Kamis, 16 November 2017

Perbedaan Pemikiran Van Vollenhoven dan Ter Haar tentang Konsep Hukum Adat Serta Implikasinya Pada Praktek Hukum

Perbedaan Pemikiran Van Vollenhoven dan Ter Haar tentang Konsep Hukum Adat Serta Implikasinya Pada Praktek Hukum - Cornelis van Vollenhoven: mengangkat nilai-nilai hukum adat sebagai kodifikasi rakyat pribumi. “Elk volk heeft zijn waarde en beteekenis, en alle menschelijke gaven en talenten, in al hun verscheidenheid hebben aanspraak op volle ontplooiing.”[1] (Tiap-tiap bangsa mempunyai harga dan arti sendiri, dan semua karunia dan pepandaian yang diberikannya mempunyai hak untuk berkembang sepenuhnya).

Mengenai definisi hukum adat, C. Van Vollenhoven berpendapat bahwa apabila seorang hakim menghadapi kenyataan bahwa ada peraturan tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para warga masyarakat serta ada perasaan umum peraturan-peraturan itu harus dipertahankan oleh para penjabat hukum, maka peraturan-peraturan adat tadi bersifat hukum.[2] Pendapat tersebut dikemukakan dalam kaitannya untuk membedakan antara Adat dengan Hukum Adat.

Van Vollenhoven menempatkan hukum adat ke dalam suatu sistematika yang merupakan suatu ilmu pengetahuan tersendiri. Dari sekian banyak usaha serta hasil-hasilnya, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari karya-karyanya. Pertama, van Vollenhoven telah berhasil menghilangkan kesalahpahaman yang menyatakan bawha hukum adat adalah identik dengan hukum agama (dalam hal ini hukum Islam).

Kecuali dari pada itu, van Vollenhoven telah membela hukum adat terhadap ancaman pembuat undang-undang yang mendesak atau bahkan berusaha melengyapkan hukum adat. Untuk itu dia telah meyakinkan pembuat undang-undang, bahwa hukum adat merupakan hukum yang hidup dan memiliki sistem tersendiri. Selanjutnya, van Vollenhoven telah membagi wilayah hukum adat Indonesia ke dalam 19 lingkungan hukum adat atau adat rechts kringen. Pembagian tersebut sangat mempermudah untuk mempelajari hukum adat masing-masing daerah yang masing-masing memiliki ciri khas, sehingga diperoleh suatu ikhtisar yang sistematis dari hukum adat di Indonesia.[3] Dengan membentangkan secara luas dan mendalam tentang sistem hukum adat, van Vollenhoven telah meletakkan dasar bagi penelitian lebih lanjut terhadap hukum adat.

Pada masa politik etis, dimana pemerintah Hindia-Belanda berusaha untuk melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum, van Vollenhoven berperan dalam kegagalan merealisasi unifikasi hukum dan kodifikasi hukum perdata untuk golongan rakyat di Hindia Belanda. Pada tahun 1905, van Vollenhoven menentang kebijakan tersebut dan mengatakan bahwa hukum yang dicita-citakan Idenburg adalah hukum yang asing bagi orang-orang pribumi, tepat sama seperti hukum Romawi pada zaman dahulu dipaksakan ke tengah kehidupan orang-orang Belanda.[4]

Meskipun demikian, pada akhirnya rancangan undang-undang Idenburg tersebut diterima oleh parlemen, namun pendapat-pendapat van Vollenhoven kemudian disinyalir menjadi pemicu lahirnya amandemen Idsinga yang menegaskan kebijakan yang telah dikompromikan, ialah bahwa hukum rakyat yang tidak tertulis (hukum adat) hanya boleh digantikan hukum Eropa manakala dalam kehidupan sehari-hari rakyat pribumi itu memang benar-benar memerlukan hukum itu.[5]

Pada tahun 1919, van Vollenhoven juga dengan keras menentang upaya pemerintah kolonial yang mencoba membawa golongan rakyat pribumi ke bawah yurisdiksi hukum kolonial yang diunifikasikan, akan tetapi yang secara sepihak cuma hendak merujuk ke hukum Eropa (yang dipandang superior) dengan mengabaikan nomenklatur-nomenklatur hukum adat (yang dianggap inferior).

Perlawanan-perlawanan itu diberikan dengan dalih Savignian, bahwa kebutuhan hukum penduduk pribumi sungguh berbeda dengan kebutuhan hukum orang-orang Eropa dan karena itu penerapan hukum Eropa secara sepihak akan mengancam ambruknya tatanan pribumi. Sesungguhnya van Vollenhoven tidaklah boleh dituduh begitu saja sebagai penolak ide unifikasi dan kodifikasi, ia hanya keberatan manakala hukum rakyat pribumi yang berkedudukan mayoritas harus diabaikan untuk membukakan jalan bagi diberlakukannya hukum Eropa. Ia mencoba memberikan contoh kecil bagaimana seyogyanya hukum kodifikasi dikembangkan secara khusus untuk orang-orang pribumi dengan memperhatikan sungguh-sungguh adat, hukum adat, dan kebutuhan hukum rakyat pribumi.[6] Hingga saat pecahnya perang Pasifik dan runtuhnya kekuasaan de facto pemerintahan kolonial di Hindia-Belanda, sekalipun ide unifikasi dan kodifikasi tetap dikukuhi bersama tetapi realisasinya dalam praktek tidak juga kunjung terwujud.[7]

Perkembangan yang terjadi sepanjang 4 dasawarsa pertama abad 20 adalah terbukanya pintu pendidikan ke arah ilmu dan budaya Eropa untuk anak-anak kaum elit pribumi, dan dengan demikian juga membukakan kesempatan untuk mereka guna memasuki posisi-posisi yang relatif tinggi dalam organ-organ pemerintahan dan peradilan di Hindia-Belanda.[8] Selanjutnya, munculnya kaum terpelajar dari kalangan pribumi, juga khususnya yang berkeahlian hukum dan ilmu hukum, membuka kesempatan untuk diakuinya hukum adat bahkan setelah kemerdekaan.

Barend ter Haar Bzn: mengembangkan dan merawat hukum adat melalui cara-cara common law, hakim sebagai legitimator hukum adat. Ter Haar merupakan salah satu murid van Vollenhoven yang meneruskan penelitiannya tentang hukum adat. Ia melanjutkan penelitian hukum adat dengan menyoroti lembaga hukum beserta interrelasinya dan faktor-faktor sosial (di luar hukum) yang mempengaruhi perkembangan hukum.

Ter Haar mengungkapkan bahwa Hukum Adat mencakup seluruh peraturan yang menjelma di dalam keputusan-keputusan pada penjabat hukum, yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta yang di dalam pelaksanaannya secara serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut. Keputusan tersebut dapat mengenai suatu persengketaan, akan tetapi juga dapat diambil berdasarkan kerukunan dan musyawarah.[9] Namun demikian, ter Haar juga menyatakan bahwa Hukum Adat dapat timbul dari keputusan para warga masyarakat.[10]

Ter Haar telah berusaha menempatkan hukum adat sejajar dengan ilmu-ilmu hukum positif lainnya. Dalam bukunya yang berjudul Beginselen en Stelsel van het Adatrecht, Ter Haar menguraikan secara sistematis masalah-masalah yang menyangkut masyarakat hukum adat, tanah, perjanjian, hukum keluarga, hukum perkawinan, hukum waris, dan lain sebagainya.

Sepanjang dasawarsa 1930-an, sampai pecahnya perang Pasifik tahun 1942, ter Haar berhasil mempertahankan hukum adat sebagai hukum yang hidup dan terpakai di badan-badan pengadilan negara (yang diselenggarakan khusus untuk memeriksa perkara-perkara orang-orang pribumi ialah landraad). Ter Haar berhasil mengukuhkan hukum adat atas dasar dan/atau atas kekuatan preseden-preseden yang dikembangkan dalam yurisprudensi landraad.[11]

Pada tahun 1930-an, banyak landraad sudah mulai diketuai oleh hakim-hakim banyak diantaranya berasal dari kalangan pribumi yang tahu benar bagaimana menghargai hukum adat, dan paham benar begaimana menemukan asas-asas hukum adat yang hidup di masyarakat untuk seterusnya diterapkan sebagai keputusan-keputusan yang mengikat. Lewat cara ini, hukum adat memperoleh bentuknya yang formal (sebagai hukum pengadilan negara), dan seterusnya tersistematisasi lewat yurisprudensi. Disadari atau tidak, ter Haar telah mengembangkan dan merawat hukum adat lewat cara yang dikenal dalam sistem common law.[12] Untuk mendapatkan pengakuan formil dalam undang-undang, ter Haar telah memperjuangkan pengakuan hak ulayat melalui “Volksraad”, komisi agraria 1928, maupun dalam advis komisi tahun 1938.[13]

Hukum adat, sebagaimana hukum rakyat pada umumnya, sebenarnya memiliki kekuatannya dalam wujud realitanya sebagai pola perilaku (pattern of actual behavior). Pengkodifikasiannya dan dengan demikian juga pengubahannya menjadi pola untuk mengatur perilaku (pattern of behavior) akan menghilangkan kekuatan dinamiknya. Sebenarnya ter Haar telah berhasil memodernisasi hukum adat, dan menyiapkannya untuk keperluan menata kehidupan rakyat di dalam lingkungan masyarakat negara. Ter Haar memodernisasi hukum adat hanya dalam ihwal forum dan fungsinya, namun tetap menyerahkan modernisasi (dalam arti pemutakhiran nilai) substansinya pada pengalaman masyarakat sendiri. Namuan para yuris saat ini tidak bisa memahami kenyataan bahwa hukum adat (dalam konteks nasional sekalipun) sebenarnya hanya akan menemukan kelestariannya kalau diperlakukan sebagai common law menurut konsep legal realism, dan tidak sebagai hukum kodifikasi yang dirawat berdasarkan konsep analytical jurisprudence.[14]

Intisari dari pokok pemikiran ter Haar ini dapat kita lihat dari rumusan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Rumusan tersebut mengakui nilai-nilai hukum adat sebagai nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Melalui kewajiban (atau bisa juga diartikan sebagai kewenangan) hakim dan hakim konstitusi tersebut, eksistensi hukum adat dapat dijaga melalui putusan pengadilan. Pencantumannya secara tertulis dalam undang-undang tidak terlepas dari sistem hukum negara Indonesia yang lebih condong ke arah sistem hukum civil law. Namun demikian, eksistensi hukum adat hanya dapat dijaga melalui praktek-praktek (law in action). Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut hanyalah sebagai tool atau alat, tetapi penerapannya tergantung dari hakim sebagai pihak yang berwenang untuk menerapkannya. Secara umum, belum banyak hakim yang menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kebanyakan hakim masih menganut paradigma positivistik, sehingga putusan-putusannya tidak mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa dan keadilan masyarakat, melainkan mencerminkan kemauan undang-undang (kehendak penguasa).



[1] Cornelis van Vollenhoven, dikutip dari Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981, hal. 101.
[2] C. van Vollenhoven, Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie, Dell III, hal. 398, dalam Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981, hal.15-16.
[3] Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981, hal. 55.
[4] Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, halaman 124.
[5] Ibid, hal. 126.
[6] Ibid, hal. 127.
[7] Ibid, hal. 10-11.
[8] Ibid.
[9] Ter Haar Bzn, Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie in Wetenschap, Practijk en Onderwijs, 193, dalam Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981, hal. 17.
[10] Ter Haar, De Rechtspraak can landraden naar ongenschreven Recht, 1930, dalam Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981, hal.17.
[11] Soetandyo Wignjosoebroto, Op.Cit., hal. 133.
[12] Ibid, hal. 134.
[13] Soekanto dan Soerjono Soekanto, Loc.Cit.,. halaman 58.
[14] Soetandyo Wignjosoebroto, op cit., hal. 135.

Rabu, 15 November 2017

CONTOH SURAT KUASA BELI

CONTOH SURAT KUASA BELI

SURAT KUASA BELI

Yang bertanda tangan di bawah ini:
N a m a                 
Tempat/tanggal lahir : 
Pekerjaan               : 
A l a m a t               : 

Dengan ini memberikan kuasa kepada:

N a m a                    :  
Tempat/tanggal lahir :
Pekerjaan               : 
A l a m a t               : 

K H U S U S

Untuk dan atas nama serta sah mewakili pemberi kuasa tersebut membeli atas:
Sebidang  tanah pertanian/sawah Hak Milik No. _____ seluas + _____ m2  (_____ meter persegi) yang terletak di _____ .

Untuk keperluan yang diberi kuasa dikuasakan untuk menghadap kepada pejabat yang berwenang diantaranya PPAT dan NOTARIS, memberikan keterangan-ke-terangan, membuat, suruh membuat, menandatangani surat-surat penting/akta jual-beli, membayar atas harga tanah yang dibeli tersebut di atas, meminta kuitansi/tanda terima lainnya, menerima segala sesuatu yang dibeli dari penjual, se-lanjutnya menjalankan apa yang dianggap baik oleh yang diberi kuasa untuk men-cukupi maksud tersebut di atas.
                                            Banda Aceh, 15 November 2015

Penerima Kuasa                                 Pemberi Kuasa



(_____________)                             (________________)
          

Selasa, 14 November 2017

PENGERTIAN PENGANGKUTAN DAN ASAS HUKUM PENGANGKUTAN

PENGERTIAN DAN ASAS HUKUM PENGANGKUTAN

PENGERTIAN DAN ASAS HUKUM PENGANGKUTAN - Pengangkutan adalah kegiatan pemuatan ke dalam alat pengangkut, memindahan ketempat tujuan dengan alat pengangkut dan penurunan dari alat pengangkut baik mengenai penumpang ataupun barang. Jadi dengan kata lain pengangkutan adalah suatu alat untuk memindahkan orang dan barang atau benda ketempat yang lain.[1]
Pengangkutan udara diatur terdapat dalam beberapa ketentuan sebagai berikut:
a.       Perjanjian - perjanjian internasional tentang penerbangan
1.      Perjanjian Warsawa, 12 Oktober 1992.
2.      Perjanjian Penerbangan Internasional Paris, 13 Oktober 1919
3.      Perjanjian Roma (Tahun 1933 dan 1952).
4.      Perjanjian Chicago (Tahun 1944).
b.      Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.
c.       Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab pengangkut Angkutan udara.
Arti hukum pengangkutan bila ditinjau dari segi keperdataan, dapat ditunjuk sebagai keseluruhan peraturan-peraturan, didalam kodifikasi (KUHPerdata, KUHD) serta diluar kodifikasi yang didasarkan atas dan bertujuan untuk mengatur hubungan-hubungan hukum yang terjadi akibat pemindahan orang atau barang-barang dari suatu tempat ke tempat yang lain untuk memenuhi perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian tertentu serta termasuk perjanjian yang memberikan perantara dalam mendapatkan suatu pengangkutan.[2]
Tujuan pengangkutan sendiri mempunyai arti memindahkan orang, dan benda atau barang serta mengantarkan orang atau suatu barang ke tempat tujuan dengan mengutamakan keselamatan dan tiba tepat pada waktunya.[3]
Asas-asas hukum pengangkutan merupakan landasan filosofi yang diklasifikasi menjadi dua, yaitu asas hukum publik dan asas hukum perdata.[4]
PENGERTIAN DAN ASAS HUKUM PENGANGKUTAN

1.        Asas hukum publik.
Landasan Undang-Undang yang lebih mengutamakan kepentingan umum dan kepentingan orang banyak.
2.        Asas hukum perdata.
Asas hukum perdata merupakan landasan hukum yang hanya berlaku serta berguna bagi kedua belah pihak dalam suatu pengangkutan niaga, yaitu antara pihak pengangkut dan pihak pengguna jasa. Asas-asas hukum yang bersifat perdata yaitu sebagai berikut:
1)      Asas perjanjian.
 Perjanjian pengangkutan tidak diharuskan dalam bentuk tertulis, dan cukup dengan kesepakatan para pihak. Akan tetapi untuk menyatakan bahwa perjanjian itu sudah terjadi atau sudah ada harus dibuktikan dan didukung oleh dokumen pengangkutan.
2)      Asas koordinatif.
Para pihak dalam pengngkutan mempunyai suatu kedudukan setara, dan tidak ada pihak yang mengatasu atau membawahi yang lain. Walaupun pengangkut menyediakan jasa dan melaksanakan perintah penumpang, namun pengangkut bukanlan bawahan dari penumpang.
3)      Asas campuran.
Bahwa makna dari pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis pernjajian yaitu pemberi kuasa, penyimpanan barang, dan melakukan pekerjaan dari penumpang atau pemilik barang kepada pengangkut. Adapun ketiga jenis perjanjian ini berlaku pada pengangkutan, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian pengangkutan.
4)      Asas retensi
Retensi mengandung arti bahwa pengangkutan tidak menggunakan hak retensi atau suatu hak yang bertentangan dengan tujuan dan fungsi pengangkutan. Pengangkutan mempunyai kewajiban untuk menyimpan barang atas biaya dari pemiliknya.
5)      Asas pembuktian dan dokumen.
Setiap terjadinya suatu perjanjian pengangkutan harus selalu dibuktikan dengan suatu dokumen pengangkutan, namun apabila tidak ada dokumen pengangkutan berarti perjanjian itu dianggap tidak pernah ada.




[1] Abdulkadir Muhammad, Hukum pengangkutan niaga, Bandung, Citra Aditya, 2008, Hal 5.
[2] Sutino Usman Adji, dkk. Hukum Pengangkutan Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hal. 2.
[3] Abdulkadir Muhammad, Op Cit hal. 16.
[4] Ibid, Hal.13.