Sejarah perkembangan hukum adat di Aceh pasca Mou Helsinki
Sejarah perkembangan hukum adat di Aceh pasca Mou Helsinki-Semenjak lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh, keberadaan hukum adat semakin kuat dikarenakan adanya pengakuan terhadap
lembaga adat. Adanya pemberian kewenangan kepada lembaga adat dalam
melaksanakan hukum adat, yang ketentuan di atur dalam Bab XIII Pasal 98 tentang
Lembaga Adat UUPA.
Dalam Pasal 98 ayat (1) disebutkan, Bahwa:
“Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di
bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban.”
kemudian dalam Pasal 98 ayat (1) berbunyi:
“Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di
bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban.”
Maka dengan demikian, berdasarkan amanah UUPA tersebut, dibentuklah turunan
peraturan daerah (Qanun) untuk
menguatkan keberadaan lembaga adat (peradilan adat), struktur lembaga adat, dan
hukum adat.
Adapun qanun-qanun di maksud adalah, sebagai berikut:
- Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan
Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, yang disahkan pada 30 Desember 2008.
- Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat,
yang disahkan pada 30 Desember 2008.
- Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian
Imum Mukim, yang disahkan pada 28 Mei
2009.
- Qanun Aceh Nomor 4
Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik (Kepala Desa,
Kepala Kampung), yang disahkan pada 28 Mei 2009.
Dengan adanya undang-undang dan qanun-qanun di atas, dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa keberadaan hukum adat baik dalam arti materil maupun formil
(peradilan adat) dapat dikatakan telah ditempatkan dalam sistem hukum positif
(formal). Ini menunjukkan bahwa keberadaan hukum adat dan lembaga adat
(peradilan adatnya) lambat laun akan menuju pada perundang-undangan formal.
Konsekuensinya adalah, hukum adat dan peradilan adat dapat besifat kaku
sebagaimana praktik lembaga-lembaga formal lainnya. Jika perundang-undangan
tidak mengaturnya, maka praktik kebiasaan masyarakat sebagai unwritten law
(hukum tidak tertulis) yang telah dipraktikkan secara turun temurun akan
dianggap tidak mempunyai arti formal.
|