Jumat, 21 Juli 2017

Pengertian Hukum Adat Menurut Para Sarjana (Barat)

Adapun pengertian hukum adat menurut para sarjana diantaranya dikemukakan sebagai berikut:[1]
1.      Snouck Hurgroje menyatakan bahwasanya hukum adat merupakan adat yang mempunyai sanski hukum yang berbeda (berlainan) dengan kebiasaan atau pendirian yang tidak membayangkan arti hukum.
2.      Van Vollenhoven, hukum adat adalah sebagai kumpulan dari peraturan tentang perilaku yang berkembang dan berlaku bagi orang pribumi dan Timur Asing pada satu pihak mempunyai sanksi sedangkan pada sisi lain hukum adat dalam keadaan tidak terkodifikasi.[2]
3.      Ter Haar merumuskan hukum adalah merupakan keseluruhan kaidah-kaidah yang ditentukan berdasarkan hasil keputusan-keputusan dari para fungsionaris hukum yang mempunyai kewibawaan serta mempunyai pengaruh yang diwujudkan dalam pelaksanaannya secara serta merta.[3]
4.      F.D. Holleman dalam pendapatnya yang menyetujui pendapat Van Vollenhoven dan tidak sependapat dengan Ter Haar, ia menjelaskan bahwasanya hukum adat merupakan hukum yang tidak bergantung dari suatu keputusan, bahwasanya norma-norma yang terdapat dalam suatu hukum adat merupakan suatu norma yang hidup yang disertai dengan sanksi dan jika dapat dilaksanakan oleh masyarakat atau badan-badan yang bersangkutan agar ditaati dan dihormati oleh para warga masyarakat. Tanpa adanya persoalan apakah terhadap norma-norma itu ada ataupun tidak adanya suatu keputusan-keputusan dari petugas hukum.[4]
5.      J.H.A. Logemann mengatakan bahwa hukum adat tidak mutlak sebagai suatu keputusan dikarenakan norma-norma yang hidup merupakan norma kehidupan bersama, yang merupakan aturan-aturan perilaku yang harus diikuti oleh semua warga dalam pergaulan bersama. Jika ternyata bahwa ada sesuatu yang berlaku, maka norma itu tentu mempunyai sanksi yang berbentuk sanksi apapun baik dari yang berbentuk ringan sampai berbentuk sangat berat. Sehingga orang dapat menganggap bahwa semua norma yang ada sanksi merupakan norma hukum.



[1] Djamanat Samosir, Hukum Adat Indonesia, Penerbit Nuansa Aulia, Bandung, 2013, hal 15.
[2] Van Vollenhoven, Orientasi dalam Hukum Adat, Laden Volken-kunde (KITLV) Bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Djambatan, 1981, hal 14.
[3] Ter Haar, dkk, Hukum Adat dalam Polemik Ilmiah, Bhrata, 1973, Jakarta, hal 11.
[4] Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat  Edisi Revisi, Mandar Maju, Bandung, 2014, hal 15.

Kamis, 20 Juli 2017

Pemerintahan Mukim Dalam Masyarakat Adat Aceh.


Asal-muasal adanya pemerintahan mukim yang berada pada masyarakat Aceh tidak terlepas dari mayoritas masyarakat Aceh yang beragama Islam, adanya mukim sendiri berawal dari dasar bagi penduduk tetap dalam suatu daerah dalam pelaksanaan ibadah shalat jumat. Berdasarkan Mazhab Imam Syafi’i untuk mendirikan shalat jum’at diperlukan lebih kurang 40 (empat puluh) orang laki-laki yang telah baligh (dewasa).
Pada dasarnya lembaga mukim terbentuk seiring masuknya agama Islam ke Aceh. Mukim merupakan suatu sistem pemerintahan yang berdiri sendiri dan dipimpin oleh seorang Imum Mukim. Imum Mukim dipilih secara langsung oleh tokoh-tokoh dalam suatu kemukiman tersebut, yang terdiri atas Tuha Lapan.[1]
Pada masa kolonial Belanda keberadaan Imum Mukim tetap diakui dan diatur secara khusus dalam Besluit van den Governeur van Nederland Indie Nomor 8 Tahun 1937. Dalam masa penjajahan oleh bangsa Jepang pemerintahan Mukim juga diakui dalam Osamu Serei Nomor 7 Tahun 1944. Setelah Indonesia merdeka ketentuan-ketentuan mengenai pemerintahan Mukim tetap diberlakukan sebagaimana terdapat di dalam ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mempertahankan kedudukan Mukim dalam struktur pemerintahan desa, keresidenan Aceh mengeluarkan Peraturan Keresidenan Aceh Nomor 2 dan Nomor 5 Tahun 1946. Menurut kedua peraturan tersebut, pemerintahan Mukim diberlakukan untuk seluruh Aceh, dan Pemerintahan Mukim mempunyai kedudukan di bawah Camat dan membawahi beberapa Gampong.
Dalam pelaksanaannya pemerintahan Mukim digerakkan oleh tiga unsur yaitu unsur adat, unsur agama dan unsur dewan. Di dalam unsur adat diwakili oleh Imum Mukim, dalam unsur agama di wakili oleh Imum Mesjid dan dari unsur dewan dipimpin oleh Tuha Lapan. Sekalipun pada ketiga unsur tersebut adanya pemisahan kewenangan, namun dalam pengambilan suatu keputusan adanya suatu putusan yang bersifat bersama dan pelaksaan putusan harus dijelaskan oleh imum mukim, sehingga putusan yang diambil merupakan suatu putusan yang terdapat dari tiga unsur tersebut yang mewakili masyarakat, dan kemudian tiap-tiap putusan yang dikeluarkan menjadi suatu putusan yang didukung oleh seluruh masyarakat.
Sistem pemerintahan Mukim pada masyarakat Aceh sendiri tidak terlepas nilai-nilai keislaman, di mana ciri-cirinya sendiri adalah sebagai berikut:[2]
a)      Memperhatikan syarat-syarat keagamaan yang harus dipenuhi oleh para pimpinan pada tingkat Mukim dan Gampong.
b)      Dapat dilihat dalam sistem pengelolaan tanah-tanah umum yang belum dimiliki oleh siapapun, yang oleh masyarakat Aceh disebut sebagai tanoh Potallah (tanah Tuhan). Dalam hal ini, siapa yang menghidupkan dan mengusahakan tanah mati tersebut, dialah yang berhak atas tanah tersebut, untuk dimiliki atau dialihkan kepada orang lain, tentu saja setelah syarat-syarat adat terpenuhi.
c)      Dalam penyelesaian sengketa yang mengedepankan perdamaian melalui musyawarah dan bertujuan untuk membangun kembali harmonisasi pasca sengketa dalam antar para pihak dalam suatu kehidupan bermasyarakat.
Pemerintahan Mukim diatur dalam Qanun Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim, adapun tugas dan fungsi Mukim di dalam pasal 3 dan 4 meliputi:
a)      Menyelenggarakan pemerintahan desentralisasi, dekonstrasi, pembantuan dan segala urusan pemerintahan lainnya.
b)      Menyelenggarakan pembangunan ekonomi, fisik dan mental spiritual.
c)      Menyelenggarakan pelaksanaan syari’at Islam, pendidikan, adat istiadar, sosial budaya, ketentraman dan ketertiban masyarakat.
d)     Menyelenggarakan pelayanan pada masyarakat.
e)      Menyelesaikan sengketa dalam masyarakat.
Sedangkan tugas Imum Mukim menurut dan Pasal 8 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat adalah:
a)      Melakukan pembinaan masyarakat.
b)      Melaksanakan kegiatan adat istiadat.
c)      Menyelesaikan sengketa.
d)     Membantu peningkatan pelaksanaan syariat Islam.
e)      Membantu penyelenggaraan pemerintahan, dan.
f)       Membantu pelaksanaan pembangunan.

Maka apabila melihat peraturan diatas Imum Mukim pada suatu kemukiman selain mempunyai peran untuk membantu tugas dari Camat untuk dapat mengawasi desa, Imum Mukim juga mempunyai peran dalam memutuskan dan atau menetapkan hukum, memelihara dan mengembangkan adat, menyelenggarakan perdamaian adat, menyelesaikan dan memberikan keputusan-keputusan adat terhadap perselisihan-perselisihan dan pelanggaran adat, memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut adat dan menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan adat istiadat di dalam kehidupan bermasyarakat.




[1] Taqwaddin Husin, Sulaiman, dkk, Mukim di Aceh (Belajar Dari Masa Lalu Untuk Membangun Masa Depan), Diandra Pustaka Indonesia, Yogyakarta, 2015, hal 57.
[2] Sanusi M. Syarif., Gampong dan Mukim di Aceh Menuju Rekonstruksi Pasca tsunami, Pustaka Latin, Bogor, 2005, Hal 63.

Selasa, 18 Juli 2017

TEORI BERLAKUNYA HUKUM ISLAM DI INDONESIA

 TEORI BERLAKUNYA HUKUM ISLAM DI INDONESIA

 TEORI BERLAKUNYA HUKUM ISLAM DI INDONESIA - Islam telah diterima oleh bangsa Indonesia jauh sebelum penjajah datang ke Indonesia. Waktu penjajah Belanda datang di Indonesia (Hindia Belanda), mereka menyaksikan kenyataan bahwa di Hindia-Belanda sudah ada hukum yang berlaku, yaitu agama yang dianut oleh penduduk Hindia-Belanda, seperti Islam, Hindu, Budha dan Nasrani, di samping hukum adat bangsa Indonesia. Berlakunya hukum Islam bagi sebagian besar penduduk Hindia-Belanda, berkaitan dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam setelah runtuhnya kerajaan Majapahit pada sekitar tahun 1518 Masehi. Menurut C. Snouck Hurgronje sendiri, bahwa pada abad ke 16 di Hindia-Belanda sudah muncul kerajaan-kerajaan Islam, seperti di Aceh, Mataram, Banten dan Cirebon yang berangsur-angsur mengislamkan seluruh penduduknya.[1]
Walaupun pada mulanya kedatangan Belanda (yang beragama Kristen Protestan) ke Hindia-Belanda tidak ada kaitannya dengan masalah (hukum) agama, namun pada perkembangan selanjutnya, berkaitan dengan kepentingan penjajah, akhirnya mereka tidak bisa menghindari terjadinya persentuhan dengan masalah hukum yang berlaku bagi penduduk pribumi. Sehubungan dengan berlakunya hukum adat bagi bangsa Indonesia dan hukum agama bagi masing-masing pemeluknya, muncullah beberapa teori-teori hukum jauh sebelum Indonesia merdeka. Adapun beberapa teori hukum Islam di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.      Teori Reception in Complexu
Teori receptio in complexu ini dipelopori oleh Lodewijk Willem, Christian van den Berg tahun 1845-1925. Teori receptio in complexu menyatakan bahwa bagi setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing. Bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam sebab ia telah memeluk agama Islam.[2]
Teori receptio in complexu ini telah diberlakukan di zaman VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) sebagaimana terbukti dengan dibuatnya berbagai kumpulan hukum untuk pedoman pejabat dalam menyeleaikan urusan-urusan hukum rakyat pribumi yang tinggal di dalam wilayah kekuasaan VOC yang kemudian dikenal sebagai Nederlandsch Indie.
Contohnya, Statuta Batavia yang saat ini desebut Jakarta 1642 pada menyebutkan bahwa sengketa warisan antara pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipergunakan oleh rakyat sehari-hari. Untuk keperluan ini, D.W Freijer menyusun buku yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam.
2.      Teori Receptie
Teori receptie dipelopori oleh Christian Snouck Hurgronje dan Cornelis van Volenhoven pada tahun 1857-1936.[3] Teori ini dijadikan alat oleh Snouck Hurgronye agar orang-orang pribumi jangan sampai kuat memegang ajaran Islam dan hukum Islam. Jika mereka berpegang terhadap ajaran dan hukum Islam, dikhawatirkan mereka akan sulit menerima dan dipengaruhi dengan mudah oleh budaya barat. Teori ini bertentangan dengan Teori reception in complexu. Menurut teori Receptie, hukum Islam tidak secara otomatis berlaku bagi orang Islam. Hukum Islam berlaku bagi orang Islam jika sudah diterima atau diresepsi oleh hukum adat mereka. Oleh karena itu, hukum adatlah yang menentukan berlaku tidaknya hukum Islam. Sebagai contoh teori Receptie saat ini di Indonesia diungkapkan sebagai berikut.
Hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits hanya sebagian kecil yang mampu dilaksanakan oleh orang Islam di Indonesia. Hukum pidana Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits tidak mempunyai tempat eksekusi bila hukum yang dimaksud tidak diundangkan di Indonesia. Oleh karena itu, hukum pidana Islam belum pernah berlaku kepada pemeluknya secara hukum ketatanegaraan di Indonesia sejak merdeka sampai saat ini. Selain itu, hukum Islam baru dapat berlaku bagi pemeluknya secara yuridis formal bila telah diundangkan di Indonesia. Teori ini berlaku hingga tiba di zaman kemerdekaan Indonesia.
3.      Teori Receptie Exit
Teori receptie exit diperkenalkan oleh Hazairin. Menurutnya setelah Indonesia merdeka, tepatnya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 dijadikan sebagai suatu aturan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, semua peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang berdasarkan teori receptie bertentangan dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, teori receptie itu harus exit atau keluar dari tata hukum Indonesia.
Teori receptie bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, Kemudian dipertegas di dalam Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Menurut teori receptie exit, pemberlakuan hukum Islam tidak harus didasarkan pada hukum adat.[4] Pemahaman demikian kebih dipertegas lagi, antara lain dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang memberlakukan hukum Islam bagi orang Islam (pasal 2 ayat 1), Undang-Undang NoMor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Instruksi presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompulasi Hukum Islam di Indonesia (KHI).
4.      Teori Receptie a Contrario
Teori receptie exit yang diperkenalkan oleh Hazairin dikembangkan oleh Sayuti Thalib dengan memperkenalkan teori receptie a contrario. teori receptie a contrario yang secara harfiah berarti lawan dari teori receptie yang menyatakan bahwa hukum adat berlaku bagi orang Islam kalau hukum adat itu tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam.[5]
Sebagai contoh, umpamanya di Aceh, masyarakatnya menghendaki agar persoalan yang menyangkut dengan hal perkawinan dan warisan diatur berdasarkan hukum Islam. Apabila ada ketentuan adat boleh saja dipakai selama itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dengan demikian, dalam teori receptie a contrario, hukum adat itu baru berlaku apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam. Inilah yang disebut oleh Sayuti Thalib dengan teori receptie a contrario.[6]
5.      Teori Eksistensi
Sebagai kelanjutan dari teori receptie exit dan teori reception a contrario, menurut Ichtijanto S.A, muncullah teori eksistensi.[7] Teori eksistensi adalah teori yang menerangkan adanya hukum Islam dan hukum nasional Indonesia. Menurut teori ini, eksistensi atau keberadaan hukum Islam dan hukum nasional itu ialah:
a.       Ada, dalam arti hukum Islam berada dalam hukum nasional sebagai bagian yang integral darinya.
b.      Ada, dalam arti adanya kemandiriannya yang diakui berkekuatan hukum nasional dan sebagai hukum nasional.
c.       Ada, dalam hukum nasional, dalam arti norma hukum Islam sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia.
Berdasarkan teori Eksistensi diatas, maka keberadaan hukum Islam dalam tata hukum nasional merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah adanya. Bahkan lebih dari itu, hukum Islam merupakan bahan utama dari hukum nasional.




[1] C. Snouck Hurgronje, De Islam in Nederlandsch Indie, alih bahasa S. Gunawan, Islam di Hindia Belanda, Cet.II, Jakarta, Bhratara, 1983, hal 10.
[2] Sayuti Thalib, Receptio A Contrario, Cet. III, Jakarta, Bina Aksara, 1982, hal 15.
[3] H.W.J.Sonius, dalam J.F.Holleman and Vollenhoven, Indonesian Adat Law, Leiden: 1981. Lihat juga, Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita, 1976, hal 57.
[4] Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum, Cet. I, Jakarta, Tintamas, 1974, hal 101.
[5] Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Cet. I, Jakarta, Tintamas, 1975, hal 8.
[6] Sayuti Thalib, Op.Cit., hal 69.
[7] Ichtijanto, Pengadilan Agama sebagai Wadah Perjuangan Mengisi Kemerdekaan Bangsa, dalam Kenang-kenangan Seabad Pengadilan Agama, Cet. I, Jakarta, Dirbinperta Departemen Agama Republik Indonesia 1985, hal 262.