Menurut ketentuan syariat bahwa apabila
masa yang telah diperjanjiakan untuk pembayaran utang telah terlewati maka
pihak pemberi gadai berkewajiban untuk membayar hutangnya, namun jika
seandainya pihak penerima gadai tidak punya kemauan untuk mengembalikan
pinjamannya hendaklah ia memberikan izin kepada pemegang gadai untuk menjual
barang gadaiannya, dan seandainya izin ini tidak diberikan oleh pemberi gadai
maka pihak penerima gadai dapat meminta pertolongan hakim untuk memaksa pihak
pemberi gadai untuk melunasi hutangnya atau memberikan izin kepada penerima
gadai untuk menjual barang gadaian tersebut.
Apabila pemegang gdaia telah menjual
barang gadaian tersebut dan ternyata terdapat kelebihan uang dari yang
seharusnya dibayar oleh pihak pemberi gadai, maka kelebihan uang tersebut harus
diberikan kepada pihak pemberi gadai. Sebaliknya sekalipun barang gadaian telah
dijual dan ternyata belum dapat melunasi hutang pihak pemberi gadai, maka pihak
penerima gadai masih mempunyai kewajiban untuk membayar kekurangannya tersebut.
Sayyid Sabiq menyatakan apabila di dalam
perjanjian gadai terdapat klausula murtahin
berhak menjual barang gadai pada waktu jatuh tempo perjanjian gadai, maka
objek gadai (agunan) tersebut dibolehkan untuk dijual. Argumentasi yang ajukan
adalah bahwa menjadi haknya pemegang barang (objek) gadai untuk menjual barang
gadai tersebut. Pendapat ini berbeda denga
pendapat Imam As-Syafi’i yang memandang dicantumkannya klausula tersebut
dalam perjanjian gadai adalah batal demi hukum.[1]
Dahulu pada zaman tradisi Arab sebelum
Islam datang, jika orang yang menggadaikan barang tidak mampu mengembalikan
pinjaman, maka hak kepemilikan atas barang gadi beralih kepada ke pihak
pemegang gadai. Praktik semacam inilah yang kemudian dibatalkan oleh Islam. Hal
ini tertuang dalam Hadis dari Muawiyah bin Abdullah bin Ja’far: “bahwa
seseorang yang menggadaikan rumah di Madinah untuk jangka waktu tertentu, namun
nasabnya telah lewat, lalu pihak pemegang barang (objek gadai) menyatakan
“bahwa ini rumahku”. Rasulullah SAW kemudian bersabda:
“Jangalah
ia (pemegang gadai) menutup hak gadaian dari pemiliknya (rahin) yang menggadaikan, ia (murtahin)
berhak memperoleh bagian dan dia (rahin)
berkewajiban membayar gharamahnya”
(HR. Asy-Syafi’i)
Hal ini disetujuai oleh Al-Jazari yang
mengatakan bahwa jika rahin
mensyaratkan barang gadaian tidak dijual ketika hutangnya jatuh tempo, maka rahn (gadai) menjadi batal. Begitu pula
jika murtahin mensyratkan kepada rahin bahwa marhun menjadi milik murtahin
jika rahin tidak membayar hutangnya
maka ini juga tidak sah (batal).[2]
Hal ini didasari pada sabda Rasullah SAW: “rahn
itu tidak boleh dimiliki, rahn itu
milik orang yang menggadaikan. Ia berhak atas keuntungan dan kerugiannya”.
(Diriwayatkan Al-Baihaqi dengan sanad yang baik).
Dapat disimpulkan bahwa akad rahn berakhir dengan hal-hal sebagai
berikut:
a) Barang
yang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya.
b) Rahin membayara
hutangnya.
c) Dijual
dengan perintah Hakim atas perintah rahin.
d) Pembebasan
hutang dengan cara apapun, meski tidak ada persetujuan dari pihak rahin.
Ibnu Al Mundzir mengatakan: “semua orang
yang alim sependapat, bahwa siapa saja yang menggadaikan sesuatu harta,
kemudian dia melunasi sebagiannya, dan ia menghendaki mengeluarkan sebagian
barang gadaiannya (lagi), sesungguhnya yang demikian itu (masih) bukan miliknya
sebelum ia melunasi sebagian lain dari haknya atau pemberi hutang membebaskan.[3]
Jika marhun
mengalami kerusakan karena keteledoran murtahin,
maka murtahin wajib mengganti marhun tersebut. Tetapi jika bukan
disebabkan oleh murtahin maka murtahin tidak wajib mengganti
piutangnya tetap menjadi tanggungan rahin.
Jika rahin
meninggal dunia atau pailit maka murtahin
lebih berhak (preferen) atas marhun dari pada sama kreditur. Jika
hasil penjualan marhun tidak
mencukupi piutangnya, maka murtahin
memiliki hak yang sama bersama para kreditur terhadap harta peninggalan rahin.[4]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar