Tampilkan postingan dengan label Rukun dan Syarat Sahnya Perjanjian Gadai dalam Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rukun dan Syarat Sahnya Perjanjian Gadai dalam Islam. Tampilkan semua postingan

Jumat, 14 Juli 2017

Rukun dan Syarat Sahnya Perjanjian Gadai dalam Islam

 Rukun dan Syarat Sahnya Perjanjian Gadai dalam Islam

Rukun dan Syarat Sahnya Perjanjian Gadai dalam Islam - Pada umumnya aspek hukum keperdataan Islam (fiqh mu’ammalah) dalam hal transaksi baik dalam bentuk jual beli, gadai sewa-menyewa ataupun yang semacamnya yang mempersyaratkan rukun dan syarat sah termasuk dalam transaksi gadai. Demikian juga hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi gadai. Hal dimaksud adalah sebagai berikut:
a)      Rukun gadai.
Dalam fikih empat mazhab (fiqh al-madzahib al-arba’ah) diungkapkan rukun gadai adalah sebagai berikut:
1)      Aqid (orang yang berakal)
Aqid adalah orang yang melakukan akad yang meliputi 2 (dua) arah, yaitu (a) Rahin (orang yang menggadaikan barangnya), dan (b) Murtahin (orang yang berpiutang dan menerima barang gadai), atau penerima gadai. Hal dimaksudkan, didasari oleh Sighat, yaitu ucapan berupa ijab qabul (serah-terima antara kedua belah pihak pemberi gadai dan penerima gadai) untuk melaksanakan akad rahn yang memenuhi kriteria syariat Islam, sehingga akad yang dibuat oleh 2 (dua) belah pihak atau lebih harus memenuhi beberapa rukun dan syarat.[1]
2)      Ma’qud ‘alaih (barang yang diakadkan)
Ma’qud ‘alaih meliputi 2 (dua) hal, yaitu (a) marhun (barang yang digadaikan) dan (b) Marhun bihi (dain), atau barang yang dikarenakannya diadakan akad rahn.[2] Namun demikian, ulama fikih berbeda pendapat mengenai masuknya shighat sebagai rukun dari terjadinya rahn. Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa shighat tidak termasuk sebagai rukun rahn, melainkan ijab (pernyataan menyerahkan barang sebagai agunan bagi pemilik barang) dan qabul (pernyataan kesediaan dan memberi utang dan menerima barang agunan tersebut).
Di samping itu, menurut ulama Hanafi untuk sempurna dan mengikatnya akad rahn masih diperlukan apa yang disebut penguasaan barang oleh kreditor (al-qabdh), sementara kedua pihak yang melaksanakan akan dan harta yang dijadikan agunan atau objek jaminan. Dalam pandangan ulama Hanafi lebih tepat dimasukkan sebagai rahn bukan rukun rahn.
b)     Syarat-syarat sah gadai.
Selain rukun yang harus terpenuhi dalam transaksi gadai, maka dipersyaratkan juga syarat-syarat gadai sebagaimana dimaksud yang terdiri atas 1. shighat, 2. pihak-pihak yang berakad cakap menurut hukum, 3. utang (marhun bih), dan 4. marhun.
1)      Shighat
Syarat shighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan waktu yang akan datang, misalnya orang yang menggadaikan hartanya mempersyaratkan tenggang waktu habis dan utang belum terbayar sehingga pihak penggadai dapat diperpanjang satu bulan tenggang waktunya, kecuali jika syarat itu mendukung kelancaran akad maka diperbolehkan. Sebagai contoh, pihak penerima gadai meminta supaya akad itu disaksikan oleh dua orang saksi.
2)      Pihak-pihak yang berakad cakap menurut hukum
Pihak-pihak yang berakad cakap menurut hukum mempunyai pengertian bahwa pihak rahin dan marhun cakap melakukan perbuatan hukum yang ditandai dengan aqil-baliq, berakal sehat dan mampu melakukan akad. Menurut sebagian pengikut ulanma Abu Hanifah memperbolehkan anak-anak yang mummayiz untuk melakukann akad karena dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Syarat orang yang menggadaikan (ar-rahin) dan orang yang menerima gadai adalah cakap bertindak dalam kacamata hukum, lain halnya menurut mayoritas ulama, orang yang masuk dalam kategori ini adalah orang yang telah baligh dan berakal. Sedangkan menurut mazhab Hanafi kedua belah pihak tidak diisyaratkan baligh, melainkan cukup berakal saja, oleh karena itu mazhab hanafi anak kecil yang mumayyiz yang sudah dapat membedakan suatu perbuatan baik dan buruk, maka ia dapat melakukan akad rahn dengan syarat akad rahn yang dilakukan mendapat persetujuan dari walinya.
3)      Utang (Marhun bih)
Utang (marhun bih) mempunyai pengertian bahwa: (a) utang adalah kewajiban bagi pihak berutang untuk membayar kepada pihak yang memberi piutang, (b) merupakan barang yang dapat dimanfaatkan, jika tidak bermanfaat maka tidak sah, (c) barang tersebut dapat dihitung jumlahnya.
4)      Marhun
Marhun adalah harta yang dipegang oleh murtahin (penerima gadai) atau wakilnya sebagai suatu jaminan utang. Para ulama menyepakati bahwa syarat yang berlaku pada barang gadai adalah syarat yang berlaku pada barang yang dapat diperjual-belikan, yang ketentuannya adalah:[3]
a)      Agunan itu harus bernilai dan dapat dimanfaatkan menurut ketentuan syariat Islam. Sebaliknya agunan yang tidak bernilai dan tidak dapat dimanfaatkan menurut syariat Islam maka tidak dapat dijadikan agunan.
b)      Agunan harus dapat dijual dan nilainya seimbang dengan besarnya utang.
c)      Agunan itu harus jelas dan tertentu (harus dapat ditentukan secara spesifik).
d)     Agunan itu sah milik pemberi gadai.
e)      Agunan itu tidak terikat dengan hak orang lain (bukan milik orang lain, baik sebagian maupun seluruhnya).
f)       Agunan tersebut harus berupa harta yang utuh dan tidak berada dibeberapa tempat.
g)      Agunan itu dapat diserahkan kepada pihak lain, baik itu materi maupun manfaatnya.
Syarat-syarat gadai yang diungkapkan diatas menggambarkan secara umum mengenai syarat-syarat rahn. Namun pada kenyataanya, para ulama tidak sepakat dalam memberikan syarat-syarat rahn, sehingga terjadi perkembangan dalam berbagai versi yang menyangkut kategori yang dapat dimasukkan sebagai syarat-syarat rahn. Adapun syarat-syarat rahn yang dimaksudkan akan dikemukakan pendapat dari para imam mazhab sebagai berikut:
a)      Pendapat ulama mazhab Maliki
Pendapat ulama dari kalangan mazhab Imam Malik berkenaan dengan syarat-syarat rahn terdiri dari 4 (empat) bagian sebagai berikut:[4]
a.       Bagian yang berkaitan dengan kedua belah pihak yang melakukan akad, yaitu pihak rahin dan pihak murtahin. Syarat ini mengharuskan bahwa kedua belah pihak yang terlibat dalam transaksi hukum gadai harus adanya 2 (dua) orang yang memenuhi keabsahan akad dalam jual beli yang tetap (mengikat). Jika akad dilakukan oleh seorang anak yang masih mumayyiz, maka salah satunya dan/atau keduanya maka akadnya tetap sah tetapi tidak mengikat. Kecuali, jika anak mummayyiz yang melakukan akad tersebut diizinkan oleh walinya.
b.      Bagian yang berkaitan dengan marhun (barang gadai). Syarat ini mengharuskan barang yang digadaikan adalah barang yang juga sah bila diperjualbelikan. Oleh karena itu, tidak boleh menggadai barang-barang yang tidak suci (najis) dan barang-barang lainnya yang dalam hukum jual beli juga dilarang.
c.       Bagian yang berkaitan dengan marhun bihi (uang yang dipinjamkan). Syarat ini mengharuskan utang sudah tetap, baik pada saat itu maupun di masa yang akan datang. Adapun hal yang dimaksudkan dalam hal ini dapat diungkapkan sebagai contoh tentang sahnya akad gadai pada al-ju’lu (pengupahan), yakni pemberian upah dari seseorang kepada orang lain atas jasanya.
d.      Bagian yang berkaitan dengan akad. Hal yang dimaksudkan adalah mengharuskan bahwa akad gadai hendaknya tidak menetapkan suatu syarat yang bertentangan dengan tujuan gadai. Misalnya akad gadai yang menghendaki marhun harus dijual jika orang yang menggadaikan (rahin) tidak melunasinya.
Semua persyaratan rahn yang ditentukan oleh mazhab Maliki di atas, berdasarkan pada asas setiap barang yang sah untuk diperjual-belikan, maka sah pula digadaikan.[5]
b)      Pendapat ulama mazhab Hanafi
Ulama dari mazhab Hanafi berpendapat bahwa syarat gadai terbagi atas 3 (tiga), yaitu:
a.       Syarat terjadinya akad rahn, yakni (1) marhun (barang gadai), yang berupa harta benda, dan (2) marhun bihi (utang), yang merupakan sebab terjadinya gadai.
b.      Yang berkaitan dengan syarat-syarat sahnya akad rahn, yaitu (1) hendaknya berkaitan dengan syarat yang tidak dikehendaki oleh akal, (2) tidak didasarkan pada waktu tertentu, (3) marhun(barang gadai) dapat dibedakan dari lainnya, (4) marhun (barang gadai) berada dalam kekuasaan penerima gadai, setelah diterima olehnya (al-qabdh), (5) marhun  (barang gadai) benar-benar kosong, (6) marhun (barang gadai) bukanlah barang yang bernajis (tidak suci), dan (7) marhun (barang gadai) bukan termasuk barang yang tidak bisa diambil manfaatnya,
c.       Syarat tetapnya akad rahn. Akad rahn telah tetap bilamana marhun (barang gadai) diterima oleh murtahin (penerima gadai) dengan terjadinya ijab dan qabul.

c)      Pendapat ulama mazhab Imam Maliki dan Syafi’i
Pendapat ulama dari mazhab Imam Maliki dan Imam Syafi’i yang hanya menekankan ketentuan perihal gadai yang mempersyaratkan keabsahan barang gadai berdasarkan keabsahan barang yang diperjual-belikan. Pengikut dari kedua mazhab yang dimaksud mengatakan bahwa segala sesuatu yang dapat diterima atau dijual, dapat digadaikan, dihibahkan, atau disedekahkan. Karena itu, menurut mereka barang-barang seperti hewan ternak, hewan melata, hamba sahaya (budak), dinar, dirham, tanah, dan barang-barang lainnya selama itu halal diperjual-belikan, maka halal pula digadaikan.[6]
Pendapat dari kalangan ulama Imam Syafi’i menekankan bahwa barang gadai harus berbentu barang yang berwujud, jika tidak demikian maka gadainya menjadi tidak sah. Oleh karena itu, menggadaikan manfaat benda seperti gadai menepati rumah sebagai jaminan, menurut pendapat mereka tidak sah.[7] Karena itu pada umumnya baik pada mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali menyepakati bahwa syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad gadai sehingga syarat tersebut diperbolehkan. Namun, bila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad rahn maka syarat yang demikian menjadi batal.




[1] Zainuddin Ali, Op.cit., hal 20.
[2] Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh ‘ala Al-Madzahib, hal 296.
[3] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Wacana Ulama dan Cendikiawan, Jakarta, Bank Indonesia dan Tazkia Institute, 2001, hal 21.
[4] Abdurrahman Al-Jaziri, Op.Cit., hal 296-298
[5] Abdurrahman Al-Jaziri, Ibid., hal 296-298.
[6] Abi Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Al-Umm, Beirut, Dar Al-Kutub, Jilid III, hal 169.
[7] Abdurrahman Al-Jaziri, Op.Cit., hal 303.