Rabu, 24 Februari 2021

Nama-Nama Hari dalam Bahasa Aceh

Pembagian waktu dan pemberian nama hari dalam masyakat Adat Aceh didasari dari Bahasa Arab, adapun bentuk bentuk pengucapannya sendiri terdiri dari:

Hari Minggu disebut dengan Uroe Aleuhat
Hari Senin disebut dengan Uroe Seunayan
Hari Selasa disebut dengan Uroe Seulasa
Hari Rabu disebut dengan Uroe Rabu
Hari Kamis disebut dengan Uroe Hameh
Hari Jumat disebut dengan Uroe Jeumeu'ah
Hari Sabtu disebut dengan Uroe Sabtu

Selasa, 17 Desember 2019

Aliran hukum alam

Airan hukum alam - Aliran ini disebut juga dengan aliran hukum kodrat atau Natural Law Theory, menurut aliran ini hukum dipandang sebagai suatu keharusan alamiah (nomos), baik semesta alam, maupun hidup manusia. Hukum itu berlaku universal dan bersifat abadi. Pemikiran hukum alam dikembangakan oleh beberapa pakar yang ada pada zaman Yunani dan Romawi.

Diantara aliran hukum alam ada masyarakat pada zaman Yunani Kuno yang diwakili oleh Zeno (320-250 SM), yang mempunyai ajaran sebagai berikut:

  1. Alam ini diperintah oleh pikiran yang rasional.
  2. Kerasionalan alam dicerminkan oleh seluruh manusia yang dengan kekuatan penalarannya memungkinkan menciptakan suatu natural life yang didasarkan pada reasonable living.
  3. Hukum alam dapat di identikan dengan moralitas tertinggi.
  4. Basis hukum adalah aturan Tuhan dan keadaan manusiawi.
  5. Penalaran manusia dimaksudkan agar ia dapat membedakan yang benar dari yang salah dan hukum didasarkan pada konsep-konsep manusia tentang hak dan kewajiban.

Hukum alam dibedakan dalam dua golongan :
  1. Aliran hukum alam irasional, dan
  2. Aliran hukum alam rasional.



Menurut aliran hukum alam irasional bahwa hukum itu berlaku universal dan bersifat abadi dengan mengesampingkan aspek ratio manusia. Tokoh aliran ini antara lain Thomas Aquinas. Menurut aliran hukum alam rasional bahwa hukum itu berlaku universal dan bersifat abadi dengan menekankan terhadap ratio manusia. Tokoh aliran ini antara lain Hugo Degrot.

Teori hukum alam (hukum kodrat melingkupi pendekatan terhadap hukum yang melihat bahwa keberadaan hukum yang ada adalah perwujudan atau merupakan fenomena tatanan hukum yang lebih tinggi yang seharusnya ditaati. Dengan demikian pendekatan dari teori hukum kodrat ada yang berpijak dari pandangan teologis dan sekuler.
  • Pandangan teologis (berdasarkan ke-Tuhan-an)

Teori hukum kodrat yang dipenuhi oleh pandangan atau yang ada, diciptakan dan diatur oleh yang maha kuasa yaitu tuhan yang juga telah meletakan prinsip-prinsip abadi untuk mengatuur perjalanannya alam semesta. Kitab suci menjadi sumber dari pandangan semacam ini. Semua hukum yang diciptakan oleh manusia karena itu harus sesuai  dengan hukum Tuhan seperti yang  digariskan dalam kitab suci (mengesampingkan aspek ratio manusia).
  • Pandangan sekuler (berdasarkan rasio)

Pandangan ini didasari keyakinan bahwa manusia (kemampuan akal budinya) dan dunianya (masyarakat) menjadi sumber bagi tatanan moral yang ada. Tatanan moral yang ada menjadi manifestasi tatanan moral dalam diri dan masyarakat manusia. Keutamaan moral tidak ada dalam sabda Tuhan yang tertulis dalam kitab suci tetapi dalam hati kehidupan sehari-hari manusia. Hukum itu berlaku secara universal dan bersifat abadi dengan menekankan pada aspek rasio manusia. Aliran hukum alam yang rational disebut pula aliran hukum alam yang modern.

Ada yang mengatakan bahwa hukum alam pada dasarnya bukanlah sesuatu aturan jenis hukum, melainkan merupakan kumpulan ide atau gagasan yang keluar dari pendapat para ahli hukum, kemudian diberikan sebuah label yang bernama hukum alam. Menurut pandangan Satjipto Rahardjo, bahwa istilah hukum alam ini didatangkan dalam berbagai arti oleh berbagai kalangan dan pada masa yang berbeda-beda pula. Dengan demikian hakikat hukum alam merupakan hukum yang berlaku universal dan abadi. Sebab menurut Friedmann, sejarah hukum alam adalah sejarah umat manusia dalam usahanya untuk menemukan apa yang disebut absolut justice (keadilan yang mutlak) disamping kegagalan manusia dalam mencari keadilan. Pengertian hukum alam berubah-ubah sesuai dengan perubahan pola piker masyarakat dan keadaan politik dijaman itu.




Kamis, 20 Juni 2019

Sejarah perkembangan hukum adat di Aceh pasca Mou Helsinki

Sejarah perkembangan hukum adat di Aceh pasca Mou Helsinki
Sejarah perkembangan hukum adat di Aceh pasca Mou Helsinki-Semenjak lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, keberadaan hukum adat semakin kuat dikarenakan adanya pengakuan terhadap lembaga adat. Adanya pemberian kewenangan kepada lembaga adat dalam melaksanakan hukum adat, yang ketentuan di atur dalam Bab XIII Pasal 98 tentang Lembaga Adat UUPA.

Dalam Pasal 98 ayat (1) disebutkan, Bahwa:
“Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban.”

kemudian dalam Pasal 98 ayat (1) berbunyi:
“Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban.”

Maka dengan demikian, berdasarkan amanah UUPA tersebut, dibentuklah turunan peraturan  daerah (Qanun) untuk menguatkan keberadaan lembaga adat (peradilan adat), struktur lembaga adat, dan hukum adat.

Adapun qanun-qanun di maksud adalah, sebagai berikut:
  1. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, yang disahkan pada 30 Desember 2008.
  2. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, yang disahkan pada 30 Desember 2008.
  3. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Imum Mukim,  yang disahkan pada 28 Mei 2009.
  4. Qanun Aceh Nomor  4  Tahun  2009  tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik (Kepala Desa, Kepala Kampung), yang disahkan pada 28 Mei 2009.
Dengan adanya undang-undang dan qanun-qanun di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa keberadaan hukum adat baik dalam arti materil maupun formil (peradilan adat) dapat dikatakan telah ditempatkan dalam sistem hukum positif (formal). Ini menunjukkan bahwa keberadaan hukum adat dan lembaga adat (peradilan adatnya) lambat laun akan menuju pada perundang-undangan formal. Konsekuensinya adalah, hukum adat dan peradilan adat dapat besifat kaku sebagaimana praktik lembaga-lembaga formal lainnya. Jika perundang-undangan tidak mengaturnya, maka praktik kebiasaan masyarakat sebagai unwritten law (hukum tidak tertulis) yang telah dipraktikkan secara turun temurun akan dianggap tidak mempunyai arti formal.