Pemanfaatan
Barang Gadaian
Para ulama mempunyai perbedaan berkenaan
pemanfaatan barang gadai, yaitu sebagai berikut:
a. Pendapat
ulama Syafi’iyah
Menurut ulama Syafi’iyah seperti yang
dikutip oleh Chuzaimah T Yanggo dan Hafiz Anshari bahwa yang mempunyai hak atas
manfaat harta benda gadai (marhun)
adalah pemberi gadai (rahin) walaupun
marhun itu berada di bawah kekuasaan
penerima gadai (murtahin).[1]
Dasar hukum hal dimaksud adalah hadis Nabi Muhammad SAW, sebagai berikut:
1) Hadis
Nabi Muhammad SAW meriwayatkan: dari Abu Hurairah RA berkata bahwasanya
Rasullah SAW bersabda, “barang jaminan itu dapat air susunya dan
ditanggungi/dinaiki”.
2) Hadis
Nabi Muhammad SAW yang artinya, dari Abi hurairah Nabi Muhammad SAW bersabda: “gadaian
itu tidak menutup hak yang punya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaan
dia, dan dia wajib mempertanggung jawabkan segalanya (kerusakan dan biaya)”.
(HR. Asy-Syafi’i dan Ad-Daruqtuni)
3) Hadis
Nabi Muhammad SAW yang artinya, dari Umar bahwasanya Rasullah SAW bersabda: “hewan
seseorang tidak boleh diperah tanpa seizin pemiliknya”. (HR. Al-Bukhari).
Berdasarkan ketiga dasar hukum tersebut,
dapat disimpulkan bahwa marhum hanya
sebagai jaminan atau kepercayaan atas murtahin.
Kepemilikan marhun tetap melekat pada
rahin. Oleh karena itu, manfaat atau
hasil dari marhun itu tetap berada
pada rahin kecuali manfaat atau hasil
dari marhun itu diserahkan kepada murtahin. Selain itu, perlu diungkapkan
bahwa pemanfaatan marhun oleh murtahin yang mengakibatkan turun
kualitas marhun tidak dibolehkan
kecuali diizinkan oleh rahn.
b. Pendapat
ulama Malikiyah
Ulama Malikiyah berpendapat seperti yang
dikutipoleh Muhammad dan Sholikhul Hadi bahwa penerima harta benda gadai (murtahin) hanya dapat memanfaatkan
harta benda barang gadaian atas izin dari pemberi gadai dengan persyaratan
berikut:
1) Utang
disebabkan dari jual beli, bukan karena menguntungkan. Hal itu terjadi seperti
orang menjual barang dengan harta tangguh, kemudian orang itu meminta gadai
dengan suatu barang sesuai dengan utangnya maka hal itu diperbolehkan.
2) Pihak
murtahin mensyaratkan bahwa manfaat
dari harta benda gadai diperuntukkan pada dirinya.
3) Jika
waktu mengambil manfaat yang telah diisyaratkan harus ditentukan apabila tidak
ditentukan batas waktunya maka terjadi batal.[2]
c. Pendapat
ulama Hanabilah
Menurut pendapat ulama Hanabillah,
persyaratan bagi murtahin (penerima
gadai) untuk mengambil manfaat harta benda gadai yang bukan berupa hewan adalah
(a) ada izin dari pemilik barang, dan (b) adanya gadai bukan karena
menguntungkan.
Apabila harta benda gadai berupa hewan
yang tidak dapat diperah dan tidak dapat ditunggangi, maka boleh menjadikannya
sebagai khadam. Akan tetapi apabila
harta gadai itu berupa rumah, sawah, kebun dan semacamnya maka tidak boleh
mengambil manfaatnya.[3]
Hal ini berdasarkan dalil hukum sebagai
berikut: “barang gadai (marhun
dikendarai) oleh sebab nafkahnya apabila digadaikan dan atas yang
mengendarai dan meminum susunya wajib nafkahnya”. (HR. Al-Bukhari). Hadis Nabi
Muhammad SAW tersebut dijadikan dasar hukum kebolehan murtahin mengambil manfaat dari barang gadai (marhun). Dari Muhammad bin Salamah bahwa Rasullah SAW bersabda:
“apabila seekor kambing digadaikan maka yang menerima gadai boleh meminum
susunya sesuai kadar memberi makannya, apabila ia meminum susu itu melebihi
harga memberi nafkahnya maka ia termasuk riba”.
Kebolehan murtahin memanfaatkan harta benda gadai atas seizin pihak rahin, dan nilai pemanfaatannya harus
disesuaikan dengan biaya yang telah dikeluarkannya untuk marhun didasarkan atas hadis Nabi Muhammad SAW yang artinya sebagai
berikut: dari Abu Hurairah RA, berkata bahwasanya Rasullah SAW bersabda:
“barang jaminan itu dapat ditanggung dan diperah susunya”. Dari Umar bahwasanya
Rasullah SAW bersabda: “hewan seseorang tidak boleh diperah tanpa seizin
pemiliknya”. (HR. Al-Bukhari).
d. Pendapat
ulama hanafiyah
Menurut pendapat ulama Hanafiyah tidak
ada perbedaan antara pemanfaatan barang gadai yang mengakibatkan kurangnya
harga atau tidak. Alasannya adalah berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW sebagai
berikut:
“Dari
Abu Shalih dari abu Abu Hurairah RA berkata, bahwasanya Rasullah SAW bersabda:
barang jaminan utang (gadai) dapat ditunggangi dan diperah susunya, serta atas
dasar menunggangi dan memerah susunya, wajib menafkahi”. (HR. Al-Bukhari).
Menurut ulama Hanafiyah sesuai dengan
fungsi dari barang gadai (marhun)
sebagai barang jaminan dan kepercayaan bagi pihak penerima gadai (murtahin). Apabila barang tersebut
tidak dimanfaatkan oleh penerima gadai (murtahin)
maka berarti mengilangkan manfaat dari barang tersebut, padahal barang tersebut
memerlukan biaya untuk pemeliharaan. Hal itu dapat mendatangkan kemudharatan
bagi kedua belah pihak, terutama bagi pihak penerima gadai (rahin).[4]
Mengenai hal tersebut Sayyid Sabiq
mempunyai pendapat yang berbeda, menurutnya memanfaatkan barang gadai tidak
diperbolehkan meskipun seizin orang yang menggadaikan. Tindakan orang yang
memanfaatkan harta benda gadai tidak ubahnya qiradh, dan setiap bentuk qiradh
yang mengalir manfaat adalah riba, kecualibarang yang digadaikan berupa hewan
ternak yang diambil susunya, dimana pemilik barang memberikan izin untuk
memanfaatkan barang tersebut, maka penerima gadai boleh memanfaatkannya.[5]
Maka berdasarkan beberapa pendapat ulama
yang telah dikemukakan di atas, mempunyai dasar hukum yang sama, namun
mempunyai penafsiran yang berbeda-beda. Oleh karena itu suatu fungsi dari
barang gadai (marhun) sebagai barang
jaminan dan kepercayaan bagi penerima gadai (murtahin)
sehingga barang tersebut dapat dimanfaatkan oleh penerima gadai (murtahin).
Namun, rahin (pemberi gadai) bila
ingin memanfaatkan objek gadaian (marhun)
harus seizin dengan penerima gadai (murtahin)
selama utang pemberi gadai (rahin)
belum dilunasi kepada penerima gadai (murtahin).[6]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar