PENGERTIAN MASYARAKAT HUKUM ADAT- Masyarakat hukum adat adalah suatu
bentuk kehidupan bersama, yang warga-warganya hidup secara bersama dalam jangka
waktu yang sangat lama, sehingga membentuk suatu kebudayaan. Masyarakat
merupakan suatu kesatuan dari sistem sosial, yang menjadi wadah dari berbagai
pola-pola interaksi sosial atau hubungan interpersonal ataupun hubungan antar
kelompok sosial.
Istilah masyarakat adat merupakan padanan
dari indigeneous people. Istilah itu
sudah dikenal luas dan telah disebutkan dalam sejumlah kesepakatan
internasional, yaitu: Convention of
International Labor Organixation Concerning Indigeneous and Tribal People in
Independent Countries (1989), Deklarasi Cari Oca tentang Hak-Hak Masyarakat
Adat (1992), Deklarasi Bumi Rio de Janairo (1992), Declaration on the Right of Asian Indigenous Tribal People Chianmai (1993),
De Vienna Declaration and Programme
Action yang dirumuskan oleh United Nations World Conference on Human Rights
(1993). Sekarang istilah indigenous
people semakin resmi penggunaannya dengan telah lahirnya Deklarasi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on the Rights of Indegenous People) pada
tahun 2007.
Banyak ahli berpendapat bahwa pengertian
masyarakat adat harus dibedakan dengan masyarakat hukum adat. Konsep masyarakat
adat merupakan pengertian umum untuk menyebut masyarakat tertentu dengan
ciri-ciri tertentu. Sedangkan masyarakat hukum adat merupakan pengertian teknis
yuridis yang menunjuk sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah (ulayat)
tempat tinggal dan lingkungan kehidupan tertentu, memiliki kekayaan dan
pemimpin yang bertugas menjaga kepentingan kelompok (keluar dan ke dalam), dan memiliki
tata aturan (sistem) hukum dan pemerintahan.[1]
Secara faktual setiap provinsi di
Indonesia terdapat kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dengan
karakteristiknya masing-masing yang telah ada ratusan tahun yang lalu.
Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, yang bertingkah
laku sebagai kesatuan, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai
penguasa-penguasa, memiliki hukum adat masing-masing dan mempunyai kekayaan
sendiri baik berupa benda yang berwujud ataupun tidak berwujud serta menguasai
sumber daya alam dalam jangkauannya.[2]
Mereka memiliki sistem kebudayaan yang kompleks dalam tatanan kemasyarakatannya
dan mempunyai hubungan yang kuat dengan tanah dan sumber daya alamnya. Masyarakat
hukum adat juga diartikan sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan
hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan karena kesamaan tempat
tinggal ataupun atas dasar keturunan.[3]
Konsep masyarakat hukum adat untuk
pertama kali diperkenalkan oleh Cornelius van Vollenhoven. Ter Haar sebagai
murid dari Cornelius van Vollenhoven mengeksplor lebih mendalam tentang
masyarakat hukum adat. Ter Haar memberikan pengertian sebagai berikut,
masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu
daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri
baik berupa benda yang terlihat maupun yang tidak terlihat, dimana para anggota
kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang
wajar menurut kodrat alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu
mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh
itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk
selama-lamanya.[4]
Kusumo Pujosewojo memberikan pengertian yang
hampir sama dengan Ter Haar, beliau mengartikan masyarakat hukum adat sebagai
masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu, berdirinya tidak
ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa
lainnya, dengan rasa solidaritas sangat besar di antara anggota, memandang
anggota masyarakat sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber
kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat
dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya.[5]
Sedangkan menurut Hazairin, masyarakat
hukum adat adalah kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan
untuk sanggup berdiri sendiri yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa
dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi
semua anggotanya.[6]
Menurut Soepomo dijelaskan bahwa Van
Vollenhoven dalam orasinya tanggal 2 Oktober 1901 menegaskan:[7] “bahwa
untuk mengetahui hukum, maka yang terutama perlu diselidiki adalah pada waktu
dan bilamana serta di daerah mana sifat dan susunan badan-badan persekutuan
hukum di mana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu hidup sehari-hari”. Bersandar
dari pendapat tersebut, Soepomo mengungkapkan pendapatnya sendiri bahwa: “penguraian
tentang badan-badan persekutuan itu harus tidak didasarkan atas sesuatu yang dogmatik,
melainkan harus berdasarkan atas kehidupan yang nyata dari masyarakat yang
bersangkutan”.[8]
Dari apa yang telah dikemukakan oleh Van Vollenhoven dan Soepomo terlihatlah
bahwa masyarakat yang mengembangkan ciri khas hukum adat itu adalah Persekutuan
Hukum Adat (Adatrechts Gemeenschapen).
Bentuk dan susunan masyarakat hukum yang
merupakan persekutuan hukum adat itu, para anggotanya terikat oleh faktor yang
bersifat teritorial dan geneologis. Menurut pengertian yang dikemukakan para
ahli hukum di zaman Hindia-Belanda, yang dimaksud dengan masyarakat hukum atau
persekutuan hukum yang teritorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur,
yang anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu,
baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani
sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh para leluhur.[9]
Sedangkan masyarakat atau persekutuan hukum yang bersifat geneologis adalah
suatu kesatuan masyarakat yang teratur, di mana para anggotanya terikat pada
suatu garis keturunan yang sama dari satu leluhur, baik secara tidak langsung
karena pertalian perkawinan atau pertalian adat.[10]
Berdasarkan pendapat dari beberapa pakar
hukum tersebut maka dapat dirumuskan kriteria masyarakat hukum adat sebagai
berikut:
a) Terdapat
masyarakat yang teratur.
b) Menempati
suatu wilayah tertentu.
c) Terdapat
kelembagaan.
d) Memiliki
kekayaan bersama.
e) Susunan
masyarakat berdasarkan pertalian darah atau lingkungan daerah, dan.
f) Hidup
secara komunal, dan gotong-royong.
Dalam buku De Commune Trek in Bet Indonesische Rechtsleven, F.D. Hollenmann
mengkonstruksikan 4 (empat) sifat umum dari masyarakat adat, yaitu magis religious, komunal, konkrit dan
kontan. Hal ini terungkap dalam uraian singkat sebagai berikut:[11]
a) Sifat
magis religious diartikan sebagai
suatu pola pikir yang didasarkan pada keyakinan masyarakat tentang adanya
sesuatu yang bersifat sakral. Sebelum masyarakat bersentuhan dengan sistem
hukum agama religiusitas ini diwujudkan dalam cara berpikir yang prologka,
animism, dan kepercayaan pada alam ghaib. Masyarakat harus menjaga keharmonisan
antara alam nyata dan alam batin (dunia gaib). Setelah masyarakat mengenal
sisitem hukum agama perasaan religious
diwujudkan dalam bentuk kepercayaan kepada Tuhan (Allah). Masyarakat percaya
bahwa setiap perbuatan apapun bentuknya akan selalu mendapat imbalan dan hukuman
tuhan sesuai dengan derajat perubahannya.
b) Sifat
komunal (commuun), masyarakat
memiliki asumsi bahwa setiap individu, anggota masyarakat merupakan bagian integral
dari masyarakat secara keseluruhan. Diyakini bahwa kepentingan individu harus
sewajarnya disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat karena tidak
ada individu yang terlepas dari masyarakat.
c) Sifat
konkrit diartikan sebagai corak yang serba jelas atau nyata menunjukkan bahwa
setiap hubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat tidak dilakukan secara
diam-diam atau samar.
d) Sifat
kontan (kontane handeling) mengandung
arti sebagai keserta-mertaan terutama dalam pemenuhan prestasi. Setiap pemenuhan
prestasi selalu dengan kontra prestasi yang diberikan secara
serta-merta/seketika.
Masyarakat adat menunjukkan hubungan
yang erat dalam hubungan antar personal dan proses interaksi sosial yang
terjadi antar manusia tersebut menimbulkan pola-pola tertentu yang disebut
dengan cara (a uniform or customary of
belonging within a social group).[12] Manusia
pada dasarnya ingin hidup teratur dan kemudian setiap kelompok dalam masyarakat
tersebut memiliki pengertian yang berbeda terhadap pengertian teratur. Keteraturan
tersebut diperlukan untuk mengatur perilaku manusia dalam kelompok manusia dan
hal inilah yang menguatkan konsep dan nilai-nilai komunal dalam masyarakat adat
tersebut.[13]
[1] Taqwaddin, Penguasaan Atas
Pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat (Mukim) di Provinsi Aceh, (Disertasi
Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2010), hal 36.
[2] Ibid., hal 3
[3] Limei Pasaribu, Keberadaan Hak
Ulayat dalam Masyarakat Hukum Adat Batak Toba di Kecamatan Nassau Kabupaten
Toba Samosir, Tesis, Ilmu Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan,USU,
2011.
[4] Husen Alting, Dinamika Hukum
dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2010,
hal
30.
[6] Rikardo Simarmata, Pengakuan
Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, Jakarta, UNDP Regional Centre in Bangkok, 2006, hal 23.
[7] Tolib Setiady, Intisari Hukum
Adat Indonesia dalam Kajian Kepustakaan), Alfabeta, Bandung, 2008, hlm. 75.
[11] Husen Alting, Op.Cit., hlm.
46.
[12] Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad, Legal
Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Berperkara di Mahkamah Konstitusi, Salemba Humanika, Jakarta, 2010, hal 12.