Jumat, 14 Juli 2017

PEMANFAATAN BARANG GADAI DALAM ISLAM

Pemanfaatan Barang Gadaian
Para ulama mempunyai perbedaan berkenaan pemanfaatan barang gadai, yaitu sebagai berikut:
a.       Pendapat ulama Syafi’iyah
Menurut ulama Syafi’iyah seperti yang dikutip oleh Chuzaimah T Yanggo dan Hafiz Anshari bahwa yang mempunyai hak atas manfaat harta benda gadai (marhun) adalah pemberi gadai (rahin) walaupun marhun itu berada di bawah kekuasaan penerima gadai (murtahin).[1] Dasar hukum hal dimaksud adalah hadis Nabi Muhammad SAW, sebagai berikut:
1)      Hadis Nabi Muhammad SAW meriwayatkan: dari Abu Hurairah RA berkata bahwasanya Rasullah SAW bersabda, “barang jaminan itu dapat air susunya dan ditanggungi/dinaiki”.
2)      Hadis Nabi Muhammad SAW yang artinya, dari Abi hurairah Nabi Muhammad SAW bersabda: “gadaian itu tidak menutup hak yang punya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib mempertanggung jawabkan segalanya (kerusakan dan biaya)”. (HR. Asy-Syafi’i dan Ad-Daruqtuni)
3)      Hadis Nabi Muhammad SAW yang artinya, dari Umar bahwasanya Rasullah SAW bersabda: “hewan seseorang tidak boleh diperah tanpa seizin pemiliknya”. (HR. Al-Bukhari).
Berdasarkan ketiga dasar hukum tersebut, dapat disimpulkan bahwa marhum hanya sebagai jaminan atau kepercayaan atas murtahin. Kepemilikan marhun tetap melekat pada rahin. Oleh karena itu, manfaat atau hasil dari marhun itu tetap berada pada rahin kecuali manfaat atau hasil dari marhun itu diserahkan kepada murtahin. Selain itu, perlu diungkapkan bahwa pemanfaatan marhun oleh murtahin yang mengakibatkan turun kualitas marhun tidak dibolehkan kecuali diizinkan oleh rahn.
b.      Pendapat ulama Malikiyah
Ulama Malikiyah berpendapat seperti yang dikutipoleh Muhammad dan Sholikhul Hadi bahwa penerima harta benda gadai (murtahin) hanya dapat memanfaatkan harta benda barang gadaian atas izin dari pemberi gadai dengan persyaratan berikut:
1)      Utang disebabkan dari jual beli, bukan karena menguntungkan. Hal itu terjadi seperti orang menjual barang dengan harta tangguh, kemudian orang itu meminta gadai dengan suatu barang sesuai dengan utangnya maka hal itu diperbolehkan.
2)      Pihak murtahin mensyaratkan bahwa manfaat dari harta benda gadai diperuntukkan pada dirinya.
3)      Jika waktu mengambil manfaat yang telah diisyaratkan harus ditentukan apabila tidak ditentukan batas waktunya maka terjadi batal.[2]

c.       Pendapat ulama Hanabilah
Menurut pendapat ulama Hanabillah, persyaratan bagi murtahin (penerima gadai) untuk mengambil manfaat harta benda gadai yang bukan berupa hewan adalah (a) ada izin dari pemilik barang, dan (b) adanya gadai bukan karena menguntungkan.
Apabila harta benda gadai berupa hewan yang tidak dapat diperah dan tidak dapat ditunggangi, maka boleh menjadikannya sebagai khadam. Akan tetapi apabila harta gadai itu berupa rumah, sawah, kebun dan semacamnya maka tidak boleh mengambil manfaatnya.[3]
Hal ini berdasarkan dalil hukum sebagai berikut: “barang gadai (marhun dikendarai) oleh sebab nafkahnya apabila digadaikan dan atas yang mengendarai dan meminum susunya wajib nafkahnya”. (HR. Al-Bukhari). Hadis Nabi Muhammad SAW tersebut dijadikan dasar hukum kebolehan murtahin mengambil manfaat dari barang gadai (marhun). Dari Muhammad bin Salamah bahwa Rasullah SAW bersabda: “apabila seekor kambing digadaikan maka yang menerima gadai boleh meminum susunya sesuai kadar memberi makannya, apabila ia meminum susu itu melebihi harga memberi nafkahnya maka ia termasuk riba”.
Kebolehan murtahin memanfaatkan harta benda gadai atas seizin pihak rahin, dan nilai pemanfaatannya harus disesuaikan dengan biaya yang telah dikeluarkannya untuk marhun didasarkan atas hadis Nabi Muhammad SAW yang artinya sebagai berikut: dari Abu Hurairah RA, berkata bahwasanya Rasullah SAW bersabda: “barang jaminan itu dapat ditanggung dan diperah susunya”. Dari Umar bahwasanya Rasullah SAW bersabda: “hewan seseorang tidak boleh diperah tanpa seizin pemiliknya”. (HR. Al-Bukhari).
d.      Pendapat ulama hanafiyah
Menurut pendapat ulama Hanafiyah tidak ada perbedaan antara pemanfaatan barang gadai yang mengakibatkan kurangnya harga atau tidak. Alasannya adalah berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:
“Dari Abu Shalih dari abu Abu Hurairah RA berkata, bahwasanya Rasullah SAW bersabda: barang jaminan utang (gadai) dapat ditunggangi dan diperah susunya, serta atas dasar menunggangi dan memerah susunya, wajib menafkahi”. (HR. Al-Bukhari).
Menurut ulama Hanafiyah sesuai dengan fungsi dari barang gadai (marhun) sebagai barang jaminan dan kepercayaan bagi pihak penerima gadai (murtahin). Apabila barang tersebut tidak dimanfaatkan oleh penerima gadai (murtahin) maka berarti mengilangkan manfaat dari barang tersebut, padahal barang tersebut memerlukan biaya untuk pemeliharaan. Hal itu dapat mendatangkan kemudharatan bagi kedua belah pihak, terutama bagi pihak penerima gadai (rahin).[4]
Mengenai hal tersebut Sayyid Sabiq mempunyai pendapat yang berbeda, menurutnya memanfaatkan barang gadai tidak diperbolehkan meskipun seizin orang yang menggadaikan. Tindakan orang yang memanfaatkan harta benda gadai tidak ubahnya qiradh, dan setiap bentuk qiradh yang mengalir manfaat adalah riba, kecualibarang yang digadaikan berupa hewan ternak yang diambil susunya, dimana pemilik barang memberikan izin untuk memanfaatkan barang tersebut, maka penerima gadai boleh memanfaatkannya.[5]
Maka berdasarkan beberapa pendapat ulama yang telah dikemukakan di atas, mempunyai dasar hukum yang sama, namun mempunyai penafsiran yang berbeda-beda. Oleh karena itu suatu fungsi dari barang gadai (marhun) sebagai barang jaminan dan kepercayaan bagi penerima gadai (murtahin) sehingga barang tersebut dapat dimanfaatkan oleh penerima gadai  (murtahin). Namun, rahin (pemberi gadai) bila ingin memanfaatkan objek gadaian (marhun) harus seizin dengan penerima gadai (murtahin) selama utang pemberi gadai (rahin) belum dilunasi kepada penerima gadai (murtahin).[6]



[1] Chuizaman T Yanggo dan Hafiz Anshari, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Edisi ke-III, Jakarta, LSIK, 1997, hal 333.
[2] Muhammad dan Sholikhul hadi, Pengadaian Syariah: Suatu Alternatif Konstruksi Pengadaian Nasional, Edisi 1, Jakrta, Salemba Diniyah, 2003, hal 70.
[3] Chuizaman T Yanggo dan Hafiz Anshari, Op. Cit., hal 75.
[4] Muhammad dan Sholikhul hadi, Op.Cit., hal 76.
[5] Muhammad dan Sholikhul hadi, Ibid., hal 76.
[6] Zainuddin Ali, Op.Cit., hal 45.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar