Rukun dan Syarat Sahnya Perjanjian Gadai dalam Islam |
Rukun dan Syarat Sahnya Perjanjian Gadai dalam Islam - Pada umumnya aspek hukum keperdataan Islam (fiqh mu’ammalah) dalam hal transaksi baik dalam bentuk jual beli, gadai sewa-menyewa ataupun yang semacamnya yang mempersyaratkan rukun dan syarat sah termasuk dalam transaksi gadai. Demikian juga hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi gadai. Hal dimaksud adalah sebagai berikut:
a)
Rukun
gadai.
Dalam fikih empat mazhab (fiqh al-madzahib al-arba’ah)
diungkapkan rukun gadai adalah sebagai berikut:
1) Aqid
(orang yang berakal)
Aqid
adalah orang yang melakukan akad yang meliputi 2 (dua) arah, yaitu (a) Rahin (orang yang menggadaikan
barangnya), dan (b) Murtahin (orang
yang berpiutang dan menerima barang gadai), atau penerima gadai. Hal
dimaksudkan, didasari oleh Sighat,
yaitu ucapan berupa ijab qabul
(serah-terima antara kedua belah pihak pemberi gadai dan penerima gadai) untuk
melaksanakan akad rahn yang memenuhi
kriteria syariat Islam, sehingga akad yang dibuat oleh 2 (dua) belah pihak atau
lebih harus memenuhi beberapa rukun dan syarat.[1]
2) Ma’qud ‘alaih (barang
yang diakadkan)
Ma’qud
‘alaih meliputi 2 (dua) hal, yaitu (a) marhun (barang yang digadaikan) dan (b) Marhun bihi (dain), atau
barang yang dikarenakannya diadakan akad rahn.[2]
Namun demikian, ulama fikih berbeda pendapat mengenai masuknya shighat sebagai rukun dari terjadinya rahn. Ulama mazhab Hanafi berpendapat
bahwa shighat tidak termasuk sebagai
rukun rahn, melainkan ijab (pernyataan menyerahkan barang
sebagai agunan bagi pemilik barang) dan qabul
(pernyataan kesediaan dan memberi utang dan menerima barang agunan
tersebut).
Di samping itu, menurut ulama Hanafi
untuk sempurna dan mengikatnya akad rahn
masih diperlukan apa yang disebut penguasaan barang oleh kreditor (al-qabdh), sementara kedua pihak yang
melaksanakan akan dan harta yang dijadikan agunan atau objek jaminan. Dalam
pandangan ulama Hanafi lebih tepat dimasukkan sebagai rahn bukan rukun rahn.
b)
Syarat-syarat
sah gadai.
Selain rukun yang harus terpenuhi dalam
transaksi gadai, maka dipersyaratkan juga syarat-syarat gadai sebagaimana
dimaksud yang terdiri atas 1. shighat, 2.
pihak-pihak yang berakad cakap menurut hukum, 3. utang (marhun bih), dan 4. marhun.
1) Shighat
Syarat shighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan waktu yang
akan datang, misalnya orang yang menggadaikan hartanya mempersyaratkan tenggang
waktu habis dan utang belum terbayar sehingga pihak penggadai dapat
diperpanjang satu bulan tenggang waktunya, kecuali jika syarat itu mendukung
kelancaran akad maka diperbolehkan. Sebagai contoh, pihak penerima gadai
meminta supaya akad itu disaksikan oleh dua orang saksi.
2) Pihak-pihak
yang berakad cakap menurut hukum
Pihak-pihak yang berakad cakap menurut
hukum mempunyai pengertian bahwa pihak rahin
dan marhun cakap melakukan perbuatan
hukum yang ditandai dengan aqil-baliq,
berakal sehat dan mampu melakukan akad. Menurut sebagian pengikut ulanma Abu
Hanifah memperbolehkan anak-anak yang mummayiz
untuk melakukann akad karena dapat membedakan yang baik dan yang buruk.
Syarat orang yang menggadaikan (ar-rahin)
dan orang yang menerima gadai adalah cakap bertindak dalam kacamata hukum, lain
halnya menurut mayoritas ulama, orang yang masuk dalam kategori ini adalah
orang yang telah baligh dan berakal.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi kedua belah pihak tidak diisyaratkan baligh, melainkan cukup berakal saja,
oleh karena itu mazhab hanafi anak kecil yang mumayyiz yang sudah dapat membedakan suatu perbuatan baik dan
buruk, maka ia dapat melakukan akad rahn dengan
syarat akad rahn yang dilakukan
mendapat persetujuan dari walinya.
3) Utang
(Marhun bih)
Utang (marhun bih) mempunyai pengertian bahwa: (a) utang adalah kewajiban
bagi pihak berutang untuk membayar kepada pihak yang memberi piutang, (b)
merupakan barang yang dapat dimanfaatkan, jika tidak bermanfaat maka tidak sah,
(c) barang tersebut dapat dihitung jumlahnya.
4) Marhun
Marhun
adalah harta yang dipegang oleh murtahin
(penerima gadai) atau wakilnya sebagai suatu jaminan utang. Para ulama
menyepakati bahwa syarat yang berlaku pada barang gadai adalah syarat yang
berlaku pada barang yang dapat diperjual-belikan, yang ketentuannya adalah:[3]
a) Agunan
itu harus bernilai dan dapat dimanfaatkan menurut ketentuan syariat Islam.
Sebaliknya agunan yang tidak bernilai dan tidak dapat dimanfaatkan menurut
syariat Islam maka tidak dapat dijadikan agunan.
b) Agunan
harus dapat dijual dan nilainya seimbang dengan besarnya utang.
c) Agunan
itu harus jelas dan tertentu (harus dapat ditentukan secara spesifik).
d) Agunan
itu sah milik pemberi gadai.
e) Agunan
itu tidak terikat dengan hak orang lain (bukan milik orang lain, baik sebagian
maupun seluruhnya).
f) Agunan
tersebut harus berupa harta yang utuh dan tidak berada dibeberapa tempat.
g) Agunan
itu dapat diserahkan kepada pihak lain, baik itu materi maupun manfaatnya.
Syarat-syarat gadai yang diungkapkan
diatas menggambarkan secara umum mengenai syarat-syarat rahn. Namun pada kenyataanya, para ulama tidak sepakat dalam
memberikan syarat-syarat rahn,
sehingga terjadi perkembangan dalam berbagai versi yang menyangkut kategori
yang dapat dimasukkan sebagai syarat-syarat rahn.
Adapun syarat-syarat rahn yang
dimaksudkan akan dikemukakan pendapat dari para imam mazhab sebagai berikut:
a) Pendapat
ulama mazhab Maliki
Pendapat ulama dari kalangan mazhab Imam
Malik berkenaan dengan syarat-syarat rahn
terdiri dari 4 (empat) bagian sebagai berikut:[4]
a. Bagian
yang berkaitan dengan kedua belah pihak yang melakukan akad, yaitu pihak rahin dan pihak murtahin. Syarat ini mengharuskan bahwa kedua belah pihak yang
terlibat dalam transaksi hukum gadai harus adanya 2 (dua) orang yang memenuhi
keabsahan akad dalam jual beli yang tetap (mengikat). Jika akad dilakukan oleh
seorang anak yang masih mumayyiz,
maka salah satunya dan/atau keduanya maka akadnya tetap sah tetapi tidak
mengikat. Kecuali, jika anak mummayyiz
yang melakukan akad tersebut diizinkan oleh walinya.
b. Bagian
yang berkaitan dengan marhun (barang
gadai). Syarat ini mengharuskan barang yang digadaikan adalah barang yang juga
sah bila diperjualbelikan. Oleh karena itu, tidak boleh menggadai barang-barang
yang tidak suci (najis) dan barang-barang lainnya yang dalam hukum jual beli
juga dilarang.
c. Bagian
yang berkaitan dengan marhun bihi
(uang yang dipinjamkan). Syarat ini mengharuskan utang sudah tetap, baik pada
saat itu maupun di masa yang akan datang. Adapun hal yang dimaksudkan dalam hal
ini dapat diungkapkan sebagai contoh tentang sahnya akad gadai pada al-ju’lu (pengupahan), yakni pemberian
upah dari seseorang kepada orang lain atas jasanya.
d. Bagian
yang berkaitan dengan akad. Hal yang dimaksudkan adalah mengharuskan bahwa akad
gadai hendaknya tidak menetapkan suatu syarat yang bertentangan dengan tujuan
gadai. Misalnya akad gadai yang menghendaki marhun
harus dijual jika orang yang menggadaikan
(rahin) tidak melunasinya.
Semua persyaratan rahn yang ditentukan oleh mazhab Maliki di atas, berdasarkan pada
asas setiap barang yang sah untuk diperjual-belikan, maka sah pula digadaikan.[5]
b) Pendapat
ulama mazhab Hanafi
Ulama dari mazhab Hanafi berpendapat
bahwa syarat gadai terbagi atas 3 (tiga), yaitu:
a. Syarat
terjadinya akad rahn, yakni (1) marhun (barang gadai), yang berupa harta
benda, dan (2) marhun bihi (utang),
yang merupakan sebab terjadinya gadai.
b. Yang
berkaitan dengan syarat-syarat sahnya akad rahn,
yaitu (1) hendaknya berkaitan dengan syarat yang tidak dikehendaki oleh akal,
(2) tidak didasarkan pada waktu tertentu, (3) marhun(barang gadai) dapat dibedakan dari lainnya, (4) marhun (barang gadai) berada dalam
kekuasaan penerima gadai, setelah diterima olehnya (al-qabdh), (5) marhun (barang gadai) benar-benar kosong, (6) marhun (barang gadai) bukanlah barang
yang bernajis (tidak suci), dan (7) marhun
(barang gadai) bukan termasuk barang yang tidak bisa diambil manfaatnya,
c. Syarat
tetapnya akad rahn. Akad rahn telah tetap bilamana marhun (barang gadai) diterima oleh murtahin (penerima gadai) dengan
terjadinya ijab dan qabul.
c) Pendapat
ulama mazhab Imam Maliki dan Syafi’i
Pendapat ulama dari mazhab Imam Maliki
dan Imam Syafi’i yang hanya menekankan ketentuan perihal gadai yang
mempersyaratkan keabsahan barang gadai berdasarkan keabsahan barang yang
diperjual-belikan. Pengikut dari kedua mazhab yang dimaksud mengatakan bahwa
segala sesuatu yang dapat diterima atau dijual, dapat digadaikan, dihibahkan,
atau disedekahkan. Karena itu, menurut mereka barang-barang seperti hewan
ternak, hewan melata, hamba sahaya (budak), dinar, dirham, tanah, dan barang-barang
lainnya selama itu halal diperjual-belikan, maka halal pula digadaikan.[6]
Pendapat dari kalangan ulama Imam Syafi’i
menekankan bahwa barang gadai harus berbentu barang yang berwujud, jika tidak
demikian maka gadainya menjadi tidak sah. Oleh karena itu, menggadaikan manfaat
benda seperti gadai menepati rumah sebagai jaminan, menurut pendapat mereka
tidak sah.[7]
Karena itu pada umumnya baik pada mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab
Hambali menyepakati bahwa syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran
akad gadai sehingga syarat tersebut diperbolehkan. Namun, bila syarat itu
bertentangan dengan tabiat akad rahn
maka syarat yang demikian menjadi batal.
[3] Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Wacana
Ulama dan Cendikiawan, Jakarta, Bank Indonesia dan Tazkia Institute, 2001,
hal 21.