SIARAN PERS
PAKET KEBIJAKAN EKONOMI
VIII
Kebijakan Satu Peta
Nasional, Kilang Minyak dan Pembebasan Bea Masuk
Suku Cadang Pesawat
Jakarta, 21 Desember
2015
Pemerintah kembali mengumumkan Paket Kebijakan Ekonomi VIII, Senin
(21/12) di Istana Kepresidenan, Jakarta. Paket kebijakan kali ini meliputi tiga
hal, yaitu kebijakan satu peta nasional (one map policy) dengan skala 1:50.000, membangun ketahanan
energi melalui percepatan pembangunan dan pengembangan kilang minyak di dalam
negeri, dan insentif bagi perusahaan jasa pemeliharaan pesawat (maintenance, repair
and overhoul/MRO).
1. Kebijakan
Satu Peta
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasutionyang
membacakan Paket Kebijakan Ekonomi VIII menyatakan, pengembangan kawasan atau
infrastruktur, seringkali terbentur dengan sejumlah masalah terkait pemanfaatan
ruang dan penggunaan lahan. Konflik ini sulit diselesaikan karena Informasi
Geospasial Tematik (IGT) saling tumpang tindih satu sama lain.
Karena itu, kebijakan satu peta yang mengacu pada satu referensi
geospasial, satu standar, satu basis data dan satu geoportal untuk mempercepat
pelaksanaan pembangunan nasional menjadi salah satu prioritas pemerintah. Basis
referensi peta yang sama, juga akan meningkatkan keandalan informasi terkait
lokasi dari berbagai aktivitas ekonomi. Ini akan memberikan kepastian
usaha.Berbagai informasi yang dikompilasi dalam satu peta ini juga bisa
dimanfaatkan untuk sejumlah simulasi, antara lain untuk mitigasi bencana.
Melalui Peraturan Presiden (Perpres) tentang Percepatan
Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta ini, kementerian dan lembaga akan menyiapkan
peta tematik skala 1:50.000 sesuai rencana aksi masing-masing dengan batas
akhir tahun 2019.
Menurut Darmin, kebijakan satu peta ini akan “Mempermudah dan
mempercepat penyelesaian konflik tumpang tindih pemanfaatan lahan, penyelesaian
batas daerah seluruh Indonesia.”
2. Pembangunan Kilang
Minyak
Perhatian pemerintah terhadap ketahanan energi juga diwujudkan
dengan percepatan pembangunan dan pengembangan kilang minyak di dalam negeri.
Ini demi memenuhi kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan mengurangi
ketergantungan impor BBM. Kebijakan ini akan tertuang dalam Peraturan Presiden
(Perpres).
Permintaan BBM yang lebih tinggi dari supply domestik saat ini akan terus semakin lebar
jaraknya karena permintaan terus meningkat terutama untuk sektor transportasi.
Selisih permintaan dan penawaran ini, diperkirakan melebar hingga sekitar 1,2 –
1,9 juta barel per hari pada 2025 jika tidak ada penambahan kapasitas produksi.
Indonesia belum melakukan pembangunan kilang minyak sejak 21tahun
terakhir.Seperti diketahui, pembangunan kilang minyak terakhir dilakukan di
Balongan pada 1994 dengan kapasitas saat ini 125 ribu barel per hari. Untuk
itu, perlu dibangun kilang baru dengan kapasitas 300 ribu barel per hari yang
akan membantu menambal selisih permintaan dan penawaran.
“Pembangunan dan pengembangan kilang ini harus dilakukan dengan
menggunakan teknologi terbaru, memenuhi ketentuan pengelolaan dan perlindungan
lingkungan, dan tentu saja mengutamakan penggunaan produk dalam negeri,” kata
Darmin.
Selain itu, pemerintah juga akan memberikan insentif fiskal
ataupun nonfiskal bagi terselenggaranya pembangunan dan pengembangan.
“Pelaksanaan pembangunan dan pengembangan kilang diintegrasikan sedapat mungkin
dengan petrokimia,” lanjutnya.
Selain membangun kilang baru, pemerintah juga akan meningkatkan (upgrade) kilang yang sudah ada. Pemerintah
memproyeksikan produksi BBM akan meningkat dari 825 ribu barel per hari pada
2015 menjadi 1,9 juta barel per hari pada 2025.
Dengan terpenuhinya kebutuhan BBM dari produksi kilang dalam
negeri, maka harga jual BBM pada dunia usaha dan masyarakat, diharapkan dapat
ditekan menjadi lebih murah.
Sampai saat ini, setidaknya ada empat kilang yang beroperasi dan
perlu perbaikan, yaitu di Cilacap, Balikpapan, Balongan dan Dumai. Kilang baru
akan dibangun di Bontang dan Tuban.
3. Insentif bagi
perusahaan jasa pemeliharaan pesawat.
Industri dalam negeri hingga saat ini belum mampu memproduksi
beberapa komponen pesawat terbang.Kalaupun ada, belum mempunyai sertifikasi
Part Manufacturing Approval (PMA) dari pabrik pesawat seperti Boeing dan
Airbus. Padahal industri jasa pemeliharaan pesawat terbang membutuhkan
kecepatan dalam proses impor suku cadang dan komponen untuk proses perbaikan
dan pemeliharaan pesawat.
Skema Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMTDP) yang sekarang
berlaku, sulit dimanfaatkan perusahaan jasa pemeliharaan pesawat karena tidak
memberikan kepastian bagi pengadaan barang yang dibutuhkan. Karena
itupemerintah memberikan insentif dalam bentuk bea masuk 0% untuk 21pos tarif
terkait suku cadang dan komponen perbaikan atau pemeliharaan pesawat terbang.
Melalui kebijakan ini, pemerintah memberikan kepastian bagi dunia
usaha penerbangan nasional dalam hal pemeliharaan dan perbaikan pesawat. Juga
mendorong tumbuhnya industri suku cadang dan komponen pesawat terbang dalam
negeri. Lebih jauh, diharapkan kebijakan ini akan membuka ruang bagi hadirnya
pengembangan kawasan usaha pemeliharaan pesawat terbang.(ekon)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar