Kamis, 20 Juli 2017

Pemerintahan Mukim Dalam Masyarakat Adat Aceh.


Asal-muasal adanya pemerintahan mukim yang berada pada masyarakat Aceh tidak terlepas dari mayoritas masyarakat Aceh yang beragama Islam, adanya mukim sendiri berawal dari dasar bagi penduduk tetap dalam suatu daerah dalam pelaksanaan ibadah shalat jumat. Berdasarkan Mazhab Imam Syafi’i untuk mendirikan shalat jum’at diperlukan lebih kurang 40 (empat puluh) orang laki-laki yang telah baligh (dewasa).
Pada dasarnya lembaga mukim terbentuk seiring masuknya agama Islam ke Aceh. Mukim merupakan suatu sistem pemerintahan yang berdiri sendiri dan dipimpin oleh seorang Imum Mukim. Imum Mukim dipilih secara langsung oleh tokoh-tokoh dalam suatu kemukiman tersebut, yang terdiri atas Tuha Lapan.[1]
Pada masa kolonial Belanda keberadaan Imum Mukim tetap diakui dan diatur secara khusus dalam Besluit van den Governeur van Nederland Indie Nomor 8 Tahun 1937. Dalam masa penjajahan oleh bangsa Jepang pemerintahan Mukim juga diakui dalam Osamu Serei Nomor 7 Tahun 1944. Setelah Indonesia merdeka ketentuan-ketentuan mengenai pemerintahan Mukim tetap diberlakukan sebagaimana terdapat di dalam ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mempertahankan kedudukan Mukim dalam struktur pemerintahan desa, keresidenan Aceh mengeluarkan Peraturan Keresidenan Aceh Nomor 2 dan Nomor 5 Tahun 1946. Menurut kedua peraturan tersebut, pemerintahan Mukim diberlakukan untuk seluruh Aceh, dan Pemerintahan Mukim mempunyai kedudukan di bawah Camat dan membawahi beberapa Gampong.
Dalam pelaksanaannya pemerintahan Mukim digerakkan oleh tiga unsur yaitu unsur adat, unsur agama dan unsur dewan. Di dalam unsur adat diwakili oleh Imum Mukim, dalam unsur agama di wakili oleh Imum Mesjid dan dari unsur dewan dipimpin oleh Tuha Lapan. Sekalipun pada ketiga unsur tersebut adanya pemisahan kewenangan, namun dalam pengambilan suatu keputusan adanya suatu putusan yang bersifat bersama dan pelaksaan putusan harus dijelaskan oleh imum mukim, sehingga putusan yang diambil merupakan suatu putusan yang terdapat dari tiga unsur tersebut yang mewakili masyarakat, dan kemudian tiap-tiap putusan yang dikeluarkan menjadi suatu putusan yang didukung oleh seluruh masyarakat.
Sistem pemerintahan Mukim pada masyarakat Aceh sendiri tidak terlepas nilai-nilai keislaman, di mana ciri-cirinya sendiri adalah sebagai berikut:[2]
a)      Memperhatikan syarat-syarat keagamaan yang harus dipenuhi oleh para pimpinan pada tingkat Mukim dan Gampong.
b)      Dapat dilihat dalam sistem pengelolaan tanah-tanah umum yang belum dimiliki oleh siapapun, yang oleh masyarakat Aceh disebut sebagai tanoh Potallah (tanah Tuhan). Dalam hal ini, siapa yang menghidupkan dan mengusahakan tanah mati tersebut, dialah yang berhak atas tanah tersebut, untuk dimiliki atau dialihkan kepada orang lain, tentu saja setelah syarat-syarat adat terpenuhi.
c)      Dalam penyelesaian sengketa yang mengedepankan perdamaian melalui musyawarah dan bertujuan untuk membangun kembali harmonisasi pasca sengketa dalam antar para pihak dalam suatu kehidupan bermasyarakat.
Pemerintahan Mukim diatur dalam Qanun Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim, adapun tugas dan fungsi Mukim di dalam pasal 3 dan 4 meliputi:
a)      Menyelenggarakan pemerintahan desentralisasi, dekonstrasi, pembantuan dan segala urusan pemerintahan lainnya.
b)      Menyelenggarakan pembangunan ekonomi, fisik dan mental spiritual.
c)      Menyelenggarakan pelaksanaan syari’at Islam, pendidikan, adat istiadar, sosial budaya, ketentraman dan ketertiban masyarakat.
d)     Menyelenggarakan pelayanan pada masyarakat.
e)      Menyelesaikan sengketa dalam masyarakat.
Sedangkan tugas Imum Mukim menurut dan Pasal 8 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat adalah:
a)      Melakukan pembinaan masyarakat.
b)      Melaksanakan kegiatan adat istiadat.
c)      Menyelesaikan sengketa.
d)     Membantu peningkatan pelaksanaan syariat Islam.
e)      Membantu penyelenggaraan pemerintahan, dan.
f)       Membantu pelaksanaan pembangunan.

Maka apabila melihat peraturan diatas Imum Mukim pada suatu kemukiman selain mempunyai peran untuk membantu tugas dari Camat untuk dapat mengawasi desa, Imum Mukim juga mempunyai peran dalam memutuskan dan atau menetapkan hukum, memelihara dan mengembangkan adat, menyelenggarakan perdamaian adat, menyelesaikan dan memberikan keputusan-keputusan adat terhadap perselisihan-perselisihan dan pelanggaran adat, memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut adat dan menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan adat istiadat di dalam kehidupan bermasyarakat.




[1] Taqwaddin Husin, Sulaiman, dkk, Mukim di Aceh (Belajar Dari Masa Lalu Untuk Membangun Masa Depan), Diandra Pustaka Indonesia, Yogyakarta, 2015, hal 57.
[2] Sanusi M. Syarif., Gampong dan Mukim di Aceh Menuju Rekonstruksi Pasca tsunami, Pustaka Latin, Bogor, 2005, Hal 63.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar