Tampilkan postingan dengan label Hukum dan HAM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum dan HAM. Tampilkan semua postingan

Jumat, 01 Maret 2019

KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILISI ACEH (KKRA)


KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILISI ACEH (KKRA)

KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILISI ACEH (KKRA) - Komisi Kebenaran dan Rekonsilisi Aceh yang disingkat KKR Aceh, merupakan perwujudan Pasal 228 Ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang menyebutkan bahwa untuk memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sesudah Undang-Undang ini diundangkan dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka KKR Aceh adalah sebuah lembaga independen yang dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran, pola motif atas pelanggaran HAM ringan dalam konflik bersenjata di Aceh selama dua masa tahapan, tahapan pertama dimulai dari tanggal 4 Desember 1976 sampai dengan tanggal 15 Agustus 2005 dan, tahapan kedua sebelum tanggal 4 Desember 1976. Jika adanya pelaporan selama perihal motif pelanggaran HAM oleh masyarakat selama dua periode tersebut Pihak KKR berhak untuk merekomendasikan, menindaklanjuti, merekomendasikan reparasi dan melaksanakan rekonsiliasi.

Dalam melaksanakan kerja KKR Aceh berasaskan keislaman, Ke-Acehan, Independensi, Imprasi, non diskriminasi, demokratisasi, berkeadilan dan kesetaraan, serta adanya kepastian hukum. Adapun maksud dari pada azas-azas sebagaimana disebutkan adalah sebagai berikut:
  1. Asas keislaman adalah Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi dalam proses penungkapan kebenaran haruslah sesuai dengan tuntunan agama Islam.
  2. Asas keacehan merupakan proses pengungkapan kebenaran harus memperhatikan kearifan lokal dan menjunjung tinggi adat-istiadat Aceh.
  3. Asas Imparsial adalah kemampuan KKR dalam menyelesaikan perkara HAM di Aceh untuk bertindak secara utuh  tanpa melakukan satu pemihakan pada satu atau lain pihak.
  4. Asas Non-diskriminasi adalah KKR Acehbekerja dengan tidak melakukan pembedaan atau pengecualian atas dasar gender, ras, keyakinan, agama, etnis dan pembedaan lainnya;
  5. Asas Demokratisasi dalam menyelesaikan perkara HAM di Aceh harus melindungi hak-hak dari para pihak demi kepentingan bersama.
  6. Asas keadilan dan kesetaraan proses pengungkapan kebenaran yang ada haruslah memperhatikan keadilan dan kesetaraan semua pihak.
  7. Asas  kepastian  hukum, dalam pengungkapan kebenaran berdasarkan landasan PeraturanPerundang-undangan, kepatutan, dan keadilan.
Terdapat beberapa tujuan dari pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsilisi adlah sebagai berikut:
  1. Memperkuat perdamaian dengan mengungkapkan kebenaran terhadappelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu.
  2. Membantu tercapainya rekonsiliasi antara pelaku pelanggaran HAM baik itu perorangan maupun lembaga dengan para korban, dan
  3. Merekomendasikan raparasi menyeluruh bagi korban pelanggaran HAM, sesuai dengan standar universal yang berkaitan dengan hak-hak korban.
Tujuan Rekonsiliasi yang di muat pada Pasal 33 Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Aceh adalah sebagai berikut:
  1. Merajut kembali persaudaraan yang terpecah dan menghilangkan dendam antara korban/keluarga korban danpelaku dalam rangka memperkuat keutuhan masyarakat dan bangsa.
  2. Membangun kebersamaan untuk menjaga keberlanjutan perdamaian.
  3. Mencegah berulangnya konflik, dan
  4. Menjaga keutuhan wilayah Aceh.


Kamis, 28 Februari 2019

REKONSILIASI BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI ACEH


REKONSILIASI BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI ACEH - Rekonsiliasi berasal dari kata reconciliation yang artinya perdamaian, perukunan kembali. Menurut Bristol dan Carol (1999: 159), berdamai kembali berarti menyelaraskan atau menyelesaikan suatu ketidakcocokan. Menurut Teuku Muttaqin Mansur (2017: 147) perdamaian adat merupakan suatu proses suatu peristiwa atau perbuatan yang memberikan dampak terhadap ganguan keseimbangan (reaksi) di dalam kehidupan bermasyarakat dan dipulihkan kembali dengan cara merukunkan kembali kedua belah pihak yang bersengketa melalui upacara adat.

REKONSILIASI BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI ACEH
(pendengaran suara korban pelanggaran HAM di Aceh oleh KKR Aceh)

Berdasarkan ketentuan Pasal 33 Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran Aceh, adalah:
  1. Merajut kembali persaudaraan yang terpecah dan menghilangkan dendam antara korban, keluarga korban dan pelaku dalam rangka memperkuat keutuhan masyarakat dan bangsa;
  2. Membangun kebersamaan untuk menjaga keberlanjutan perdamaian;
  3.  Mencegah berulangnya konflik, dan
  4.   Menjaga keutuhan Wilayah Aceh.
Pada Pasal 34 Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran Aceh mekanisme rekonsiliasi pada tingkat Gampong atau Kecamatan dalam rangka mengungkapkan kebenaran, pengakuan dan pengampunan yangberbasis kearifan lokal di Aceh adalah sebagai berikut :
  1. Proses rekonsiliasi harus diperlihatkan dan disaksikan Keuchik, Teungku Imum, Imum Mukim, Tuha Peut, Tuha Lapan, aparatur Gampong, Lembaga Adat setingkat Gampong atau Setingkat Mukim.
  2. Mempertemukan dan Melakukan mediasi antara pelaku dan korban.
  3. Jika para pihak sudah sepakat untuk berdamai, maka pelaku pelanggaran HAM memohon maaf kepada korban terbuka. Dalam permohonan maaf pelaku juga diharuskan utukk berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya dan pelaku diharuskan untuk membayar biaya restitusi sebagaimana telah diperjanjiakan oleh kedua belah pihak.
  4. Penerimaan penyataan maaf oleh korban secara terbuka.

Pada umumnya metode penyelesaian sengketa yang dilakukan secara turun-temurun dalam kearifan lokal masyarakat Aceh dilakukan melalui:
  1. Di’iet atau diyat dalam istilah syariat Islam bermakna pengganti jiwa atau anggota tubuh yang hilang atau rusak dengan harta, baik harta bergerak atau harta tidak bergerak.
  2. Sayam adalah bentuk kompensasi berupa harta yang diberikan oleh pelaku pidana terhadap korban atau ahli waris korban.
  3. Suloh berasal dari kata Al-Shulhu atau Ishlah adalah upaya perdamaian antar pihak yang bersengketa atau konflik.
  4. Peusijuk adalahTradisi ini biasanya dilakukan untuk memohon keselamatan, ketentraman, dan kebahagiaan dalamkehidupan. Dan,
  5. Peumat Jaroe merupakan suatu kegiatan berjabat tangan antara para pihak yang bersengketa.Peumat Jaroe biasanya dilakukan pada tahap akhir yang menandakan para pihak sudah saling memaafkan.