Minggu, 19 November 2017

DISKRESI DALAM PELAKSANAAN TUGAS KEPOLISIAN

DISKRESI DALAM PELAKSANAAN TUGAS KEPOLISIAN - Sebelum kita membicarakan pelaksanaan Diskresi Kepoloisian dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas- tugas kepolisian maka perlu kita terlebih dahulu mengenal Etika Profesi Kepolisian, sebagai hal yang sangat fundamental dan penting dan besar pengaruhnya terhadap baik- buruknya pelaksanaan Diskresi Kepolisian.  Etika profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral yang meliputi pada pengabdian, kelembagaan dan kenegaraan, selanjutnya disusun kedalam Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Etika profesi kepolisian terdiri dari :
  1. Etika pengabdian/kepribadian merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,  penegak hukum serta pelindung,  pengayom dan pelayan masyarakat.
  2. Etika kelembagaan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap institusinya yang menjadi wadah pengabdian yang patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua insan Bhayangkara dan segala martabat dan kehormatannya.
  3. Etika kenegaraan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk senantiasa bersikap netral,  mandiri dan  tidak terpengaruh oleh kepentingan politik, golongan dalam rangka menjaga tegaknya hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kode etik profesi Polri mencakup norma prilaku dan moral yang dijadikan pedoman sehingga menjadi pendorong semangat dan rambu nurani bagi setiap anggota untuk pemulihan profesi kepolisian agar dijalankan sesuai tuntutan dan harapan masyarakat. Jadi polisi harus benar-benar jadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, serta sebagai penegak hukum yang bersih agar tercipta clean governance dan good governance.

Tindakan diskresi yang diputuskan oleh petugas operasional di lapangan secara langsung pada saat itu juga dan tanpa meminta petunjuk atau keputusan dari atasannya adalah diskresi yang bersifat individual, sebagai contoh untuk menghindari terjadinya penumpukan arus lalu lintas di suatu ruas jalan, petugas kepolisian memberi isyarat untuk terus berjalan kepada pengemudi kendaaraan meskipun saat itu lampu pengatur lalu lintas berwarna merah dan sebagainya.

Adapun tindakan untuk mengesampingkan perkara, untuk menahan atau tidak melakukan penahanan terhadap tersangka/pelaku pelanggaran hukum atau menghentikan proses penyidikan, bukanlah tindakan diskresi individual petugas kepolisian. Tindakan tersebut merupakan tindakan diskresi birokrasi karena dalam pengambilan keputusan diskresi berdasarkan atau berpedoman pada kebijaksanaan–kebijaksanaan pimpinan dalam organisasi dan hal tersebut telah dijadikan kesepakatan diantara mereka.
Selain pantas untuk dilakukan diskresi juga merupakan hal yang penting bagi pelaksanaan tugas polisi karena :
  1. Undang-undang ditulis dalam bahasa yang terlalu umum untuk bisa dijadikan petunjuk pelaksanaan sampai detail bagi petugas dilapangan;
  2. Hukum adalah sebagai alat untuk mewujudkan keadilan dan menjaga ketertiban dan tindakan hukum bukanlah satu-satunya jalan untuk mencapai hal tersebut;
  3. Pertimbangan sumber daya dan kemampuan dari petugas kepolisian.
James Q Wilson mengemukakan ada empat tipe situasi tindakan diskresi yang mungkin dilaksanakan, yaitu :
  1. police-invoked law enforcement, petugas cukup luas alasannya untuk melakukan tindakan diskresi, tetapi kemungkinannya dimodifikasi oleh kebijaksanaan pimpinannya;
  2. citizen-invoked law enforcement, diskresi sangat kecil kemungkinan dilaksanakan, karena inisiatornya adalah masyarakat;
  3. police-invoked order maintenance, diskresi dan pengendalian pimpinan seimbang (intermidiate), apakah pimpinannya akan memerintahkan take it easy atau more vigorous; dan
  4. citizen-invoked order maintenance, pelaksanaan diskresi perlu dilakukan walau umumnya kurang disetujui oleh atasannya.

Dalam kenyataannya hukum memang tidak bisa secara kaku untuk diberlakukan kepada siapapun dan dalam kondisi apapun seperti yang tercantum dalam bunyi perundang-undangan. Pandangan yang sempit didalam hukum pidana bukan saja tidak sesuai dengan tujuan hukum pidana, tetapi akan membawa akibat kehidupan masyarakat menjadi berat, susah dan tidak menyenangkan. Hal ini dikarenakan segala gerak aktivitas masyarakat diatur atau dikenakan sanksi oleh peraturan. Jalan keluar untuk mengatasi kekuatan-kekuatan itu oleh hukum adalah diserahkan kepada petugas penegak hukum itu sendiri untuk menguji setiap perkara yang masuk didalam proses, untuk selanjutnya diadakan penyaringan-penyaringan yang dalam hal ini disebut dengan diskresi.
Bila diskresi diterapkan secara salah maka akan terjadi penyimpangan, menurut Teori dari Klitgard ;1998  seperti yang dikutip Meliala (2000) untuk menjelaskan penyimpangan diskresi sebagai korupsi polisi tersebut adalah sebagai berikut:

C = P + D - A
Keterangan : C = Corruption, P = Power, D = Discretion, A = Accountability.

Jerimi Pope menyatakan :
Coruption involves behavior on the part of officials in the public sector; whether politician or civil servants, in wich they improperly and unlawfully enrich them selves or those close to them by the misuse of the public power entrusted them (Saputro paulus : 2000).

Diskresi yang dilakukan dalam menangani berbagai masalah atau pelanggaran hukum tidak ada aturan atau batasan yang jelas sehingga sering menyimpang dari ketentuan atau prinsip dari diskresi. Masalah dalam pelaksanaan diskresi yang dilakukan oleh polisi adalah : Pertama bersifat individual oleh petugas polisi di lapangan yang menjadi dasar adalah apa yang diketahui atau dimengerti oleh petugas dilapangan yang dianggap benar.

Pelaksanaan hukum secara selektif merupakan bentuk diskresi birokrasi di mana pengambil kebijaksanaan kepolisian menentukan prioritas organisasi kepada para petugas di lapangan. Ditinjau dari segi hukum pidana formal, tindakan Polisi untuk mengesampingkan perkara pidana tidak bisa dibenarkan begitu saja karena sifat hukum pidana yang tak kenal kompromi. Sedangkan alasan-alasan sosiologis yang biasa digunakan dalam praktek, bersifat subjektif dan sangat situasional dan ini memerlukan landasan hukum yang tegas agar terdapat kepastian hukum baik bagi penyidik maupun bagi masyarakat. Ditinjau dari pelaksanaan operasional Kepolisian, tindakan mengesampingkan perkara juga dilakukan, dengan pertimbangan masing-masing perkara itu bisa berbeda-antara satu tempat dengan tempat lain.

Tindakan tersebut di atas dilakukan oleh para petugas kepolisian dapat dikerenakan adanya kekaburan pemahaman hukum yang berkaitan dengan kewenangan diskresi, kebijaksanaan-kebijaksanaan dari para pejabat dalam birokrasi, yang mendukung atau merestui tindakan diskresi dijadikan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya dan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Hal tersebut juga dapat diakibatkan kurang baiknya sistem kontrol (pseudo control). Hal lain yang juga mempengaruhi adalah dari masyarakatnya yang kadang enggan untuk menyelesaikan perkaranya dengan jalur hukum.

Sabtu, 18 November 2017

PENGERTIAN HUKUM PERUSAHAAN

Ilustrasi Perusahaan

PENGERTIAN HUKUM PERUSAHAAN - Perusahaan adalah istilah ekonomi yang dipakai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan perundang-undangan di luar KUHD. Adapun pengertian perusahaan oleh beberapa ahli adalah sebagai berikut:
Menurut Molengraaff (1966), perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, bertindak ke Iuar, untuk memperoleh penghasilan, dengan cara memperdagangkan atau menyerahkan barang atau mengadakan perjanjian perdagangan. Beliau memandang pengertian perusahaan dari sudut ekonomi karena tujuan memperoleh penghasilan dilakukan dengan cara:
  1. Memperdagangkan barang, artinya membeli barang dan menjualnya lagi dengan perhitungan memperoleh penghasilan berupa keuntungan atau Iaba;
  2. Menyerahkan barang, artinya melepaskan penguasaan atas barang dengan perhitungan memperoleh penghasilan, misalnya menyewakan barang;
  3. Perjanjian perdagangan, yaitu menghubungkan pihak yang satu dengan pihak yang lain dengan perhitungan memperoleh penghasilan berupa keuntungan atau laba bagi pemberi kuasa, dan upah bagi penerima kuasa, misalnya makelar, komisioner, agen perusahaan.


Polak (1935) memandang perusahaan dan sudut komersial, artinya baru dapat dikatakan perusahaan apabila diperlukan perhitungan laba dan rugi yang dapat diperkirakan dan dicatat dalam pembukuan. Di sini Polak menambahkan unsur pembukuan pada unsur-unsur lain seperti yang telah dikemukakan oleh Molengraaff.

Dalam Pasal 1 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan ditentukan: Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus-menerus dan didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wllayah negara Indonesia dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka dalam definisi perusahaan terdapat 2 (dua) unsur pokok, yaitu: Bentuk usaha yang berupa organisasi atau badan usaha, yang didirikan, bekerja dan berkedudukan dalam wilayah negara Indonesia. Dalam bahasa Inggris disebut company. Jenis usaha yang berupa kegiatan dalam bidang perekonomian (perindustrian, perdagangan, penjasaan, pembiayaan) dijalankan oleh badan usaha secara terus-menerus, dalam bahasa lnggris disebut business. Bentuk usaha adalah organisasi usaha atau badan usaha yang menjadi wadah penggerak setiap jenis usaha, yang disebut bentuk hukum perusahaan. Bentuk hukum perusahaan persekutuan dan badan hukum sudah diatur dengan undang-undang, Firma (Fa) dan Persekutuan Komanditer (CV) di atur dalam KUHD, Perseroan Terbatas (PT) diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, Koperasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992.

Jumat, 17 November 2017

Pengaturan persekutuan dalam Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1652 dalam KUHPerdata

Pengaturan persekutuan dalam Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1652 dalam KUHPerdata - pengaturan persekutuan dalam Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1652 dalam KUHPerdata beserta azas-azas yang terdapat dalam rumusan pasal-pasal tersebut:

Pasal
Azas
Keterangan
1618
Azas konsensual diatur dalam Pasal 1320 angka 1 dan azas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1320 angka 4jo. Pasal 1337
Pasal ini mengatur tentang batasan atau pengertian persekutuan/ perserikatan perdata.
Azas konsensual dan azas kebebasan berkontrak tamapk dari batasan pengertian persekutuan tersebut, dimana persekutuan antara lain lahir karena adanya perjanjian, sehingga berlaku di dalamnya azas-azas perjanjian seperti kesepakatan para pihak dan kebebasan berkontrak, maupun azas-azas perjanjian lainnya.
1619
Azas Kebebasan Berkontrak diatur dalam Pasal 1320 angka 4jo. Pasal 1337
Pasal ini mengatur tentang kausa yang halal, manfaat bagi para pihak, dan inbreng sebagai syarat sebuah persekutuan.
Pasal ini mengatur hubungan internal
1620
Azas kebebasan berkontrak (causa yang halal) diatur dalam Pasal 1320 angka 4 jo. Pasal 1337
Pasal ini mengatur tentang jenis persekutuan adalah penuh (umum) atau khusus.
1621
Pasal ini mengatur tentang jenis/ batasan persekutuan penuh/ umum. Tujuan persekutuan adalah mencari keuntungan.
1622
Pasal ini mengatur tentang jenis/ batasan persekutuan penuh/ umum.
1623
Pasal ini mengatur tentang jenis/ batasan persekutuan khusus
1624
Azas konsensual diatur dalam Pasal 1320 angka 1 dan azas pacta sunt servanda diatur dalam Pasal 1338 ayat 1
Pasal ini mengatur bahwa saat mulai berlakunya persekutuan adalah sejak saat perjanjian, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian.
Azas konsensual dapat dilihat dari adanya kesepakatan para pihak untuk membuat mengikatkan diri dalam persekutuan. Azas pacta sunt servanda terlihat dari berlakunya perjanjian dimaksud.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1625
Azas pacta sunt servanda diatur dalam Pasal 1338 ayat 1
Pasal ini mengatur bahwa setiap sekutu berhutang atas inbreng yang telah disanggupi dan wajib menanggungnya.
Bahwa ketika si sekutu menyatakan kesanggupannya untuk inbreng, maka pernyataan kesanggupannya itu mengikatnya sebagai kewajiban yang harus dipenuhi.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1626
Azas pacta sunt servanda diatur dalam Pasal 1338 ayat 1
Pasal ini mengatur bahwa sekutu dibebani bunga atas kewajiban memasukkan uang pada persekutuan yang tidak dilakukannya, terhitung sejak kapan uang tersebut seharusnya dimasukkan.
Bahwa ketentuan dalam pasal ini masih terkait dengan berlakunya perjanjian sebagai undang-undang bagi pihak-pihaknya, sehingga tidak dipenuhinya satu kewajiban, dalam hal ini kewajiban sekutu untuk memasukkan sejumlah uang, membawa konsekuensi berupa pengenaan bunga demi hukum.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1627
Pasal ini mengatur tentang kewajiban sekutu yang memasukkan tenaga dan keahlian dalam persekutuan.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1628
Azas Itikad Baik, diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW
Azas keadilan proporsional
Pasal ini mengatur bahwa pembayaran pihak ketiga kepada salah satu sekutu atas hutangnya kepada salah satu sekutu itu dan kepada persekutuan dianggap merupakan pembayaran atas kedua hutang tersebut sesuai dengan proporsi kedua hutang tersebut.
Itikad baik dalam Pasal 1628 ini ditunjukkan oleh sekutu penerima pembayaran dari pihak ketiga (debitur) yang menyerahkan (menganggap) bahwa pembayaran yang diterimanya adalah juga pembayaran atas hutang persekutuan.
Dalam hal ini kepentingan persekutuan lebih diutamakan dari kepentingan salah satu sekutu, dengan perhitungan atau perbandingan secara proporsional.
Pasal ini mengatur hubungan internal dan eksternal.
1629
Azas Itikad Baik, diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW
Azas keadilan proporsional
Pasal ini melindungi kepentingan sekutu lain dalam persekutuan, terkait pembagian piutang yang telah dilunasi sehubungan dengan ketidakmampuan orang yang berhutang kepada persekutuan.
Itikad baik dalam Pasal 1629 ditunjukkan oleh sekutu yang telah menerima pembayaran atas seluruh bagiannya dalam piutang bersama, kemudian menganggap pelunasan yang diterimanya itu merupakan pelunasan atas piutang persekutuan sesuai proporsinya.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1630
Pasal ini mengatur tentang kewajiban masing-masing sekutu untuk memberikan ganti rugi atas kerugian yang diderita persekutuan
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1631
Pasal ini mengatur bahwa jika hanya kenikmatan atas barang yang dimasukkan dalam persekutuan (inbreng), tanggungan atas barang tetap pada sekutu yang memilikinya, tidak menjadi tanggungan persekutuan. Jika barang musnah karena pemakaian, menurun nilainya karena ditahan, dimaksudkan untuk dijual, dimasukkan dalam persekutuan dengan nilai taksiran tertentu, maka barang tersebut menjadi tanggungan persekutuan.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1632
Azas itikad baik, diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW
Pasal ini mengatur bahwa tuntutan sekutu kepada persekutuan dapat berupa tuntutan atas biaya dimuka yang dikeluarkannya untuk kepentingan persekutuan, perikatan-perikatan berdasarkan itikad baik untuk kepentingan persekutuan, kerugian-kerugian yang timbul sebagai akibat pengurusannya.
Bahwa tuntutan tersebut dapat dituntutkan kepada persekutuan selama tindakan-tindakan kepengurusan dan akibatnya tersebut dilakukan berdasarkan itikad baik demi kepentingan persekutuan.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1633
Azas keadilan proporsional
Pasal ini mengatur bahwa jika tidak diperjanjikan, pembagian keuntungan dan kerugian kepada masing-masing sekutu dilakukan secara proporsional, sesuai dengan inbreng nya. Bagi sekutu yang memiliki inbreng berupa keahliannya, keuntungan atau kerugian yang diperoleh adalah sama dengan sekutu yang paling sedikit inbreng nya.
Pasal ini mengatur hubungan internal.


1634
Azas kemanfaatan bersama
Azas kesetaraan (equality)
Azas Personalia diatur dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata
Pasal ini melarang menyerahkan keputusan pembagian keuntungan kepada salah satu sekutu atau pihak ketiga.
Bahwa dalam pasal ini ditentukan masing-masing sekutu adalah setara antara satu dengan yang lainnya, tidak dapat ditentukan keputusan pembagian keuntungan atau kerugian dilakukan oleh salah satu sekutu. Didalamnya juga terkandung azas personalia, bahwa perjanjian dalam persekutuan tersebut tidak dapat membawa keuntungan atau akibat bagi pihak ketiga.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1635
Azas kemanfaatan bersama
Azas keadilan proporsional
Pasal ini melarang menyerahkan keuntungan seluruhnya kepada satu orang sekutu. Tapi boleh memperjanjikan kerugian akan dipikul salah seorang sekutu atas kesalahannya.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1636
Azas itikad baik, diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW
Pasal ini mengatur tentang pemberian kuasa kepada seorang sekutu untuk mengurus persekutuan. Si sekutu harus melaksanakan kekuasaannya dengan itikad baik.
Bahwa sekutu yang ditunjuk menjadi pengurus atau wakil dari persekutuan harus melaksanakan tindakan kepengurusannya itu dengan itikad baik.
Pasal ini mengatur hubungan internal dan eksternal.
1637
Pasal ini mengatur tentang pemberian kuasa kepada beberapa orang sekutu, jika tidak ditentukan spesifikasi keuasaannya, atau tidak ada larangan untuk bertindak sendiri, maka tiap sekutu dapat melakukan perbuatan-perbuatan untuk pengurusan persekutuan.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1638
Azas pacta sunt servanda diatur dalam Pasal 1338 ayat 1
Pasal ini mengatur bahwa jika telah ditentukan dalam perjanjian, pengurusan persekutuan harus dilakukan beberapa sekutu secara bersama-sama.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1639
Azas itikad baik, diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW
Pasal ini mengatur tentang cara mengurus persekutuan.
Angka 3: sekutu yang telah melakukan pengurusan persekutuan dengan itikad baik dapat mewajibkan sekutu lainnya untuk turut memikul biaya pemeliharaan benda-benda miliki persekutuan 
Pasal ini mengatur hubungan internal dan eksternal.
1640
Pasal ini mengatur bahwa sekutu yang bukan pengurus dilarang mengasingkan, menggadaikan, meletakkan beban atas benda-benda milik persekutuan.
Pasal ini mengatur hubungan internal dan eksternal.
1641
Pasal ini mengatur bahwa sekutu boleh memasukkan orang lain sebagai peserta untuk bagiannya dalam persekutuan, tetapi tidak sebagai sekutu dalam persekutuan kecuali atas persetujuan sekutu lainnya.
Pasal ini mengatur hubungan internal dan eksternal.
1642
Azas Personalia diatur dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata
Pasal ini mengatur tentang batasan keterikatan sekutu-sekutu atas hutang persekutuan.
Pasal ini mengatur hubungan internal dan eksternal
1643
Pasal ini mengatur tentang batasan tuntutan pihak ketiga atas piutangnya kepada sekutu-sekutu.
Pasal ini mengatur hubungan eksternal
1644
Azas Personalia diatur dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata
Pasal ini mengatur bahwa janji bahwa suatu perbuatan telah dilakukan atas tanggungan persekutuan hanya mengikat sekutu yang membuat perjanjian saja, tidak mengikat sekutu lain.
Pasal ini mengatur hubungan internal dan eksternal
1645
Pasal ini mengatur bahwa persekutuan boleh menuntut pelaksanaan perjanjian yang dibuat sekutu atas nama persekutuan.
Pasal ini mengatur hubungan internal dan eksternal
1646
Pasal ini mengatur tentang hal-hal yang menyebabkan berakhirnya persekutuan.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1647
Pasal ini mengatur tentang lewatnya waktu persekutuan.
Pasal ini mengatur hubungan internal
1648
Pasal ini mengatur bahwa persekutuan bubar karena musnahnya barang yang dijanjikan dimasukkan dalam persekutuan sebelum terjadinya pemasukan atau karena yang dijanjikan untuk dimasukkan hanyalah kenikmatan atas benda tersebut, kecuali musnahnya barang yang hak miliknya dimasukkan dalam persekutuan.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1649
Azas Itikad Baik, diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW
Pasal ini mengatur bahwa persekutuan tanpa waktu tertentu bubar karena kehendak dan pernyataan seorang atau beberapa orang sekutu yang dilakukan dengan itikad baik.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1650
Azas Itikad Baik, diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW
Pasal ini mengatur tentang batasan itikad baik atas kehendak dan pernyataan penghentian persekutuan.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1651
Azas Pacta sunt servanda, diatur dalam Pasal 1320 ayat 1
Pasal ini mengatur bahwa jika telah ditentukan dimuka, maka persekutuan harus terus dilanjutkan meskipun salah satu sekutu meninggal, baik diteruskan dengan ahli waris sekutu yang meninggal atau diteruskan oleh sekutu-sekutu yang masih hidup.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1652
Azas keadilan proporsional
Pasal ini mengatur tentang pembagian hasil (keuntungan/ kerugian) kepada para sekutu atau ahli warisnya jika persekutuan bubar.
Pasal ini mengatur hubungan internal