Uroe pantang meulaot (hari pantang melaut dalam masyarakat adat Aceh |
HARI
PANTANG MELAUT DALAM MASYARAKAT ADAT ACEH – Terdapat
beberapa lembaga adat yang masih berkembang semenjak zaman dulu sampai dengan
sekarang dalam kehidupan masyarakat adat Aceh salah satunya adalah lembaga adat laot[1].
Lembaga adat laot dipimpin oleh seorang Panglima
Laot.[2] Dari
beberapa sumber menyatakan Panglima Laot telah berada pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda pada tahun (1607-1636) dan kurang lebih sudah 410 Tahun
yang lalu dimana tugas dari seorang panglima Laot dipercayai sebagai petugas
pemugut cukai pada tiap kapal-kapal yang bersandar di pelabuhan dan sebagai
penghubung antara pihak pemerintahan dan pihak nelayan.
Istilah uroe pantang meulaot pada hukum adat laot Aceh dapat diartikan sebagai hari larangan bagi para nelayan untuk melaut.
Adapun hari-hari pantang melaut (uroe
pantang meulaot) dalam adat laot aceh adalah sebagai berikut:
- 1 (satu) hari pada hari Jum’at;
- 2 (dua) hari pada hari raya Idul Fitri;
- 4 (empat) hari pada hari raya Idul Adha;
- 1 (satu) hari pada hari perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yaitu pada Tangga 17 Agustus;
- 1 (satu) hari pada peringatan musibah Tsunami di Aceh tanggal 26 (dua puluh enam) Desember; dan.
- 3 (tiga) hari pada waktu pelaksaan kenduri Laut.
Terdapat beberapa
sanksi jika para nelayan tidak memenuhi atau melanggar aturan adat laot di Aceh maka pihak yang melanggar akan diberikan hukuman yang berupa pertama, seluruh hasil tangkapan akan disita oleh pihak lembaga adat laot dalam
hal ini dipimpin oleh Panglima Laot. Kedua, nelayan yang melanggar adat laot
selain disita hasil tangkapan juga akan dikenakan sanksi larangan melaut paling
cepat 3 (tiga) hari dan paling lama 7 (tujuh) hari.