Sabtu, 18 November 2017

PENGERTIAN HUKUM PERUSAHAAN

Ilustrasi Perusahaan

PENGERTIAN HUKUM PERUSAHAAN - Perusahaan adalah istilah ekonomi yang dipakai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan perundang-undangan di luar KUHD. Adapun pengertian perusahaan oleh beberapa ahli adalah sebagai berikut:
Menurut Molengraaff (1966), perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, bertindak ke Iuar, untuk memperoleh penghasilan, dengan cara memperdagangkan atau menyerahkan barang atau mengadakan perjanjian perdagangan. Beliau memandang pengertian perusahaan dari sudut ekonomi karena tujuan memperoleh penghasilan dilakukan dengan cara:
  1. Memperdagangkan barang, artinya membeli barang dan menjualnya lagi dengan perhitungan memperoleh penghasilan berupa keuntungan atau Iaba;
  2. Menyerahkan barang, artinya melepaskan penguasaan atas barang dengan perhitungan memperoleh penghasilan, misalnya menyewakan barang;
  3. Perjanjian perdagangan, yaitu menghubungkan pihak yang satu dengan pihak yang lain dengan perhitungan memperoleh penghasilan berupa keuntungan atau laba bagi pemberi kuasa, dan upah bagi penerima kuasa, misalnya makelar, komisioner, agen perusahaan.


Polak (1935) memandang perusahaan dan sudut komersial, artinya baru dapat dikatakan perusahaan apabila diperlukan perhitungan laba dan rugi yang dapat diperkirakan dan dicatat dalam pembukuan. Di sini Polak menambahkan unsur pembukuan pada unsur-unsur lain seperti yang telah dikemukakan oleh Molengraaff.

Dalam Pasal 1 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan ditentukan: Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus-menerus dan didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wllayah negara Indonesia dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka dalam definisi perusahaan terdapat 2 (dua) unsur pokok, yaitu: Bentuk usaha yang berupa organisasi atau badan usaha, yang didirikan, bekerja dan berkedudukan dalam wilayah negara Indonesia. Dalam bahasa Inggris disebut company. Jenis usaha yang berupa kegiatan dalam bidang perekonomian (perindustrian, perdagangan, penjasaan, pembiayaan) dijalankan oleh badan usaha secara terus-menerus, dalam bahasa lnggris disebut business. Bentuk usaha adalah organisasi usaha atau badan usaha yang menjadi wadah penggerak setiap jenis usaha, yang disebut bentuk hukum perusahaan. Bentuk hukum perusahaan persekutuan dan badan hukum sudah diatur dengan undang-undang, Firma (Fa) dan Persekutuan Komanditer (CV) di atur dalam KUHD, Perseroan Terbatas (PT) diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, Koperasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992.

Jumat, 17 November 2017

Pengaturan persekutuan dalam Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1652 dalam KUHPerdata

Pengaturan persekutuan dalam Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1652 dalam KUHPerdata - pengaturan persekutuan dalam Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1652 dalam KUHPerdata beserta azas-azas yang terdapat dalam rumusan pasal-pasal tersebut:

Pasal
Azas
Keterangan
1618
Azas konsensual diatur dalam Pasal 1320 angka 1 dan azas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1320 angka 4jo. Pasal 1337
Pasal ini mengatur tentang batasan atau pengertian persekutuan/ perserikatan perdata.
Azas konsensual dan azas kebebasan berkontrak tamapk dari batasan pengertian persekutuan tersebut, dimana persekutuan antara lain lahir karena adanya perjanjian, sehingga berlaku di dalamnya azas-azas perjanjian seperti kesepakatan para pihak dan kebebasan berkontrak, maupun azas-azas perjanjian lainnya.
1619
Azas Kebebasan Berkontrak diatur dalam Pasal 1320 angka 4jo. Pasal 1337
Pasal ini mengatur tentang kausa yang halal, manfaat bagi para pihak, dan inbreng sebagai syarat sebuah persekutuan.
Pasal ini mengatur hubungan internal
1620
Azas kebebasan berkontrak (causa yang halal) diatur dalam Pasal 1320 angka 4 jo. Pasal 1337
Pasal ini mengatur tentang jenis persekutuan adalah penuh (umum) atau khusus.
1621
Pasal ini mengatur tentang jenis/ batasan persekutuan penuh/ umum. Tujuan persekutuan adalah mencari keuntungan.
1622
Pasal ini mengatur tentang jenis/ batasan persekutuan penuh/ umum.
1623
Pasal ini mengatur tentang jenis/ batasan persekutuan khusus
1624
Azas konsensual diatur dalam Pasal 1320 angka 1 dan azas pacta sunt servanda diatur dalam Pasal 1338 ayat 1
Pasal ini mengatur bahwa saat mulai berlakunya persekutuan adalah sejak saat perjanjian, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian.
Azas konsensual dapat dilihat dari adanya kesepakatan para pihak untuk membuat mengikatkan diri dalam persekutuan. Azas pacta sunt servanda terlihat dari berlakunya perjanjian dimaksud.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1625
Azas pacta sunt servanda diatur dalam Pasal 1338 ayat 1
Pasal ini mengatur bahwa setiap sekutu berhutang atas inbreng yang telah disanggupi dan wajib menanggungnya.
Bahwa ketika si sekutu menyatakan kesanggupannya untuk inbreng, maka pernyataan kesanggupannya itu mengikatnya sebagai kewajiban yang harus dipenuhi.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1626
Azas pacta sunt servanda diatur dalam Pasal 1338 ayat 1
Pasal ini mengatur bahwa sekutu dibebani bunga atas kewajiban memasukkan uang pada persekutuan yang tidak dilakukannya, terhitung sejak kapan uang tersebut seharusnya dimasukkan.
Bahwa ketentuan dalam pasal ini masih terkait dengan berlakunya perjanjian sebagai undang-undang bagi pihak-pihaknya, sehingga tidak dipenuhinya satu kewajiban, dalam hal ini kewajiban sekutu untuk memasukkan sejumlah uang, membawa konsekuensi berupa pengenaan bunga demi hukum.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1627
Pasal ini mengatur tentang kewajiban sekutu yang memasukkan tenaga dan keahlian dalam persekutuan.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1628
Azas Itikad Baik, diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW
Azas keadilan proporsional
Pasal ini mengatur bahwa pembayaran pihak ketiga kepada salah satu sekutu atas hutangnya kepada salah satu sekutu itu dan kepada persekutuan dianggap merupakan pembayaran atas kedua hutang tersebut sesuai dengan proporsi kedua hutang tersebut.
Itikad baik dalam Pasal 1628 ini ditunjukkan oleh sekutu penerima pembayaran dari pihak ketiga (debitur) yang menyerahkan (menganggap) bahwa pembayaran yang diterimanya adalah juga pembayaran atas hutang persekutuan.
Dalam hal ini kepentingan persekutuan lebih diutamakan dari kepentingan salah satu sekutu, dengan perhitungan atau perbandingan secara proporsional.
Pasal ini mengatur hubungan internal dan eksternal.
1629
Azas Itikad Baik, diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW
Azas keadilan proporsional
Pasal ini melindungi kepentingan sekutu lain dalam persekutuan, terkait pembagian piutang yang telah dilunasi sehubungan dengan ketidakmampuan orang yang berhutang kepada persekutuan.
Itikad baik dalam Pasal 1629 ditunjukkan oleh sekutu yang telah menerima pembayaran atas seluruh bagiannya dalam piutang bersama, kemudian menganggap pelunasan yang diterimanya itu merupakan pelunasan atas piutang persekutuan sesuai proporsinya.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1630
Pasal ini mengatur tentang kewajiban masing-masing sekutu untuk memberikan ganti rugi atas kerugian yang diderita persekutuan
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1631
Pasal ini mengatur bahwa jika hanya kenikmatan atas barang yang dimasukkan dalam persekutuan (inbreng), tanggungan atas barang tetap pada sekutu yang memilikinya, tidak menjadi tanggungan persekutuan. Jika barang musnah karena pemakaian, menurun nilainya karena ditahan, dimaksudkan untuk dijual, dimasukkan dalam persekutuan dengan nilai taksiran tertentu, maka barang tersebut menjadi tanggungan persekutuan.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1632
Azas itikad baik, diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW
Pasal ini mengatur bahwa tuntutan sekutu kepada persekutuan dapat berupa tuntutan atas biaya dimuka yang dikeluarkannya untuk kepentingan persekutuan, perikatan-perikatan berdasarkan itikad baik untuk kepentingan persekutuan, kerugian-kerugian yang timbul sebagai akibat pengurusannya.
Bahwa tuntutan tersebut dapat dituntutkan kepada persekutuan selama tindakan-tindakan kepengurusan dan akibatnya tersebut dilakukan berdasarkan itikad baik demi kepentingan persekutuan.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1633
Azas keadilan proporsional
Pasal ini mengatur bahwa jika tidak diperjanjikan, pembagian keuntungan dan kerugian kepada masing-masing sekutu dilakukan secara proporsional, sesuai dengan inbreng nya. Bagi sekutu yang memiliki inbreng berupa keahliannya, keuntungan atau kerugian yang diperoleh adalah sama dengan sekutu yang paling sedikit inbreng nya.
Pasal ini mengatur hubungan internal.


1634
Azas kemanfaatan bersama
Azas kesetaraan (equality)
Azas Personalia diatur dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata
Pasal ini melarang menyerahkan keputusan pembagian keuntungan kepada salah satu sekutu atau pihak ketiga.
Bahwa dalam pasal ini ditentukan masing-masing sekutu adalah setara antara satu dengan yang lainnya, tidak dapat ditentukan keputusan pembagian keuntungan atau kerugian dilakukan oleh salah satu sekutu. Didalamnya juga terkandung azas personalia, bahwa perjanjian dalam persekutuan tersebut tidak dapat membawa keuntungan atau akibat bagi pihak ketiga.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1635
Azas kemanfaatan bersama
Azas keadilan proporsional
Pasal ini melarang menyerahkan keuntungan seluruhnya kepada satu orang sekutu. Tapi boleh memperjanjikan kerugian akan dipikul salah seorang sekutu atas kesalahannya.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1636
Azas itikad baik, diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW
Pasal ini mengatur tentang pemberian kuasa kepada seorang sekutu untuk mengurus persekutuan. Si sekutu harus melaksanakan kekuasaannya dengan itikad baik.
Bahwa sekutu yang ditunjuk menjadi pengurus atau wakil dari persekutuan harus melaksanakan tindakan kepengurusannya itu dengan itikad baik.
Pasal ini mengatur hubungan internal dan eksternal.
1637
Pasal ini mengatur tentang pemberian kuasa kepada beberapa orang sekutu, jika tidak ditentukan spesifikasi keuasaannya, atau tidak ada larangan untuk bertindak sendiri, maka tiap sekutu dapat melakukan perbuatan-perbuatan untuk pengurusan persekutuan.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1638
Azas pacta sunt servanda diatur dalam Pasal 1338 ayat 1
Pasal ini mengatur bahwa jika telah ditentukan dalam perjanjian, pengurusan persekutuan harus dilakukan beberapa sekutu secara bersama-sama.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1639
Azas itikad baik, diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW
Pasal ini mengatur tentang cara mengurus persekutuan.
Angka 3: sekutu yang telah melakukan pengurusan persekutuan dengan itikad baik dapat mewajibkan sekutu lainnya untuk turut memikul biaya pemeliharaan benda-benda miliki persekutuan 
Pasal ini mengatur hubungan internal dan eksternal.
1640
Pasal ini mengatur bahwa sekutu yang bukan pengurus dilarang mengasingkan, menggadaikan, meletakkan beban atas benda-benda milik persekutuan.
Pasal ini mengatur hubungan internal dan eksternal.
1641
Pasal ini mengatur bahwa sekutu boleh memasukkan orang lain sebagai peserta untuk bagiannya dalam persekutuan, tetapi tidak sebagai sekutu dalam persekutuan kecuali atas persetujuan sekutu lainnya.
Pasal ini mengatur hubungan internal dan eksternal.
1642
Azas Personalia diatur dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata
Pasal ini mengatur tentang batasan keterikatan sekutu-sekutu atas hutang persekutuan.
Pasal ini mengatur hubungan internal dan eksternal
1643
Pasal ini mengatur tentang batasan tuntutan pihak ketiga atas piutangnya kepada sekutu-sekutu.
Pasal ini mengatur hubungan eksternal
1644
Azas Personalia diatur dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata
Pasal ini mengatur bahwa janji bahwa suatu perbuatan telah dilakukan atas tanggungan persekutuan hanya mengikat sekutu yang membuat perjanjian saja, tidak mengikat sekutu lain.
Pasal ini mengatur hubungan internal dan eksternal
1645
Pasal ini mengatur bahwa persekutuan boleh menuntut pelaksanaan perjanjian yang dibuat sekutu atas nama persekutuan.
Pasal ini mengatur hubungan internal dan eksternal
1646
Pasal ini mengatur tentang hal-hal yang menyebabkan berakhirnya persekutuan.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1647
Pasal ini mengatur tentang lewatnya waktu persekutuan.
Pasal ini mengatur hubungan internal
1648
Pasal ini mengatur bahwa persekutuan bubar karena musnahnya barang yang dijanjikan dimasukkan dalam persekutuan sebelum terjadinya pemasukan atau karena yang dijanjikan untuk dimasukkan hanyalah kenikmatan atas benda tersebut, kecuali musnahnya barang yang hak miliknya dimasukkan dalam persekutuan.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1649
Azas Itikad Baik, diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW
Pasal ini mengatur bahwa persekutuan tanpa waktu tertentu bubar karena kehendak dan pernyataan seorang atau beberapa orang sekutu yang dilakukan dengan itikad baik.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1650
Azas Itikad Baik, diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW
Pasal ini mengatur tentang batasan itikad baik atas kehendak dan pernyataan penghentian persekutuan.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1651
Azas Pacta sunt servanda, diatur dalam Pasal 1320 ayat 1
Pasal ini mengatur bahwa jika telah ditentukan dimuka, maka persekutuan harus terus dilanjutkan meskipun salah satu sekutu meninggal, baik diteruskan dengan ahli waris sekutu yang meninggal atau diteruskan oleh sekutu-sekutu yang masih hidup.
Pasal ini mengatur hubungan internal.
1652
Azas keadilan proporsional
Pasal ini mengatur tentang pembagian hasil (keuntungan/ kerugian) kepada para sekutu atau ahli warisnya jika persekutuan bubar.
Pasal ini mengatur hubungan internal


Kamis, 16 November 2017

Perbedaan Pemikiran Van Vollenhoven dan Ter Haar tentang Konsep Hukum Adat Serta Implikasinya Pada Praktek Hukum

Perbedaan Pemikiran Van Vollenhoven dan Ter Haar tentang Konsep Hukum Adat Serta Implikasinya Pada Praktek Hukum - Cornelis van Vollenhoven: mengangkat nilai-nilai hukum adat sebagai kodifikasi rakyat pribumi. “Elk volk heeft zijn waarde en beteekenis, en alle menschelijke gaven en talenten, in al hun verscheidenheid hebben aanspraak op volle ontplooiing.”[1] (Tiap-tiap bangsa mempunyai harga dan arti sendiri, dan semua karunia dan pepandaian yang diberikannya mempunyai hak untuk berkembang sepenuhnya).

Mengenai definisi hukum adat, C. Van Vollenhoven berpendapat bahwa apabila seorang hakim menghadapi kenyataan bahwa ada peraturan tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para warga masyarakat serta ada perasaan umum peraturan-peraturan itu harus dipertahankan oleh para penjabat hukum, maka peraturan-peraturan adat tadi bersifat hukum.[2] Pendapat tersebut dikemukakan dalam kaitannya untuk membedakan antara Adat dengan Hukum Adat.

Van Vollenhoven menempatkan hukum adat ke dalam suatu sistematika yang merupakan suatu ilmu pengetahuan tersendiri. Dari sekian banyak usaha serta hasil-hasilnya, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari karya-karyanya. Pertama, van Vollenhoven telah berhasil menghilangkan kesalahpahaman yang menyatakan bawha hukum adat adalah identik dengan hukum agama (dalam hal ini hukum Islam).

Kecuali dari pada itu, van Vollenhoven telah membela hukum adat terhadap ancaman pembuat undang-undang yang mendesak atau bahkan berusaha melengyapkan hukum adat. Untuk itu dia telah meyakinkan pembuat undang-undang, bahwa hukum adat merupakan hukum yang hidup dan memiliki sistem tersendiri. Selanjutnya, van Vollenhoven telah membagi wilayah hukum adat Indonesia ke dalam 19 lingkungan hukum adat atau adat rechts kringen. Pembagian tersebut sangat mempermudah untuk mempelajari hukum adat masing-masing daerah yang masing-masing memiliki ciri khas, sehingga diperoleh suatu ikhtisar yang sistematis dari hukum adat di Indonesia.[3] Dengan membentangkan secara luas dan mendalam tentang sistem hukum adat, van Vollenhoven telah meletakkan dasar bagi penelitian lebih lanjut terhadap hukum adat.

Pada masa politik etis, dimana pemerintah Hindia-Belanda berusaha untuk melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum, van Vollenhoven berperan dalam kegagalan merealisasi unifikasi hukum dan kodifikasi hukum perdata untuk golongan rakyat di Hindia Belanda. Pada tahun 1905, van Vollenhoven menentang kebijakan tersebut dan mengatakan bahwa hukum yang dicita-citakan Idenburg adalah hukum yang asing bagi orang-orang pribumi, tepat sama seperti hukum Romawi pada zaman dahulu dipaksakan ke tengah kehidupan orang-orang Belanda.[4]

Meskipun demikian, pada akhirnya rancangan undang-undang Idenburg tersebut diterima oleh parlemen, namun pendapat-pendapat van Vollenhoven kemudian disinyalir menjadi pemicu lahirnya amandemen Idsinga yang menegaskan kebijakan yang telah dikompromikan, ialah bahwa hukum rakyat yang tidak tertulis (hukum adat) hanya boleh digantikan hukum Eropa manakala dalam kehidupan sehari-hari rakyat pribumi itu memang benar-benar memerlukan hukum itu.[5]

Pada tahun 1919, van Vollenhoven juga dengan keras menentang upaya pemerintah kolonial yang mencoba membawa golongan rakyat pribumi ke bawah yurisdiksi hukum kolonial yang diunifikasikan, akan tetapi yang secara sepihak cuma hendak merujuk ke hukum Eropa (yang dipandang superior) dengan mengabaikan nomenklatur-nomenklatur hukum adat (yang dianggap inferior).

Perlawanan-perlawanan itu diberikan dengan dalih Savignian, bahwa kebutuhan hukum penduduk pribumi sungguh berbeda dengan kebutuhan hukum orang-orang Eropa dan karena itu penerapan hukum Eropa secara sepihak akan mengancam ambruknya tatanan pribumi. Sesungguhnya van Vollenhoven tidaklah boleh dituduh begitu saja sebagai penolak ide unifikasi dan kodifikasi, ia hanya keberatan manakala hukum rakyat pribumi yang berkedudukan mayoritas harus diabaikan untuk membukakan jalan bagi diberlakukannya hukum Eropa. Ia mencoba memberikan contoh kecil bagaimana seyogyanya hukum kodifikasi dikembangkan secara khusus untuk orang-orang pribumi dengan memperhatikan sungguh-sungguh adat, hukum adat, dan kebutuhan hukum rakyat pribumi.[6] Hingga saat pecahnya perang Pasifik dan runtuhnya kekuasaan de facto pemerintahan kolonial di Hindia-Belanda, sekalipun ide unifikasi dan kodifikasi tetap dikukuhi bersama tetapi realisasinya dalam praktek tidak juga kunjung terwujud.[7]

Perkembangan yang terjadi sepanjang 4 dasawarsa pertama abad 20 adalah terbukanya pintu pendidikan ke arah ilmu dan budaya Eropa untuk anak-anak kaum elit pribumi, dan dengan demikian juga membukakan kesempatan untuk mereka guna memasuki posisi-posisi yang relatif tinggi dalam organ-organ pemerintahan dan peradilan di Hindia-Belanda.[8] Selanjutnya, munculnya kaum terpelajar dari kalangan pribumi, juga khususnya yang berkeahlian hukum dan ilmu hukum, membuka kesempatan untuk diakuinya hukum adat bahkan setelah kemerdekaan.

Barend ter Haar Bzn: mengembangkan dan merawat hukum adat melalui cara-cara common law, hakim sebagai legitimator hukum adat. Ter Haar merupakan salah satu murid van Vollenhoven yang meneruskan penelitiannya tentang hukum adat. Ia melanjutkan penelitian hukum adat dengan menyoroti lembaga hukum beserta interrelasinya dan faktor-faktor sosial (di luar hukum) yang mempengaruhi perkembangan hukum.

Ter Haar mengungkapkan bahwa Hukum Adat mencakup seluruh peraturan yang menjelma di dalam keputusan-keputusan pada penjabat hukum, yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta yang di dalam pelaksanaannya secara serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut. Keputusan tersebut dapat mengenai suatu persengketaan, akan tetapi juga dapat diambil berdasarkan kerukunan dan musyawarah.[9] Namun demikian, ter Haar juga menyatakan bahwa Hukum Adat dapat timbul dari keputusan para warga masyarakat.[10]

Ter Haar telah berusaha menempatkan hukum adat sejajar dengan ilmu-ilmu hukum positif lainnya. Dalam bukunya yang berjudul Beginselen en Stelsel van het Adatrecht, Ter Haar menguraikan secara sistematis masalah-masalah yang menyangkut masyarakat hukum adat, tanah, perjanjian, hukum keluarga, hukum perkawinan, hukum waris, dan lain sebagainya.

Sepanjang dasawarsa 1930-an, sampai pecahnya perang Pasifik tahun 1942, ter Haar berhasil mempertahankan hukum adat sebagai hukum yang hidup dan terpakai di badan-badan pengadilan negara (yang diselenggarakan khusus untuk memeriksa perkara-perkara orang-orang pribumi ialah landraad). Ter Haar berhasil mengukuhkan hukum adat atas dasar dan/atau atas kekuatan preseden-preseden yang dikembangkan dalam yurisprudensi landraad.[11]

Pada tahun 1930-an, banyak landraad sudah mulai diketuai oleh hakim-hakim banyak diantaranya berasal dari kalangan pribumi yang tahu benar bagaimana menghargai hukum adat, dan paham benar begaimana menemukan asas-asas hukum adat yang hidup di masyarakat untuk seterusnya diterapkan sebagai keputusan-keputusan yang mengikat. Lewat cara ini, hukum adat memperoleh bentuknya yang formal (sebagai hukum pengadilan negara), dan seterusnya tersistematisasi lewat yurisprudensi. Disadari atau tidak, ter Haar telah mengembangkan dan merawat hukum adat lewat cara yang dikenal dalam sistem common law.[12] Untuk mendapatkan pengakuan formil dalam undang-undang, ter Haar telah memperjuangkan pengakuan hak ulayat melalui “Volksraad”, komisi agraria 1928, maupun dalam advis komisi tahun 1938.[13]

Hukum adat, sebagaimana hukum rakyat pada umumnya, sebenarnya memiliki kekuatannya dalam wujud realitanya sebagai pola perilaku (pattern of actual behavior). Pengkodifikasiannya dan dengan demikian juga pengubahannya menjadi pola untuk mengatur perilaku (pattern of behavior) akan menghilangkan kekuatan dinamiknya. Sebenarnya ter Haar telah berhasil memodernisasi hukum adat, dan menyiapkannya untuk keperluan menata kehidupan rakyat di dalam lingkungan masyarakat negara. Ter Haar memodernisasi hukum adat hanya dalam ihwal forum dan fungsinya, namun tetap menyerahkan modernisasi (dalam arti pemutakhiran nilai) substansinya pada pengalaman masyarakat sendiri. Namuan para yuris saat ini tidak bisa memahami kenyataan bahwa hukum adat (dalam konteks nasional sekalipun) sebenarnya hanya akan menemukan kelestariannya kalau diperlakukan sebagai common law menurut konsep legal realism, dan tidak sebagai hukum kodifikasi yang dirawat berdasarkan konsep analytical jurisprudence.[14]

Intisari dari pokok pemikiran ter Haar ini dapat kita lihat dari rumusan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Rumusan tersebut mengakui nilai-nilai hukum adat sebagai nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Melalui kewajiban (atau bisa juga diartikan sebagai kewenangan) hakim dan hakim konstitusi tersebut, eksistensi hukum adat dapat dijaga melalui putusan pengadilan. Pencantumannya secara tertulis dalam undang-undang tidak terlepas dari sistem hukum negara Indonesia yang lebih condong ke arah sistem hukum civil law. Namun demikian, eksistensi hukum adat hanya dapat dijaga melalui praktek-praktek (law in action). Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut hanyalah sebagai tool atau alat, tetapi penerapannya tergantung dari hakim sebagai pihak yang berwenang untuk menerapkannya. Secara umum, belum banyak hakim yang menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kebanyakan hakim masih menganut paradigma positivistik, sehingga putusan-putusannya tidak mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa dan keadilan masyarakat, melainkan mencerminkan kemauan undang-undang (kehendak penguasa).



[1] Cornelis van Vollenhoven, dikutip dari Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981, hal. 101.
[2] C. van Vollenhoven, Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie, Dell III, hal. 398, dalam Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981, hal.15-16.
[3] Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981, hal. 55.
[4] Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, halaman 124.
[5] Ibid, hal. 126.
[6] Ibid, hal. 127.
[7] Ibid, hal. 10-11.
[8] Ibid.
[9] Ter Haar Bzn, Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie in Wetenschap, Practijk en Onderwijs, 193, dalam Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981, hal. 17.
[10] Ter Haar, De Rechtspraak can landraden naar ongenschreven Recht, 1930, dalam Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981, hal.17.
[11] Soetandyo Wignjosoebroto, Op.Cit., hal. 133.
[12] Ibid, hal. 134.
[13] Soekanto dan Soerjono Soekanto, Loc.Cit.,. halaman 58.
[14] Soetandyo Wignjosoebroto, op cit., hal. 135.