Gadai dalam fiqih islam disebut dengan Ar-rahn,
Ar-rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai
tanggung utang. Ar-rahn juga dapat
dinamai dengan Al-habsu yang berarti
penahanan terhadap suatu dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran
dari barang tersebut.[1]
Adapun pengertian pengertian gadai yang
dikemukakan oleh ahli hukum islam adalah sebagai berikut:
1. Ulama
Syafi’iyah mendifinisikan sebagai berikut: “menjadikan suatu barang yang biasa
dijual sebagai jaminan dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup
membayar utangnya”.
2. Ulama
Hambaliyah mengungkapkan sebagai berikut: “suatu benda yang dijadikan sebagai
kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berhutang
tidak sanggup membayar utangnya”.
3. Ulama
Malikiyah memberikan pengertian sebagai berikut: “sesuatu yang dapat dijadikan
dan mempunyai nilai dari sesuatu harta (mutamawwal)
yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan sebagai pengikat atas utang yang
tetap (mengikat)”.
4. Imam
Ibnu Qudhammah dalam kitab Al-mughni menyebutkan
bahwa suatu benda yang dijadikan sebagai suatu benda yang dijadikan sebagai
bentuk kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari harganya, apabila yang
berhutang tidak sanggup membayar dari orang yang berpiutang.
5. Abu
Zakaria al-Anshary dalam kitabnya Fathul
Wahab mendifinisikan Rahn adalah
menjadikanbenda yang bersifat harta benda sebagai kepercayaan dari suatu yang
dapat dibayarkan dari suatu harta benda tersebut apabila utang tidak dapat
dibayarkan.
Berdasarkan pendapat para ahli Islam di
atas, maka pengertian gadai dalam konsep Islam adalah menahan harta milik pihak
pemberi gadai sebagai jaminan (jaminan utang) atas pinjaman yang diterimannya
pihak penerima gadai. gadai dalam perspektif syariah agak berbeda dengan
pengertian dalam pengertian gadai yang berada dalam hukum positif seperti
tercantum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang menyatakan bahwa
suatu hak yang diperoleh seseorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang
diserahkan kepadanya kepadanya oleh seseorang yang berhutang atau oleh orang
lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada pihak berpiutang itu
untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada
orang-orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelang
barang tersebut dan biaya-biaya mana harus didahulukan (Pasal 1150 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata).[2]
Selain adanya perbedaan dengan aturan
yang terdapat di dalam Kitab undang-Undang Hukum Perdata, maka pengertian gadai
menurut perspektif syariah juga mempunyai perbedaan dengan pengertian gadai
berdasarkan ketentuan yaitu menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran dengan
sejumlah uang secara tunai, dengan ketentuan pihak pemberi gadai tetap berhak
atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali.[3]
1.
Dasar
Hukum Gadai Syariah
Dasar hukum yang menjadi sebagai
landasar dasar dari gadai syariah adalah Al-quran, Hadits, ijma’ ulama dan fatwa-fatwa majelis ulama indonesia (MUI). Adapun
landasan-landasan terhadap gadai syariah adalah sebagai berikut:
a)
Al-quran
Ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan
sebagai dasar hukum perjanjian gadai
adalah QS. Al-Baqarah ayat 283:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang
berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan
hendaklah ia bertaqwa kepada Allah tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya, dan Allah maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.”
Syaikh Muhammad Ali As-Sayis berpendapat
bahwa ayat Al-Quran di atas adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip
kehati-hatian bila seseorang hendak melakukan transaksi utang-piutang yang
memakai jangka waktu dengan orang lain melalui cara menjaminkan sebuah barang
kepada orang yang berpiutang (rahn).[4]
Selain
itu, Syaikh Muhammad Ali As-Sayis mengungkapkan bahwa rahn dapat dilakukan ketika dua pihak yang berinteraksi sedang
melakukan perjalanan (musafir), dan transaksi yang demikian ini harus dicatat
dalam sebuah berita acara (ada orang yang menuliskannya) dan ada orang yang
menjadi saksi terhadapnya. Bahkan Ali Syayis menganggap bahwa dengan rahn, prinsip kehati-hatian sebenarnya
lebih terjamin ketimbang bukti tertulis ditambah dengan persaksian seseorang.[5]
Sekalipun demikian, penerima gadai.
Juga diperbolehkan tidak menerima barang jaminan dari pemberi gadai, dengan
alasan bahwa ia menyakini pemberi gadai (rahin) tidak akan menghindar dari
kewajibannya. Sebab substansi dalam suatu peristiwa rahn adalah untuk menghindari kemudaratan yang diakibatkan oleh
berkhianatnya salah satu pihak atau kedua belah pihak ketika keduanya melakukan
transaksi utang-piutang[6].
Fungsi barang gadai (marhun) pada ayat di atas adalah untuk menjaga kepercayaan masing-masing
pihak, sehingga penerima gadai menyakini bahwa pemberi gadai beritikad baik
untuk mengembalikan pinjamannya dengan cara menggadaikan barang atau benda yang
dimilikinya, serta tidak melalaikan jangka waktu pengembalian utangnya
tersebut.[7]
Sekalipun ayat tersebut, secara literal
mengindikasi bahwa rahn dilakukan oleh seseorang ketika dalam keadaan
musafir. Hal ini, bukan berarti dilarang bila dilakukan oleh orang yang menetap
dan/atau bermukim. Sebab, keadaan musafir ataupun menetap bukanlah suatu
persyaratan keabsahan transaksi rahn.
Apalagi, terdapat sebuah hadis yang mengisahkan bahwa Rasullah Saw,
menggadaikan baju besinya kepada seseorang Yahudi, untuk mendapatkan makanan
bagi keluarganya, pada saat beliau tidak melakukan perjalanan.
b)
Hadits
Dasar hukum yang kedua untuk dijadikan
rujukan dalam membuat rumusan gadai syariah adalah haduts Nabi Muhammad SAW,
yang antara lain diungkapkan sebagai berikut:
1) Hadis
Aisyah RA yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang berbunyi:
Telah
diriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al-hanzhali dan Ali bin Khasyram
berkata: keduanya mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus bin Amasy dari Ibrahim
dari Aswad dari Aisyah berkata: bahwasanya Rasullah SAW membeli makanan dari
seseorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya.[8]
(HR. Muslim).
2) Hadis
dari Anas bin Malik RA, yang diriwatkan oleh Ibnu Majah yang berbunyi:
Telah
diriwayatkan kepada kami Nashr bin Ali Al-jahdhami, ayahku telah meriwayatkan
kepadaku, meriwayatkan kepada kami Hisyam bin Qatadah dari Anas berkata:
sungguh Rasullah SAW, menggadaikan baju besinya kepada seseorang Yahudi di
Madinah dan menukarnya dengan gandum untu keluarganya.[9]
(HR. Ibnu Majah).
3) Hadis
dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Al-bukhari, yang berbunyi:
Telah diriwayatkan
kepada kami Muhammad bin Muqatil, mengabarkan kepada kami Abdullaj bin
mubarrak, mengabarkan kepada kami Zakariyya dari Sya’bi dari Abu Hurairah, dari
Nabi Muhammad SAW, bahwasanya beliau bersabda: kendaraan dapat digunakan dan
hewan ternak dapat pula diambil manfaatnya apabila digadaikan. Penggadai wajib
memberikan nafkah dan penerima gadai boleh mendapatkan manfaatnya.[10]
(HR. AL-Bukhari).
4) Hadis
riwayat Abu Hurairah RA, yang berbunyi:
Barang
gadai tidak boleh disembunyikan dari pemilik yang menggadaikan baginya resiko
dan hasilnya.[11]
(HR. Asy-Syafi’i dan Ad-Daruquthni).
c)
Ijma’ ulama
Jumhur
ulama
telah menyepakati akan kebolehan mengenai status hukum gadai. Hal ini
didasarkan pada kisah Nabi Muhammad SAW yang menggadaikaan baju besinya untuk
mendapatkan makanan dari seorang Yahudi. Para ulama juga mengambil indikasi
dari contoh Nabi Muhammad SAW tersebut, ketika beliau beralih dari yang
biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang kaya kepada seseorang Yahudi,
bahwa hal tersebut tidak lebih dari sikap Nabi Muhammad SAW yang tidak mau
memberatkan para sahabat ayng biasanya enggan mengambil ganti ataupun harga
yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada mereka.[12]
d)
Fatwa
dewan syariah nasional
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI) menjadi salah satu rujukan yang berkenaan gadai
syariah, diantaranya dikemukakan sebagai berikut:
1) Fatwa
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor: 25/ DSN-MUI/III/2002
tentang Rahn.
2) Fatwa
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor: 26/ DSN-MUI/III/2002
tentang Rahn Emas.
3) Fatwa
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor: 09/ DSN-MUI/IV/2000
tentang Pembiayaan Ijarah.
4) Fatwa
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor: 10/ DSN-MUI/IV/2000
tentang Wakalah.
5) Fatwa
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor: 43/ DSN-MUI/VIII/2004
tentang Ganti Rugi
[1] Rahmat Syafei, Konsep Gadai: Ar-Rahn dalam Fikih Islam Antara Nilai Sosial dan Nilai
Komersial, Lembaga Studi dan Kemasyarakatan, 1995, Cetakan Kedua,
Jakarta, Hal 59.
[2] A. Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2006, Hal 113.
[3] Pasaribu, Chairuaman., dkk., Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinar
Grafika, Jakarta, 1996, Hal 140.
[4] Fadhilah
Asy-Syaikh Muhammad Ali As-Sayis, Tafsir
Ayat Al-Ahkam, (ttp: tp, tt) hal. 175. Lihat juga, Muhammad Ali
Ash-Shabumi, Shafwat At-Tafasir,
Damaskus, Maktabah, Al-Ghazali, 1986, Juz 1, Cet. 1, hal 179.
[8] Imam Abi
Husain Muslim bin Hajjaj Al-Kusyairy An-Naisaburi, Shahih Muslim, Dar Al-Fikr, 1993, Juz 2, hal 51.
[9] Al-Hafidz
Abi Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwiny, Sunan
Ibn Majah, Dar Al-Fikr, 1995, Juz 2, hal 18.
[10] Imam Abi
Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughiran Bin Bardizbah Al-Bukhari
Al-Ju’fiy, Shahih Al-Bukhari, Dar
Al-Fikr, 1983, Juz 3, hal 116.
[12] Lihat,
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam wa
Adillatuhu, Beirut, Dar Al-Fikr, 2002, Juz VI, Cet 4, hal 4210. Lihat juga
Asy-Sya’rany, Mizan Al-Kubra, Dar
Al-Kutub Al-Islamiyyah, hal 75. Lihat Faizalbin Abdul Aziz Ali Mubarak, Nail Al-Awthar, Terj. Mu’ammalah Hamady,
Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1987, hal 1787.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar