Asal-muasal adanya pemerintahan mukim yang berada pada masyarakat Aceh
tidak terlepas dari mayoritas masyarakat Aceh yang beragama Islam, adanya mukim sendiri berawal dari dasar bagi
penduduk tetap dalam suatu daerah dalam pelaksanaan ibadah shalat jumat. Berdasarkan
Mazhab Imam Syafi’i untuk mendirikan shalat jum’at diperlukan lebih kurang 40
(empat puluh) orang laki-laki yang telah baligh
(dewasa).
Pada dasarnya lembaga mukim terbentuk seiring masuknya agama
Islam ke Aceh. Mukim merupakan suatu sistem pemerintahan yang berdiri sendiri
dan dipimpin oleh seorang Imum Mukim. Imum
Mukim dipilih secara langsung oleh tokoh-tokoh dalam suatu kemukiman tersebut,
yang terdiri atas Tuha Lapan.[1]
Pada masa kolonial Belanda keberadaan Imum Mukim tetap diakui dan diatur
secara khusus dalam Besluit van den
Governeur van Nederland Indie Nomor 8 Tahun 1937. Dalam masa penjajahan
oleh bangsa Jepang pemerintahan Mukim
juga diakui dalam Osamu Serei Nomor 7
Tahun 1944. Setelah Indonesia merdeka ketentuan-ketentuan mengenai pemerintahan Mukim tetap diberlakukan sebagaimana terdapat di dalam ketentuan
Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mempertahankan
kedudukan Mukim dalam struktur
pemerintahan desa, keresidenan Aceh mengeluarkan Peraturan Keresidenan Aceh
Nomor 2 dan Nomor 5 Tahun 1946. Menurut kedua peraturan tersebut, pemerintahan Mukim diberlakukan untuk seluruh Aceh,
dan Pemerintahan Mukim mempunyai
kedudukan di bawah Camat dan membawahi beberapa Gampong.
Dalam pelaksanaannya pemerintahan Mukim digerakkan oleh tiga unsur yaitu
unsur adat, unsur agama dan unsur dewan. Di dalam unsur adat diwakili oleh Imum Mukim, dalam unsur agama di wakili
oleh Imum Mesjid dan dari unsur dewan
dipimpin oleh Tuha Lapan. Sekalipun
pada ketiga unsur tersebut adanya pemisahan kewenangan, namun dalam pengambilan
suatu keputusan adanya suatu putusan yang bersifat bersama dan pelaksaan
putusan harus dijelaskan oleh imum mukim,
sehingga putusan yang diambil merupakan suatu putusan yang terdapat dari tiga
unsur tersebut yang mewakili masyarakat, dan kemudian tiap-tiap putusan yang
dikeluarkan menjadi suatu putusan yang didukung oleh seluruh masyarakat.
Sistem pemerintahan Mukim pada masyarakat Aceh sendiri tidak terlepas nilai-nilai
keislaman, di mana ciri-cirinya sendiri adalah sebagai berikut:[2]
a) Memperhatikan
syarat-syarat keagamaan yang harus dipenuhi oleh para pimpinan pada tingkat
Mukim dan Gampong.
b) Dapat
dilihat dalam sistem pengelolaan tanah-tanah umum yang belum dimiliki oleh
siapapun, yang oleh masyarakat Aceh disebut sebagai tanoh Potallah (tanah
Tuhan). Dalam hal ini, siapa yang menghidupkan dan mengusahakan tanah mati
tersebut, dialah yang berhak atas tanah tersebut, untuk dimiliki atau dialihkan
kepada orang lain, tentu saja setelah syarat-syarat adat terpenuhi.
c) Dalam
penyelesaian sengketa yang mengedepankan perdamaian melalui musyawarah dan
bertujuan untuk membangun kembali harmonisasi pasca sengketa dalam antar para
pihak dalam suatu kehidupan bermasyarakat.
Pemerintahan Mukim diatur dalam Qanun
Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim,
adapun tugas dan fungsi Mukim di
dalam pasal 3 dan 4 meliputi:
a) Menyelenggarakan
pemerintahan desentralisasi, dekonstrasi, pembantuan dan segala urusan
pemerintahan lainnya.
b) Menyelenggarakan
pembangunan ekonomi, fisik dan mental spiritual.
c) Menyelenggarakan
pelaksanaan syari’at Islam, pendidikan, adat istiadar, sosial budaya,
ketentraman dan ketertiban masyarakat.
d) Menyelenggarakan
pelayanan pada masyarakat.
e) Menyelesaikan
sengketa dalam masyarakat.
Sedangkan tugas Imum Mukim menurut dan
Pasal 8 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun
2008 tentang Lembaga Adat adalah:
a) Melakukan
pembinaan masyarakat.
b) Melaksanakan
kegiatan adat istiadat.
c) Menyelesaikan
sengketa.
d) Membantu
peningkatan pelaksanaan syariat Islam.
e) Membantu
penyelenggaraan pemerintahan, dan.
f) Membantu
pelaksanaan pembangunan.
Maka apabila melihat peraturan diatas Imum Mukim pada suatu kemukiman selain
mempunyai peran untuk membantu tugas dari Camat untuk dapat mengawasi desa, Imum Mukim juga mempunyai peran dalam
memutuskan dan atau menetapkan hukum, memelihara dan mengembangkan adat,
menyelenggarakan perdamaian adat, menyelesaikan dan memberikan
keputusan-keputusan adat terhadap perselisihan-perselisihan dan pelanggaran
adat, memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya
menurut adat dan menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan adat
istiadat di dalam kehidupan bermasyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar