadai menyerahkan dengan suka rela
objek gadai (agunan) kepada pihak pemberi gadai. Di samping itu ada juga
pemberi gadai karena tidak sanggup menebusnya kembali maka dengan suka rela
pihak pemberi gadai menyerahkan tanah tersebut kepada pihak penerima gadai
dengan cara memperhitungkan harga tanah kalau uangnya lebih akan dikembalikan
lagi kepada pemilik tanah, maka dengan hal tersebut berakhirnya hubungan gadai
antara kedua belah pihak.
Berakhirnya gadai akibat bencana alam
atau lainnya apabila objek gadai itu musnah karena bencana alam misalnya
banjir, gempa bumi, tsunami, longsor dan sebab yang lainnya maka hubungan gadai
akan berakhir dan pihak peneri gadai tidak berhak memintakan uang gadainya
kembali dari penggadai, jika objek gadai (agunan) tersebut musnah hanya
sebahagian saja dari tanah yang digadaikan maka hubungan hukum jual gadai
antara kedua belah pihak masih berlanjut.[15]
Berakhirnya waktu gadai karena penetapan
Pasal 7 Perpu 56 tahun 1960, dengan keluarnya perpu tersebut maka batas waktu
gadai sudah ditentukan batas waktunya yaitu barang siapa yang menguasai tanah
pertanian dengan hak gadai pada waktu berlakunya peraturan ini apabila sudah
berlangsung 7 (tujuh) tahun atau lebih harus mengembalikan kepada pemiliknya
dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada
hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan. Terhadap hak gadai yang berlakunya
peraturan ini belum berlangsung 7 (tujuh) tahun maka pemilik tanah berhak
meminta kembali setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen dengan
membayar uang tebusan yang besarnya dihitung menurut rumus: (7 + ½ - waktu
berlangsungnya hak gadai X uang gadai). Ketentuan ini merupakan perubahan dari
pada ketentuan atau kebiasaan yang terjadi dalam gadai tanah menurut hukum adat
karena dalam hukum adat bahwa lampaunya waktu gadai tidak mengakibatkan
berakhirnya hubungan gadai.
Rachmadi Usman menyebutkan di dalam
Kitab Undang-undang Hukum perdata tidak mengatur secara khusus mengenai
sebab-sebab hapus atau berakhirnya hak gadai. Namun demikian dari bunyi
ketentuan dalam pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur
mengenai lembaga hak jaminan gadai sebagaimana diatur dalam pasal 1150 sampai
dengan pasal 1160 KUHPerdata, adapun sebab-sebab yang menjadi dasar hapusnya
hak gadai yaitu:
a. Hapusnya
perjanjian pokok atau perjanjian yang dijamin dengan gadai, hal ini sesuai
dengan sifat perjanjian pemberi jaminan yang merupakan perjanjian accesoir. Artinya ada atau tidaknya hak
gadai itu ditentukan oleh eksistensi perjanjian pokok atau pendahulunya yang
menjadi dasar adanya perjanjian pemberian jaminan. Ketentuan dalam Pasal 1381
Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa suatu perjanjian (perikatan)
hapus karena alasan-alasan sebagai berikut:
1) Pelunasan.
2) Perjumpaan
utang (kompensasi).
3) Pembaharuan
hutang (novasi), dan.
4) Pembebasan
utang.
b. Lepasnya
benda yang digadaikan dari penguasaan kreditor pemegang hak gadai, dikarenakan:
1) Terlepasnya
benda yang digadaikan dari penguasaan kreditor (pemegang gadai) sesuai dengan
ketentuan di dalam Pasal 1152 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hal
ini tidak berlaku bila barang gadaian hilang atau dicuri orang, pemegang gadai
masih mempunyai hak untuk menentunya kembali dan bila barang gadai yang
dimaksud dapat kembali, maka hak gadanya dianggap tidak pernah hilang.
2) Dilepaskannya
benda yang digadaikan oleh pemegang gadai secara sukarela.
3) Hapusnya
benda yang digadaikan.
c. Terjadinya
percampuran, dimana pemegang gadai sekaligus juga menjadi pemilik barang yang
digadaikan tersebut.
d. Terjadinya
penyalahgunaan barang gadai oleh pemegang gadai.
[1] Ter Haar, B, Asas-asas dan
Susunan Hukum Adat (Terj. Soebakti Poesponoto), Pradnya Paramita, Jakarta 1979, hal 13.
[6] Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Suatu
Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat, Rajawali, Jakarta, 1981, hal 85.
[10] Mariam Darus
Badrulzaman, Bab-Bab Tentang
Creditverband, Gadai dan Fiducia, Alumni, Bandung, 1979, hal 59.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar