Tampilkan postingan dengan label hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukum. Tampilkan semua postingan

Kamis, 05 Oktober 2017

SURAT GUGATAN HUTANG-PIUTANG

SURAT GUGATAN HUTANG-PIUTANG

SURAT
GUGATAN UTANG PIUTANG


Perihal : Gugatan Utang Piutang

Kepada Yth,
Ketua Pengadilan Negeri [..........................]
Di –
[.......................]

Dengan Hormat,

Yang bertanda tanggan dibawah ini,
[  n a m a ] [  j a b a t a n  ]. Berkantor di [.............................................................], berdasarkan surat kuasa tertanggal [.....................................], terlampir, bertindak untuk dan atas nama [.....................................], bertempat tinggal Jl. [.............................................................], Kota [.....................................], dalam hal ini telah memilih tempat kediaman hukum (domisili) di kantor kuasanya tersebut di atas, hendak menandatangani dan memajukan surat gugatan ini, selanjutnya akan disebut sebagai TERGUGAT.
Adapun dalil-dalil Gugatan Penggugat adalah sebagai berikut :
1.    Bahwa Tergugat pada tanggal [tanggal, bulan tahun] meminjam uang kepada penggugat sebesar Rp. [.....................................],-[(.....................................)] selama [.......................] tahun dengan perjanjian diatas materai.
2.    Bahwa dalam perjanjian tersebut pengguagat berjanji akan memberi keuntungan/bunga Rp.[.....................................],-[(.....................................)]  per bulan kepada tergugat.
3.    Bahwa pembayaran utang beserta bunganya dibayar sekaligus sebesar:
Utang Pokok = [.....................................],-[(.....................................)]
Bunga/keuntungan = Rp. [.......................],- x 24 bln = [.....................................],-[(.........................................................)] Jumlah = Rp. [......................],- + Rp. [......................],- = Rp. [.....................................],-[(...........................................................)]
Sehingga pengguat harus membayar Rp. [...................................],- ( .......................................................) kepada tergugat.
4.    Bahwa setelah jatuh tempo penggugat harus membayar uang beserta bunganya terhadap penggugat.
5.    Bahwa penggugat memberikan kuasa untuk memiliki dan menjual kepada pihak lain sertifikat Hak Milik Tanah N0.[.......] Tahun [........................], GS. No. [..................................] atas nama penggugat kepada tergugat yang dibuat dikantor notaris [......................], SH.
6.    Bahwa dalam perjanjian tanggal[ tanggal, bulan, tahun] jika tergugat tidak dapat membayar utang maka tergugat dapat menjual jaminan SHM tanah penggugat.
7.    Bahwa pada tanggal [tanggal, bulan, tahun] pembeli SHM atas nama penggugat memberitahukan kepada penggugat bahwa tanah tersebut dibeli dengan harga Rp. [..............................],- (.............................................................................) dibuktikan dengan poto copy kuitansi pembayaran tersebut. .
8.    Bahwa pada tanggal [tanggal, bulan, tahun]  penggugat menandatangani tergugat untuk menanyakan sisa hasil penjualan SHM atas tanah yang dikurangi utang dan bunga, tetapi tergugat mengelak bahwa tidak ada sisa hasil penjualan SHM tersebut.
9.    Bahwa tergugat tidak memberikan sisa uang dari penjualan atas jaminan SHM peggugat yaitu sebesar Rp. [......................],- (.........................) sampai saat ini.
10. Bahwa akibat itikat tidak baik dari tergugat menimbulkan kerugian materil dan inmateril, karena penggugat tidak mendapatkan sisa dari keuntungan penjualan tanah tersebut.
Berdasarkan hal-hal yang telah diurai diatas, maka kami untuk dan atas nama penggugat mohon kepada majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenaan untuk memberikan putusan sebagai berikut:

PRIMAIR:
§  Menerima dan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya.
§  Menghukum tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsoom) sebesar Rp. [...................],- (....................................................) setiap harinya apabila tergugat lalai menjalankan isi putusan.
§  menghukum tergugat untuk membayar kerugian materil yaitu sisa hasil penjualan tanah penggugat yang besar harga penjualan tanah dikurangi jumlah utang dan keuntungan selama [.....] tahun Rp. [..........................] – Rp. [..........................] = Rp. [...............................],-
§  Menghukum tergugat untuk membayar seluruh biaya yang timbul dari perkara ini.

SUBSIDAIR: Bila hakim berpedapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.

Demikian gugatan ini kami ajukan, atas perhatian Majelis Hakim yang terhormat Kami ucapkan terima kasih.


Hormat Kuasa Pengguagat


(..................................)


Selasa, 11 Juli 2017

HUKUM PERJANJIAN ADAT

Ilustrasi Hukum Perjanjian Adat

Hukum Perjanjian Adat - Menurut Hilman Hadikusuma, yang dimaksud dengan hukum perjanjian adat adalah hukum yang meliputi uraian tentang hukum perhutangan (schuldenrecht) adapun termasuk di dalamnya meliputi soal ataupun mekanisme-mekanisme transaksi atas tanah (groundtransakties) dan transaksi-transaksi yang menyangkut tanah (transaksi waarbij ground betrokkenis).
Dalam hukum perhutangan (schuldenrecht) dalam hukum adat menyangkut:[1]
a.       Beri-memberi.
b.      Pakai-memakai.
c.       Pinjam-meminjam.
d.      Tanggung-menanggung.
e.       Tukar-menukar.
f.       Jual-beli.
g.      Titip-menitip.
h.      Urus-mengurus.
i.        Sewa-menyewa.
j.        Kerja-mengerjakan.
Terhadap perjanjian yang menyangkut tanah antara lain menurut hukum adat adalah:
a)      Perjanjian bagi-hasil.
b)      Perjanjian sewa-menyewa.
c)      Perjanjian berganda.
d)     Perjanjian pinjam-meminjam dengan jaminan tanah.
e)      Perjanjian semu (simulasi).
Hukum perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan hukum perjanjian adat mempunyai perbedaan-perbedaan. Perbedaan ini disebabkan oleh latar belakang alam pikiran kebudayaan masyarakat yangmelahirkan hukum yang berasal dari dasar kejiwaanya. Hukum perjanjian barat bertitik tolak pada dasar kejiwaan kepentingan perseorangan yang bersifat kebendaan, sedangkan hukum perjanjian adat bertitik tolak pada dasar kejiwaan kekeluargaan dan kerukunan serta bersifat tolong-menolong. Di samping itu perjanjian menurut hukum barat menerbitkan perikatan, sedangkan perjanjian menurut paham adat untuk mengikatnya perjanjian harus adanya tanda pengikat dan kemudian perjanjian menurut hukum adat tidak selamanaya menyangkut hubungan hukum mengenai harta benda, tetapi juga menyangkut dengan perjanjian selain kebendaan. Perbedaan yang lainnya terletak pada sifat dari suatu perjanjian.
Menurut Mahadi yang menyatakan perjanjian adat tidak hanya bersifat konsensual saja tetapi juga bersifat kongkrit, oleh karena itu kata-kata saja belum dapat mengikat persesuaian paham, akan tetapi harus bersifat kongkrit.[2] Sedangkan menurut Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa hukum adat tidak mengenai perbedaan antara benda-benda tetap dan benda-benda bergerak, tetap atau tidak tetapnya suatu benda dilihat dari kemungkinan dan keadaannya.[3] 




[1] A. Malik, Perjanjian “Gala” dalam Masyarakat Hukum Adat Aceh di Kecamatan Lhoknga/Leupung Kabupaten DATI II Aceh Besar, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 1997, hal 33.
[2] Mahadi, Soal Dewasa, cetakan ke II, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, Medan, 1991, hal 140.
[3] Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, Hal 6.