Minggu, 16 Juli 2017

Berakhirnya Akad Rahn (Gadai) di tinjau dari sisi syariah


Menurut ketentuan syariat bahwa apabila masa yang telah diperjanjiakan untuk pembayaran utang telah terlewati maka pihak pemberi gadai berkewajiban untuk membayar hutangnya, namun jika seandainya pihak penerima gadai tidak punya kemauan untuk mengembalikan pinjamannya hendaklah ia memberikan izin kepada pemegang gadai untuk menjual barang gadaiannya, dan seandainya izin ini tidak diberikan oleh pemberi gadai maka pihak penerima gadai dapat meminta pertolongan hakim untuk memaksa pihak pemberi gadai untuk melunasi hutangnya atau memberikan izin kepada penerima gadai untuk menjual barang gadaian tersebut.
Apabila pemegang gdaia telah menjual barang gadaian tersebut dan ternyata terdapat kelebihan uang dari yang seharusnya dibayar oleh pihak pemberi gadai, maka kelebihan uang tersebut harus diberikan kepada pihak pemberi gadai. Sebaliknya sekalipun barang gadaian telah dijual dan ternyata belum dapat melunasi hutang pihak pemberi gadai, maka pihak penerima gadai masih mempunyai kewajiban untuk membayar kekurangannya tersebut.
Sayyid Sabiq menyatakan apabila di dalam perjanjian gadai terdapat klausula murtahin berhak menjual barang gadai pada waktu jatuh tempo perjanjian gadai, maka objek gadai (agunan) tersebut dibolehkan untuk dijual. Argumentasi yang ajukan adalah bahwa menjadi haknya pemegang barang (objek) gadai untuk menjual barang gadai tersebut. Pendapat ini berbeda denga  pendapat Imam As-Syafi’i yang memandang dicantumkannya klausula tersebut dalam perjanjian gadai adalah batal demi hukum.[1]
Dahulu pada zaman tradisi Arab sebelum Islam datang, jika orang yang menggadaikan barang tidak mampu mengembalikan pinjaman, maka hak kepemilikan atas barang gadi beralih kepada ke pihak pemegang gadai. Praktik semacam inilah yang kemudian dibatalkan oleh Islam. Hal ini tertuang dalam Hadis dari Muawiyah bin Abdullah bin Ja’far: “bahwa seseorang yang menggadaikan rumah di Madinah untuk jangka waktu tertentu, namun nasabnya telah lewat, lalu pihak pemegang barang (objek gadai) menyatakan “bahwa ini rumahku”. Rasulullah SAW kemudian bersabda:
“Jangalah ia (pemegang gadai) menutup hak gadaian dari pemiliknya (rahin) yang menggadaikan, ia (murtahin) berhak memperoleh bagian dan dia (rahin) berkewajiban membayar gharamahnya” (HR. Asy-Syafi’i)
Hal ini disetujuai oleh Al-Jazari yang mengatakan bahwa jika rahin mensyaratkan barang gadaian tidak dijual ketika hutangnya jatuh tempo, maka rahn (gadai) menjadi batal. Begitu pula jika murtahin mensyratkan kepada rahin bahwa marhun menjadi milik murtahin jika rahin tidak membayar hutangnya maka ini juga tidak sah (batal).[2] Hal ini didasari pada sabda Rasullah SAW: “rahn itu tidak boleh dimiliki, rahn itu milik orang yang menggadaikan. Ia berhak atas keuntungan dan kerugiannya”. (Diriwayatkan Al-Baihaqi dengan sanad yang baik).
Dapat disimpulkan bahwa akad rahn berakhir dengan hal-hal sebagai berikut:
a)      Barang yang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya.
b)      Rahin membayara hutangnya.
c)      Dijual dengan perintah Hakim atas perintah rahin.
d)     Pembebasan hutang dengan cara apapun, meski tidak ada persetujuan dari pihak rahin.
Ibnu Al Mundzir mengatakan: “semua orang yang alim sependapat, bahwa siapa saja yang menggadaikan sesuatu harta, kemudian dia melunasi sebagiannya, dan ia menghendaki mengeluarkan sebagian barang gadaiannya (lagi), sesungguhnya yang demikian itu (masih) bukan miliknya sebelum ia melunasi sebagian lain dari haknya atau pemberi hutang membebaskan.[3]
Jika marhun mengalami kerusakan karena keteledoran murtahin, maka murtahin wajib mengganti marhun tersebut. Tetapi jika bukan disebabkan oleh murtahin maka murtahin tidak wajib mengganti piutangnya tetap menjadi tanggungan rahin.
Jika rahin meninggal dunia atau pailit maka murtahin lebih berhak (preferen) atas marhun dari pada sama kreditur. Jika hasil penjualan marhun tidak mencukupi piutangnya, maka murtahin memiliki hak yang sama bersama para kreditur terhadap harta peninggalan rahin.[4]



[1]  Sabiq Sayyid, Fikih Muammalah, jilid ke-3, Bandung, Al Maarif, hal 145.
[2] Al Jaziri dan Abu Bakr Janir, ensikplodea Muslim Minhajul Muslim, Jakarta, Daarul Haq, 2000, hal 533.
[3] Sabiq Sayyid, Fikih Muammalah, jilid ke-3, Bandung, Al Maarif, hal 144.
[4] Al Jaziri dan Abu Bakr Janir, ensikplodea Muslim Minhajul Muslim, Jakarta, Daarul Haq, 2000, hal 534.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar