Tampilkan postingan dengan label asas peradilan adat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label asas peradilan adat. Tampilkan semua postingan

Senin, 23 Oktober 2017

HARI PANTANG MELAUT DALAM MASYARAKAT ADAT ACEH

Uroe pantang meulaot (hari pantang melaut dalam masyarakat adat Aceh

HARI PANTANG MELAUT DALAM MASYARAKAT ADAT ACEH – Terdapat beberapa lembaga adat yang masih berkembang semenjak zaman dulu sampai dengan sekarang dalam kehidupan masyarakat adat Aceh salah satunya adalah lembaga adat laot[1]. Lembaga adat laot dipimpin oleh seorang Panglima Laot.[2] Dari beberapa sumber menyatakan Panglima Laot telah berada pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda pada tahun (1607-1636) dan kurang lebih sudah 410 Tahun yang lalu dimana tugas dari seorang panglima Laot dipercayai sebagai petugas pemugut cukai pada tiap kapal-kapal yang bersandar di pelabuhan dan sebagai penghubung antara pihak pemerintahan dan pihak nelayan.

Istilah uroe pantang meulaot pada hukum adat laot Aceh dapat diartikan sebagai hari larangan bagi para nelayan untuk melaut. Adapun hari-hari pantang melaut (uroe pantang meulaot) dalam adat laot aceh adalah sebagai berikut:
  1.  1 (satu) hari pada hari Jum’at;
  2.  2 (dua) hari pada hari raya Idul Fitri;
  3. 4 (empat) hari pada hari raya Idul Adha;
  4. 1 (satu) hari pada hari perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yaitu pada Tangga 17 Agustus;
  5. 1 (satu) hari pada peringatan musibah Tsunami di Aceh tanggal 26 (dua puluh enam) Desember; dan.
  6. 3 (tiga) hari pada waktu pelaksaan kenduri Laut.


Terdapat beberapa sanksi jika para nelayan tidak memenuhi atau melanggar aturan adat laot di Aceh maka pihak yang melanggar akan diberikan hukuman yang berupa pertama, seluruh hasil tangkapan akan disita oleh pihak lembaga adat laot dalam hal ini dipimpin oleh Panglima Laot. Kedua, nelayan yang melanggar adat laot selain disita hasil tangkapan juga akan dikenakan sanksi larangan melaut paling cepat 3 (tiga) hari dan paling lama 7 (tujuh) hari.



[1] Laot merupakan arti dari kata laut.
[2] Panglima Laot adalah orang yang memimpin dan mengatur adat dan reusam pada wilayah pesisir dan laut.

Minggu, 22 Oktober 2017

Asas-Asas Dalam Peradilan Adat di Aceh

Asas-Asas Dalam Peradilan Adat di Aceh - Asas adalah suatu tatanan nilai-nilai sosial yang menduduki tngkatan yang tertinggi dari suatu sistem hukum serta tidak boleh disampingkan dari dan oleh suatu sistem hukum dengan bentuk apapun. Pada suatu sistem hukum adat yang hidup dalam kehidupan masyarakat adat Aceh diketahui terdapat sejumlah asas-asas yang pada umumnya dapat diterima oleh berbagai sistem hukum lainnya. Adapun asas-asas yang asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Asas terpercaya atau sering disebut dengan amanah (Acceptability).
Asas terpercaya (amanah) artinya suatu peradilan adat yang dilaksanakan oleh lembaga adat dalam kehidupan masyarakat adat dapat dipercayai oleh seluruh masyarakat adat.
2.      Asas Tanggung Jawab/Akuntabilitas (accountability).
Pada prinsip ini yang menjadi poin penting adalah suatu mekanisme pertanggung jawaban dalam pelaksanaan suatu peradilan adat dimana pada tiap penyelesaian suatu sengketa adat di dalam peradilan adat. Hasil dari suatu putusan ini harus dapat dipertanggung jawabkan di depan para pihak yang bersengketa, masyarakat yang menyaksikan, negara dan Allah SWT (Tuhan) selaku sang pencipta.
3.      Asas kesetaraan di depan hukum (equality before the law).
Suatu peradilan adat tidak boleh adanya unsur-unsur pembedaan kepada para pihak, di mana didalamnya terdapat suatu kesetaraan dalam hukum pada setiap Individu. Adapun Tujuan utama adanya Equality before the law adalah menegakkan keadilan dimana persamaan kedudukan berarti hukum sebagai satu entitas tidak membedakan siapapun yang meminta keadilan kepadanya.
4.      Asas cepat, mudah dan biaya murah (accessibility to all citizens).
Tiap-tiap putusan sengketa atau perkara yang berada pada peradilan adat haruslah dapat di jangkau oleh masyarakat adat baik menyangkut dari segi biaya, waktu dan prosedur tahapan beracara di peradilan adat.
5.      Asas ikhlas dan sukarela (voluntary nature).
Suatu keadilan adat tidak boleh memaksa para pihak untuk menyelesaikan perkaranya melalui peradilan adat, dengan kata lain. Jika para pihak ingin menyelesaikan perkara (sengketa) melalui jalur peradilan adat maka terlebih dahulu para pihak yangbersengketa haruslah benar-benar sepakat (tidak ada paksaan) untuk menyelesaikan perkara melalui jalur peradilan adat.
6.      Asas penyelesaian sengketa secara damai dan rukun (peaceful resolution).
Asas ini bertujuan hasil dari suatu putusan adat dapat mendamaikan lagi para pihak yang bersengketa dan menciptakan kembali rasa keseimbangan, keharmonisan dan kedamaian saat perkara adat itu dianggap selesai.
7.      Asas musyawarah atau mufakat (consensus).
Tiap seluruh proses peradilan adat
8.      Asas keterbukaan untuk umum (transparancy).
Pada asas ini menganjurkan untuk semua proses peradilan (kecuali untuk kasus-kasus tertentu) baik itu tahapan awal mulai penerimaan pengaduan, pemanggilan saksi, persidangan sampai pengambilan dan pembacaan putusan atau tahapan akhir persidangan peradilan adat haruslah dilaksanakan secara terbuka.
9.      Asas jujur dan kompetensi(competence/authority)
Asas jujur dan kompetensi sangat menekankan seorang ketua adat agar tidak mengambil suatu keuntungan dari sagala bentuk apapun baik itu bersifat material ataupun non material dari suatu penanganan perkara.
10.  Asas Keberagaman (pluralism)
Suatu peradilan adat haruslah menghargai keberagaman peraturan hukum yang terdiri dari berbagai sistem hukum adat dan berlaku dalam suatu masyarakat adat tertentu.
11.  Asas Praduga tak bersalah (presumption of innocence)
Dalam peradilan adat tidak mengenal adanya suatu tindakan main hakim sendiri. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan adat, juga wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan adat  yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
12.  Asas Berkeadilan (propotional justice)

Suatu putusan peradilan adat haruslah bersifat adil dan diterapkan berdasarkan pedoman-pedoman yang sesuai dengan parahnya suatu perkara dan keadaan ekonomi dari para pihak.