Minggu, 16 Juli 2017

Berakhirnya Akad Rahn (Gadai) di tinjau dari sisi syariah


Menurut ketentuan syariat bahwa apabila masa yang telah diperjanjiakan untuk pembayaran utang telah terlewati maka pihak pemberi gadai berkewajiban untuk membayar hutangnya, namun jika seandainya pihak penerima gadai tidak punya kemauan untuk mengembalikan pinjamannya hendaklah ia memberikan izin kepada pemegang gadai untuk menjual barang gadaiannya, dan seandainya izin ini tidak diberikan oleh pemberi gadai maka pihak penerima gadai dapat meminta pertolongan hakim untuk memaksa pihak pemberi gadai untuk melunasi hutangnya atau memberikan izin kepada penerima gadai untuk menjual barang gadaian tersebut.
Apabila pemegang gdaia telah menjual barang gadaian tersebut dan ternyata terdapat kelebihan uang dari yang seharusnya dibayar oleh pihak pemberi gadai, maka kelebihan uang tersebut harus diberikan kepada pihak pemberi gadai. Sebaliknya sekalipun barang gadaian telah dijual dan ternyata belum dapat melunasi hutang pihak pemberi gadai, maka pihak penerima gadai masih mempunyai kewajiban untuk membayar kekurangannya tersebut.
Sayyid Sabiq menyatakan apabila di dalam perjanjian gadai terdapat klausula murtahin berhak menjual barang gadai pada waktu jatuh tempo perjanjian gadai, maka objek gadai (agunan) tersebut dibolehkan untuk dijual. Argumentasi yang ajukan adalah bahwa menjadi haknya pemegang barang (objek) gadai untuk menjual barang gadai tersebut. Pendapat ini berbeda denga  pendapat Imam As-Syafi’i yang memandang dicantumkannya klausula tersebut dalam perjanjian gadai adalah batal demi hukum.[1]
Dahulu pada zaman tradisi Arab sebelum Islam datang, jika orang yang menggadaikan barang tidak mampu mengembalikan pinjaman, maka hak kepemilikan atas barang gadi beralih kepada ke pihak pemegang gadai. Praktik semacam inilah yang kemudian dibatalkan oleh Islam. Hal ini tertuang dalam Hadis dari Muawiyah bin Abdullah bin Ja’far: “bahwa seseorang yang menggadaikan rumah di Madinah untuk jangka waktu tertentu, namun nasabnya telah lewat, lalu pihak pemegang barang (objek gadai) menyatakan “bahwa ini rumahku”. Rasulullah SAW kemudian bersabda:
“Jangalah ia (pemegang gadai) menutup hak gadaian dari pemiliknya (rahin) yang menggadaikan, ia (murtahin) berhak memperoleh bagian dan dia (rahin) berkewajiban membayar gharamahnya” (HR. Asy-Syafi’i)
Hal ini disetujuai oleh Al-Jazari yang mengatakan bahwa jika rahin mensyaratkan barang gadaian tidak dijual ketika hutangnya jatuh tempo, maka rahn (gadai) menjadi batal. Begitu pula jika murtahin mensyratkan kepada rahin bahwa marhun menjadi milik murtahin jika rahin tidak membayar hutangnya maka ini juga tidak sah (batal).[2] Hal ini didasari pada sabda Rasullah SAW: “rahn itu tidak boleh dimiliki, rahn itu milik orang yang menggadaikan. Ia berhak atas keuntungan dan kerugiannya”. (Diriwayatkan Al-Baihaqi dengan sanad yang baik).
Dapat disimpulkan bahwa akad rahn berakhir dengan hal-hal sebagai berikut:
a)      Barang yang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya.
b)      Rahin membayara hutangnya.
c)      Dijual dengan perintah Hakim atas perintah rahin.
d)     Pembebasan hutang dengan cara apapun, meski tidak ada persetujuan dari pihak rahin.
Ibnu Al Mundzir mengatakan: “semua orang yang alim sependapat, bahwa siapa saja yang menggadaikan sesuatu harta, kemudian dia melunasi sebagiannya, dan ia menghendaki mengeluarkan sebagian barang gadaiannya (lagi), sesungguhnya yang demikian itu (masih) bukan miliknya sebelum ia melunasi sebagian lain dari haknya atau pemberi hutang membebaskan.[3]
Jika marhun mengalami kerusakan karena keteledoran murtahin, maka murtahin wajib mengganti marhun tersebut. Tetapi jika bukan disebabkan oleh murtahin maka murtahin tidak wajib mengganti piutangnya tetap menjadi tanggungan rahin.
Jika rahin meninggal dunia atau pailit maka murtahin lebih berhak (preferen) atas marhun dari pada sama kreditur. Jika hasil penjualan marhun tidak mencukupi piutangnya, maka murtahin memiliki hak yang sama bersama para kreditur terhadap harta peninggalan rahin.[4]



[1]  Sabiq Sayyid, Fikih Muammalah, jilid ke-3, Bandung, Al Maarif, hal 145.
[2] Al Jaziri dan Abu Bakr Janir, ensikplodea Muslim Minhajul Muslim, Jakarta, Daarul Haq, 2000, hal 533.
[3] Sabiq Sayyid, Fikih Muammalah, jilid ke-3, Bandung, Al Maarif, hal 144.
[4] Al Jaziri dan Abu Bakr Janir, ensikplodea Muslim Minhajul Muslim, Jakarta, Daarul Haq, 2000, hal 534.

Jumat, 14 Juli 2017

PEMANFAATAN BARANG GADAI DALAM ISLAM

Pemanfaatan Barang Gadaian
Para ulama mempunyai perbedaan berkenaan pemanfaatan barang gadai, yaitu sebagai berikut:
a.       Pendapat ulama Syafi’iyah
Menurut ulama Syafi’iyah seperti yang dikutip oleh Chuzaimah T Yanggo dan Hafiz Anshari bahwa yang mempunyai hak atas manfaat harta benda gadai (marhun) adalah pemberi gadai (rahin) walaupun marhun itu berada di bawah kekuasaan penerima gadai (murtahin).[1] Dasar hukum hal dimaksud adalah hadis Nabi Muhammad SAW, sebagai berikut:
1)      Hadis Nabi Muhammad SAW meriwayatkan: dari Abu Hurairah RA berkata bahwasanya Rasullah SAW bersabda, “barang jaminan itu dapat air susunya dan ditanggungi/dinaiki”.
2)      Hadis Nabi Muhammad SAW yang artinya, dari Abi hurairah Nabi Muhammad SAW bersabda: “gadaian itu tidak menutup hak yang punya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib mempertanggung jawabkan segalanya (kerusakan dan biaya)”. (HR. Asy-Syafi’i dan Ad-Daruqtuni)
3)      Hadis Nabi Muhammad SAW yang artinya, dari Umar bahwasanya Rasullah SAW bersabda: “hewan seseorang tidak boleh diperah tanpa seizin pemiliknya”. (HR. Al-Bukhari).
Berdasarkan ketiga dasar hukum tersebut, dapat disimpulkan bahwa marhum hanya sebagai jaminan atau kepercayaan atas murtahin. Kepemilikan marhun tetap melekat pada rahin. Oleh karena itu, manfaat atau hasil dari marhun itu tetap berada pada rahin kecuali manfaat atau hasil dari marhun itu diserahkan kepada murtahin. Selain itu, perlu diungkapkan bahwa pemanfaatan marhun oleh murtahin yang mengakibatkan turun kualitas marhun tidak dibolehkan kecuali diizinkan oleh rahn.
b.      Pendapat ulama Malikiyah
Ulama Malikiyah berpendapat seperti yang dikutipoleh Muhammad dan Sholikhul Hadi bahwa penerima harta benda gadai (murtahin) hanya dapat memanfaatkan harta benda barang gadaian atas izin dari pemberi gadai dengan persyaratan berikut:
1)      Utang disebabkan dari jual beli, bukan karena menguntungkan. Hal itu terjadi seperti orang menjual barang dengan harta tangguh, kemudian orang itu meminta gadai dengan suatu barang sesuai dengan utangnya maka hal itu diperbolehkan.
2)      Pihak murtahin mensyaratkan bahwa manfaat dari harta benda gadai diperuntukkan pada dirinya.
3)      Jika waktu mengambil manfaat yang telah diisyaratkan harus ditentukan apabila tidak ditentukan batas waktunya maka terjadi batal.[2]

c.       Pendapat ulama Hanabilah
Menurut pendapat ulama Hanabillah, persyaratan bagi murtahin (penerima gadai) untuk mengambil manfaat harta benda gadai yang bukan berupa hewan adalah (a) ada izin dari pemilik barang, dan (b) adanya gadai bukan karena menguntungkan.
Apabila harta benda gadai berupa hewan yang tidak dapat diperah dan tidak dapat ditunggangi, maka boleh menjadikannya sebagai khadam. Akan tetapi apabila harta gadai itu berupa rumah, sawah, kebun dan semacamnya maka tidak boleh mengambil manfaatnya.[3]
Hal ini berdasarkan dalil hukum sebagai berikut: “barang gadai (marhun dikendarai) oleh sebab nafkahnya apabila digadaikan dan atas yang mengendarai dan meminum susunya wajib nafkahnya”. (HR. Al-Bukhari). Hadis Nabi Muhammad SAW tersebut dijadikan dasar hukum kebolehan murtahin mengambil manfaat dari barang gadai (marhun). Dari Muhammad bin Salamah bahwa Rasullah SAW bersabda: “apabila seekor kambing digadaikan maka yang menerima gadai boleh meminum susunya sesuai kadar memberi makannya, apabila ia meminum susu itu melebihi harga memberi nafkahnya maka ia termasuk riba”.
Kebolehan murtahin memanfaatkan harta benda gadai atas seizin pihak rahin, dan nilai pemanfaatannya harus disesuaikan dengan biaya yang telah dikeluarkannya untuk marhun didasarkan atas hadis Nabi Muhammad SAW yang artinya sebagai berikut: dari Abu Hurairah RA, berkata bahwasanya Rasullah SAW bersabda: “barang jaminan itu dapat ditanggung dan diperah susunya”. Dari Umar bahwasanya Rasullah SAW bersabda: “hewan seseorang tidak boleh diperah tanpa seizin pemiliknya”. (HR. Al-Bukhari).
d.      Pendapat ulama hanafiyah
Menurut pendapat ulama Hanafiyah tidak ada perbedaan antara pemanfaatan barang gadai yang mengakibatkan kurangnya harga atau tidak. Alasannya adalah berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:
“Dari Abu Shalih dari abu Abu Hurairah RA berkata, bahwasanya Rasullah SAW bersabda: barang jaminan utang (gadai) dapat ditunggangi dan diperah susunya, serta atas dasar menunggangi dan memerah susunya, wajib menafkahi”. (HR. Al-Bukhari).
Menurut ulama Hanafiyah sesuai dengan fungsi dari barang gadai (marhun) sebagai barang jaminan dan kepercayaan bagi pihak penerima gadai (murtahin). Apabila barang tersebut tidak dimanfaatkan oleh penerima gadai (murtahin) maka berarti mengilangkan manfaat dari barang tersebut, padahal barang tersebut memerlukan biaya untuk pemeliharaan. Hal itu dapat mendatangkan kemudharatan bagi kedua belah pihak, terutama bagi pihak penerima gadai (rahin).[4]
Mengenai hal tersebut Sayyid Sabiq mempunyai pendapat yang berbeda, menurutnya memanfaatkan barang gadai tidak diperbolehkan meskipun seizin orang yang menggadaikan. Tindakan orang yang memanfaatkan harta benda gadai tidak ubahnya qiradh, dan setiap bentuk qiradh yang mengalir manfaat adalah riba, kecualibarang yang digadaikan berupa hewan ternak yang diambil susunya, dimana pemilik barang memberikan izin untuk memanfaatkan barang tersebut, maka penerima gadai boleh memanfaatkannya.[5]
Maka berdasarkan beberapa pendapat ulama yang telah dikemukakan di atas, mempunyai dasar hukum yang sama, namun mempunyai penafsiran yang berbeda-beda. Oleh karena itu suatu fungsi dari barang gadai (marhun) sebagai barang jaminan dan kepercayaan bagi penerima gadai (murtahin) sehingga barang tersebut dapat dimanfaatkan oleh penerima gadai  (murtahin). Namun, rahin (pemberi gadai) bila ingin memanfaatkan objek gadaian (marhun) harus seizin dengan penerima gadai (murtahin) selama utang pemberi gadai (rahin) belum dilunasi kepada penerima gadai (murtahin).[6]



[1] Chuizaman T Yanggo dan Hafiz Anshari, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Edisi ke-III, Jakarta, LSIK, 1997, hal 333.
[2] Muhammad dan Sholikhul hadi, Pengadaian Syariah: Suatu Alternatif Konstruksi Pengadaian Nasional, Edisi 1, Jakrta, Salemba Diniyah, 2003, hal 70.
[3] Chuizaman T Yanggo dan Hafiz Anshari, Op. Cit., hal 75.
[4] Muhammad dan Sholikhul hadi, Op.Cit., hal 76.
[5] Muhammad dan Sholikhul hadi, Ibid., hal 76.
[6] Zainuddin Ali, Op.Cit., hal 45.

Rukun dan Syarat Sahnya Perjanjian Gadai dalam Islam

 Rukun dan Syarat Sahnya Perjanjian Gadai dalam Islam

Rukun dan Syarat Sahnya Perjanjian Gadai dalam Islam - Pada umumnya aspek hukum keperdataan Islam (fiqh mu’ammalah) dalam hal transaksi baik dalam bentuk jual beli, gadai sewa-menyewa ataupun yang semacamnya yang mempersyaratkan rukun dan syarat sah termasuk dalam transaksi gadai. Demikian juga hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi gadai. Hal dimaksud adalah sebagai berikut:
a)      Rukun gadai.
Dalam fikih empat mazhab (fiqh al-madzahib al-arba’ah) diungkapkan rukun gadai adalah sebagai berikut:
1)      Aqid (orang yang berakal)
Aqid adalah orang yang melakukan akad yang meliputi 2 (dua) arah, yaitu (a) Rahin (orang yang menggadaikan barangnya), dan (b) Murtahin (orang yang berpiutang dan menerima barang gadai), atau penerima gadai. Hal dimaksudkan, didasari oleh Sighat, yaitu ucapan berupa ijab qabul (serah-terima antara kedua belah pihak pemberi gadai dan penerima gadai) untuk melaksanakan akad rahn yang memenuhi kriteria syariat Islam, sehingga akad yang dibuat oleh 2 (dua) belah pihak atau lebih harus memenuhi beberapa rukun dan syarat.[1]
2)      Ma’qud ‘alaih (barang yang diakadkan)
Ma’qud ‘alaih meliputi 2 (dua) hal, yaitu (a) marhun (barang yang digadaikan) dan (b) Marhun bihi (dain), atau barang yang dikarenakannya diadakan akad rahn.[2] Namun demikian, ulama fikih berbeda pendapat mengenai masuknya shighat sebagai rukun dari terjadinya rahn. Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa shighat tidak termasuk sebagai rukun rahn, melainkan ijab (pernyataan menyerahkan barang sebagai agunan bagi pemilik barang) dan qabul (pernyataan kesediaan dan memberi utang dan menerima barang agunan tersebut).
Di samping itu, menurut ulama Hanafi untuk sempurna dan mengikatnya akad rahn masih diperlukan apa yang disebut penguasaan barang oleh kreditor (al-qabdh), sementara kedua pihak yang melaksanakan akan dan harta yang dijadikan agunan atau objek jaminan. Dalam pandangan ulama Hanafi lebih tepat dimasukkan sebagai rahn bukan rukun rahn.
b)     Syarat-syarat sah gadai.
Selain rukun yang harus terpenuhi dalam transaksi gadai, maka dipersyaratkan juga syarat-syarat gadai sebagaimana dimaksud yang terdiri atas 1. shighat, 2. pihak-pihak yang berakad cakap menurut hukum, 3. utang (marhun bih), dan 4. marhun.
1)      Shighat
Syarat shighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan waktu yang akan datang, misalnya orang yang menggadaikan hartanya mempersyaratkan tenggang waktu habis dan utang belum terbayar sehingga pihak penggadai dapat diperpanjang satu bulan tenggang waktunya, kecuali jika syarat itu mendukung kelancaran akad maka diperbolehkan. Sebagai contoh, pihak penerima gadai meminta supaya akad itu disaksikan oleh dua orang saksi.
2)      Pihak-pihak yang berakad cakap menurut hukum
Pihak-pihak yang berakad cakap menurut hukum mempunyai pengertian bahwa pihak rahin dan marhun cakap melakukan perbuatan hukum yang ditandai dengan aqil-baliq, berakal sehat dan mampu melakukan akad. Menurut sebagian pengikut ulanma Abu Hanifah memperbolehkan anak-anak yang mummayiz untuk melakukann akad karena dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Syarat orang yang menggadaikan (ar-rahin) dan orang yang menerima gadai adalah cakap bertindak dalam kacamata hukum, lain halnya menurut mayoritas ulama, orang yang masuk dalam kategori ini adalah orang yang telah baligh dan berakal. Sedangkan menurut mazhab Hanafi kedua belah pihak tidak diisyaratkan baligh, melainkan cukup berakal saja, oleh karena itu mazhab hanafi anak kecil yang mumayyiz yang sudah dapat membedakan suatu perbuatan baik dan buruk, maka ia dapat melakukan akad rahn dengan syarat akad rahn yang dilakukan mendapat persetujuan dari walinya.
3)      Utang (Marhun bih)
Utang (marhun bih) mempunyai pengertian bahwa: (a) utang adalah kewajiban bagi pihak berutang untuk membayar kepada pihak yang memberi piutang, (b) merupakan barang yang dapat dimanfaatkan, jika tidak bermanfaat maka tidak sah, (c) barang tersebut dapat dihitung jumlahnya.
4)      Marhun
Marhun adalah harta yang dipegang oleh murtahin (penerima gadai) atau wakilnya sebagai suatu jaminan utang. Para ulama menyepakati bahwa syarat yang berlaku pada barang gadai adalah syarat yang berlaku pada barang yang dapat diperjual-belikan, yang ketentuannya adalah:[3]
a)      Agunan itu harus bernilai dan dapat dimanfaatkan menurut ketentuan syariat Islam. Sebaliknya agunan yang tidak bernilai dan tidak dapat dimanfaatkan menurut syariat Islam maka tidak dapat dijadikan agunan.
b)      Agunan harus dapat dijual dan nilainya seimbang dengan besarnya utang.
c)      Agunan itu harus jelas dan tertentu (harus dapat ditentukan secara spesifik).
d)     Agunan itu sah milik pemberi gadai.
e)      Agunan itu tidak terikat dengan hak orang lain (bukan milik orang lain, baik sebagian maupun seluruhnya).
f)       Agunan tersebut harus berupa harta yang utuh dan tidak berada dibeberapa tempat.
g)      Agunan itu dapat diserahkan kepada pihak lain, baik itu materi maupun manfaatnya.
Syarat-syarat gadai yang diungkapkan diatas menggambarkan secara umum mengenai syarat-syarat rahn. Namun pada kenyataanya, para ulama tidak sepakat dalam memberikan syarat-syarat rahn, sehingga terjadi perkembangan dalam berbagai versi yang menyangkut kategori yang dapat dimasukkan sebagai syarat-syarat rahn. Adapun syarat-syarat rahn yang dimaksudkan akan dikemukakan pendapat dari para imam mazhab sebagai berikut:
a)      Pendapat ulama mazhab Maliki
Pendapat ulama dari kalangan mazhab Imam Malik berkenaan dengan syarat-syarat rahn terdiri dari 4 (empat) bagian sebagai berikut:[4]
a.       Bagian yang berkaitan dengan kedua belah pihak yang melakukan akad, yaitu pihak rahin dan pihak murtahin. Syarat ini mengharuskan bahwa kedua belah pihak yang terlibat dalam transaksi hukum gadai harus adanya 2 (dua) orang yang memenuhi keabsahan akad dalam jual beli yang tetap (mengikat). Jika akad dilakukan oleh seorang anak yang masih mumayyiz, maka salah satunya dan/atau keduanya maka akadnya tetap sah tetapi tidak mengikat. Kecuali, jika anak mummayyiz yang melakukan akad tersebut diizinkan oleh walinya.
b.      Bagian yang berkaitan dengan marhun (barang gadai). Syarat ini mengharuskan barang yang digadaikan adalah barang yang juga sah bila diperjualbelikan. Oleh karena itu, tidak boleh menggadai barang-barang yang tidak suci (najis) dan barang-barang lainnya yang dalam hukum jual beli juga dilarang.
c.       Bagian yang berkaitan dengan marhun bihi (uang yang dipinjamkan). Syarat ini mengharuskan utang sudah tetap, baik pada saat itu maupun di masa yang akan datang. Adapun hal yang dimaksudkan dalam hal ini dapat diungkapkan sebagai contoh tentang sahnya akad gadai pada al-ju’lu (pengupahan), yakni pemberian upah dari seseorang kepada orang lain atas jasanya.
d.      Bagian yang berkaitan dengan akad. Hal yang dimaksudkan adalah mengharuskan bahwa akad gadai hendaknya tidak menetapkan suatu syarat yang bertentangan dengan tujuan gadai. Misalnya akad gadai yang menghendaki marhun harus dijual jika orang yang menggadaikan (rahin) tidak melunasinya.
Semua persyaratan rahn yang ditentukan oleh mazhab Maliki di atas, berdasarkan pada asas setiap barang yang sah untuk diperjual-belikan, maka sah pula digadaikan.[5]
b)      Pendapat ulama mazhab Hanafi
Ulama dari mazhab Hanafi berpendapat bahwa syarat gadai terbagi atas 3 (tiga), yaitu:
a.       Syarat terjadinya akad rahn, yakni (1) marhun (barang gadai), yang berupa harta benda, dan (2) marhun bihi (utang), yang merupakan sebab terjadinya gadai.
b.      Yang berkaitan dengan syarat-syarat sahnya akad rahn, yaitu (1) hendaknya berkaitan dengan syarat yang tidak dikehendaki oleh akal, (2) tidak didasarkan pada waktu tertentu, (3) marhun(barang gadai) dapat dibedakan dari lainnya, (4) marhun (barang gadai) berada dalam kekuasaan penerima gadai, setelah diterima olehnya (al-qabdh), (5) marhun  (barang gadai) benar-benar kosong, (6) marhun (barang gadai) bukanlah barang yang bernajis (tidak suci), dan (7) marhun (barang gadai) bukan termasuk barang yang tidak bisa diambil manfaatnya,
c.       Syarat tetapnya akad rahn. Akad rahn telah tetap bilamana marhun (barang gadai) diterima oleh murtahin (penerima gadai) dengan terjadinya ijab dan qabul.

c)      Pendapat ulama mazhab Imam Maliki dan Syafi’i
Pendapat ulama dari mazhab Imam Maliki dan Imam Syafi’i yang hanya menekankan ketentuan perihal gadai yang mempersyaratkan keabsahan barang gadai berdasarkan keabsahan barang yang diperjual-belikan. Pengikut dari kedua mazhab yang dimaksud mengatakan bahwa segala sesuatu yang dapat diterima atau dijual, dapat digadaikan, dihibahkan, atau disedekahkan. Karena itu, menurut mereka barang-barang seperti hewan ternak, hewan melata, hamba sahaya (budak), dinar, dirham, tanah, dan barang-barang lainnya selama itu halal diperjual-belikan, maka halal pula digadaikan.[6]
Pendapat dari kalangan ulama Imam Syafi’i menekankan bahwa barang gadai harus berbentu barang yang berwujud, jika tidak demikian maka gadainya menjadi tidak sah. Oleh karena itu, menggadaikan manfaat benda seperti gadai menepati rumah sebagai jaminan, menurut pendapat mereka tidak sah.[7] Karena itu pada umumnya baik pada mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali menyepakati bahwa syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad gadai sehingga syarat tersebut diperbolehkan. Namun, bila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad rahn maka syarat yang demikian menjadi batal.




[1] Zainuddin Ali, Op.cit., hal 20.
[2] Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh ‘ala Al-Madzahib, hal 296.
[3] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Wacana Ulama dan Cendikiawan, Jakarta, Bank Indonesia dan Tazkia Institute, 2001, hal 21.
[4] Abdurrahman Al-Jaziri, Op.Cit., hal 296-298
[5] Abdurrahman Al-Jaziri, Ibid., hal 296-298.
[6] Abi Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Al-Umm, Beirut, Dar Al-Kutub, Jilid III, hal 169.
[7] Abdurrahman Al-Jaziri, Op.Cit., hal 303.