REKONTRUKSI
PERJANJIAN GALA (GADAI ADAT) PADA MASYARAKAT ADAT ACEH BERBASIS SYARIAH
MUHAMMAD IQBAL, SUKIRNO.
PROGRAM
KAJIAN HUKUM EKONOMI DAN TEKNOLOGI
ABSTRAK
Gala merupakan suatu perjanjian
pinjam-meminjam antara pihak pemberi gala
dan penerima gala dengan konsep
tolong-menolong pada untuk memenuhi kebutuhan keuangan dalam keadaan yang
bersifat mendesak. Jika melihat pelaksanaan perjanjian gala dalam masyarakat
adat Aceh pada saat ini adanya ketidak sesuaian antara pelaksanaan dan aturan
pada Pasal 2 (dua) ayat (2) Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Adat dan Istiadat
serta ketentuan Pasal 7 Perpu Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian. Rumusan masalah pada tesis ini adalah bagaimanakah bentuk
pelaksanaan perjanjian gala dalam
masyarakat adat Aceh? bagaimanakah kaitan antara perjanjian gala dengan konsep
gadai syariah? bagaimanakah bentuk rekonstruksi perjanjian gala berbasis syariah? Metode penelitian yang digunakan adalah
pendekatan yuridis empiris dan
pendekatan socio-legal. Selain data
sekunder, juga digunakan data primer dari serangkaian observasi dan wawancara
dengan informan. Perjanjian gala dilakukan jika pemberi gala membutuhkan uang yang banyak dalam keadaan mendesak. Dalam
mekanisme perjanjian gala, para pihak
yang telah sepakat untuk melaksanakan perjanjian gala melakukan penyerahan objek gala
dari pihak pemberi gala kepada pihak
penerima gala dalam bentuk hak pakai,
sedangkan dipihak penerima gala
menyerahkan sejumlah uang yang telah disepakati antara keduanya secara tunai.
Berakhirnya suatu perjanjian gala
dalam masyarakat adat Aceh ketika objek gala tersebut telah ditebus. Jika
dikaitkan perjanjian gala di Aceh
dengan konsep gadai syariah maka adanya ketidak sesuaian terhadap pemanfaatan
dan penguasaan dalam konsep gadai syariah. Sebagian besar para ulama tidak
membolehkan pemanfatan objek gala
dengan tidak adanya suatu batasan waktu. Pemanfatan objek gala dibolehkan jika
para pihak sepakat untuk menerapkan tiga akad perjanjian Perjanjian gala dengan
bentuk Al-Qardhul Hassan, Al-Mudharabah dan Bai' Al-Muqoyyadah agar tehindar dari unsur gharar dan riba. Salah satu bentuk rekontruksi pada perjanjian gala yang berbasis syariah dengan
menerapankan konsep mudharabah hasil
keuntungan yang diperoleh dari objek gala
oleh penerima gala digunakan untuk menutup kembali utang pihak pemberi gala.
Pemerintah Aceh diharapkan agar membuat qanun khusus tentang tata cara dan tatacara pelaksanaan gala yang sesuai dengan ketentuan Islam
dan berbasis syariah. Sehingga pelaksanaan adat di Aceh tidak melanggar
ketentuan islam.
Kata Kunci: Perjanjian Gala, Masyarakat Adat Aceh,
Berbasis Syariah.
RECONSTRUCTION GALA
AGREEMENT IN ACEH CULTURE SOCIETY BASED ON SHARIA
MUHAMMAD IQBAL, SUKIRNO
STUDY PROGRAM OF ECONOMIC AND TECHNOLOGY LAW
ABSTRACT
Gala
is
a loan agreements between the donor and recipient with the concept of mutual help to meet the financial
needs in an urgent. If you look at the implementation of gala
agreement in Aceh culture society nowaday the discrepancy between
implementation and the rules in Article 2 (two) of clause (2) Qanun number 9 of 2008 about traditions and customs, and the provisions of Article 7 of
Government Regulation number 56 of 1960 about size determination of farmland. The purpose of this study was
to determine: 1. How the
implementation of gala
agreement in Aceh culture
society. 2. How the link
between gala agreement with the
concept of sharia pawn. 3. How is the form of reconstruction gala agreement based on
sharia. The method used is empirical juridical approach and socio-legal
approach. In addition to secondary data, also used primary data from a series
of observations and interviews with informants. Gala agreement occurs if the grantor gala do require a
lot of money in urgent. In the mechanism
gala agreement, the parties have agreed to implement it handover the object
from the donor to the recipient in term of use rights, while the part of the
recipient handover a sum of money that has been agreed between them in cash.
The termination of gala
agreement in Aceh culture society occurs when the object has been
redeemed. If attributed gala agreement in Aceh with
concept of sharia pawning so the discrepancy againts utilization and control in concept of sharia pawn. Most of theologians did
not allow the utilization of gala
objects in the absence of a time limit. Utilization of gala object allowed if the parties agree to implement a three-contract agreement
with a gala Agreement in form Qardhul Al-Hassan, Al-Mudharabah and Bai 'Al-Muqoyyadah to avoid gharar and usury. One form of reconstruction at gala agreement with Sharia by applying the concept of Mudharabah profit results obtained from gala objects by gala receiver used to cover the debt back of grantor gala. The Government of Aceh is expected to make a special
qanuns about procedures shall gala in accordance with the provisions of Islamic
sharia. so that a custom implementation in Aceh did not violate the provisions
of Islam.
Keywords: Agreement Gala, Aceh culture society, Sharia.
I.
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Masyarakat
adat Aceh dalam tatanan sosial masih menjunjung tinggi dan menjaga nilai-nilai
adat-istiadat dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu bentuk adat yang masih digunakan dalam
kehidupan masyarakat adat Aceh sampai saat
ini adalah gala (gadai adat). Adat Gala dalam masyarakat adat Aceh mempunyai nilai-nilai dan konsep
kebersamaan dan tolong-menolong antar sesama manusia (habluminannas) dan mengharapkan ridha (pahala) dari Allah (wa habluminallah).[1]
Gala merupakan
suatu perjanjian pinjam-meminjam antara pihak pemberi gala dan
pihak penerima gala untuk memenuhi
kebutuhan keuangan dalam keadaan mendesak dalam kehidupan sehari-hari. Dalam mekanisme perjanjian gala
jika para pihak telah sepakat untuk melakukan perjanjian gala, maka pihak pemberi gala menyerakan hak pakai atas objek gala sebagai benda jaminan
kepada pihak penerima gala, sedangkan pada pihak penerima gala menyerahkan uang sebesar yang
diperjanjikan antara kedua belah pihak tersebut secara tunai kepada pihak pemberi gala.
Dalam sistem Gala, penggala (pemilik harta) memberikan
hak pakai kepada penerima gala untuk menggunakan harta galaan yang dijadikan
agunan selama pemberi gala belum
menebus objek gala. Hasil yang
diperoleh penerima gala atas penggunaan objek gala tersebut dianggap sebagai balas jasa atas uang yang
dipinjamkan.[2]
Jika diperhatikan mekanisme pelaksanaan
perjanjian gala di dalam kehidupan
masyarakat adat Aceh, berakhirnya
suatu perjanjian gala adalah tanpa adanya suatu ketetapan batas waktu selain
objek gala ditebus tentunya akan
memberatkan pihak pemberi gala dikarenakan objek gala
(agunan) yang dulunya digunakan sebagai alat yang digunakan untuk mencari
nafkah untuk menebus harta gala tersebut telah beralih menjadi hak pakai
kepada pihak penerima gala. Sedangkan
disisi yang lain, pihak penerima gala
terus menikmati hasil dari objek gala (agunan)
tersebut tanpa mengurangi jumlah utang pihak pemberi gala.
Dalam
konteks ekonomi Islam objek gadai (agunan) digunakan sekadar untuk memastikan
(jaminan) kepercayaan pada pihak pemberi gadai. Dalam Islam tidak membenarkan adanya pemanfaatan terhadap objek gala jika menimbulkan kemudharatan
kepada pemberi gadai. Sebagian besar ulama hanya berpendapat Pemanfaatan
dibolehkan sebesar pengeluaran pihak penerima gadai terhadap barang gadaian,
misalkan pihak penerima gadai boleh menikmati susu sapi gadaian sebanyak
makanan yang diberikan untuk lembu.[3] Ketidak sesuaian pelaksanaan perjanjian gala dengan ketentuan syariah tentunya
akan bertentangan dengan ketentuan Pasal 2 ayat
(2) Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Adat dan Istiadat
menyebutkan pembinaan, pengembangan, pelestarian dan perlindungan terhadap adat
dan istiadat harus meliputi dan berpedoman pada nilai-nilai Islami. Dan tidak adanya batasan waktu akan bertentangan dengan Undang-Undang
Nomor 56/Prp/Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang menyatakan bahwa gadai tanah tidak boleh lebih 7
tahun.
Maka melihat permasalahan tesebut penulis tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul: “Rekonstruksi Perjanjian Gala (Gadai Adat) pada masyarakat adat
Aceh berbasis syariah”.
B.
Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka terdapat
beberapa rumusan permasalahan sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah
bentuk pelaksanaan perjanjian gala dalam masyarakat adat Aceh?
2.
Bagaimanakah
kaitan antara perjanjian gala dengan konsep gadai syariah?
3.
Bagaimanakah
bentuk rekonstruksi perjanjian gala berbasis syariah?
II.
Metode Penelitian
A.
Jenis Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah serta tujuan maka pendekatan digunakan
merupakan pendekatan yuridis empiris.
Pendekatan ini digunakan dalam rangka menemukan bentuk perjanjian gala yang
hidup dalam pada masyarakat adat Aceh berdasarkan perspektif syariah.
Pendekatan ini tidak berhenti pada hukum dalam ketentuan perundang-undangan,
namun melihat hukum dalam konsepsi hukum yang hidup dalam masyarakat.[4]
B.
Jenis Data
Dalam mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan yang difokuskan
berdasarkan pokok permasalahan yang ada, sehingga dalam penelitian ini tidak
terjadinya penyimpangan dan kekaburan dalam pembahasan. Adapun data yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Data Primer
Data primer yang digunakan diperoleh dari penelitian lapangan
(field research). Data lapangan
dibutuhkan untuk memperoleh informasi mengenai eksistensi, mekanisme serta
penyelesaian sengketa dalam perjanjian gala dalam kehidupan masyarakat adat di
Aceh, melalui informan dan observasi.
2.
Data Sekunder
Data sekunder diperoleh melalui hasil penelitian
kepustakaan (library research), berupa bahan hukum primer (peraturan
perundang-undangan), bahan hukum sekunder (jurnal-jurnal dan hasil penelitian
ilmiah lainnya).
3.
Data Tersier
Data tersier adalah bahan hukum yang merupakan
bahan-bahan yang memberikan informasi-informasi tentang bahan-bahan hukum
primer dan sekunder antara lain kamus-kamus, ensiklopedia, artikel-artikel,
majalah, Koran, dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan perjanjian gala.
C.
Spesifikasi
Penelitian
Spesifikasi
pada penelitian ini ialah Socio-legal
research, dilakukan dengan cara menggabungkan pengetahuan, keahlian, dan
pengalaman dari dua atau beberapa disiplin (interdisipliner)
untuk menjawab suatu persoalan hukum. dalam hal ini, masalah hukum diselesaikan
dengan menggabungkan kajian hukum dan sosiologis-antropologis, khususnya
pluralism hukum.[5]
D.
Metode Analisis
Data dan Validasi Data
Metode Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode analisis data kualitatif. Analisis data kualitatif adalah suatu
cara penelitian yang menghasilkan data analitis, yaitu yang dinyatakan oleh
responden secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang diteliti dan
dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.
Pada validasi data menggunakan teknik triagulasi sumber
(menggunakan komparasi data dan sumbernya untuk mensistematisasi perbedaan dan
persamaan pandangan berdasarkan kualifikasi dan situasi sumber dengan dokumen)
dan metode (pengecekan melalui teknik pengumpulan data, observasi partisipatif,
dan wawancara mendalam).
III. Pembahasan
A.
Bentuk
Pelaksanaan Perjanjian Gala dalam
Masyarakat Adat Aceh
Gala merupakan
perjanjian pinjam-meminjam uang atau emas dengan menjadikan tanah atau
barang-barang lainnya yang dianggap berharga sebagai objek jaminan (agunan).
Perjanjian gala kurang lebih telah
berada dan hidup dalam masyarakat adat Aceh sejak abad ke 17 (tujuh belas) dan
masih berlangsung sampai dengan sekarang. Pada awal-awal
perkembangannya perjanjian gala dalam
masyarakat adat Aceh tempo dulu biasanya dilakukan secara lisan atau tidak
tertulis, dengan anggapan bahwa apa yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak
tersebut telah disepakat dan kedua belah pihak di anggap telah memahami tentang
apa saja yang menjadi hak dan kewajiban diantara mereka, sehingga dengan
berlandaskan saling percaya antara sesama inilah menjadi suatu ciri khas dalam
perjanjian gala menurut hukum adat di
Aceh.[6]
Seiring berjalannya waktu
perjanjian gala terus berkembang
sehingga perkembangannya perjanjian gala dipengaruhi oleh
budaya luar akibat kemajuan teknologi dan perubahan alur pikir masyarakat. Pengaruh
tersebut membawa perubahan bersifat positif dan negatif kepada beberapa
kegiatan masyarakat dalam bidang ekonomi.
Dalam pelaksanaanya jika para pihak telah
sepakat antar untuk melakukan perjanjian gala,
maka hasil kesepakatan yang telah
disepakati dituangkan dalam surat perjanjian gala pada umumnya hanya memuat judul
(keterangan surat), pembukaan, identitas serta alamat dari pihak pemberi gala (urueng peugala) dan pihak penerima
gala (urueng teurimong gala), letak
objek yang digalakan, keterangan dari barang agunan dan penutup yang disertai
dengan tanda tangan dari pihak pemberi gala
(urueng peugala) dan pihak penerima gala
(urueng teurimong gala) yang melakukan perjanjian gala, diikuti dengan tanda tangan dari saksi dan keuchik gampong setempat, dan selanjutnya
diikuti dengan serah terima (ijab
Kabul) dari kedua belah
pihak di mana pihak pemberi gala (urueng
peugala) menyerahkan tanahnya atau objek jaminan sebagai jaminan gala (barang agunan) kepada pihak penerima gala
(urueng trimong gala) dalam bentuk hak pakai, sedangkan dipihak penerima gala (urueng trimong gala) menyerahkan
uang dengan kesepakatan yang dipenuhi sebagaimana telah diperjanjikan antara
keduanya dalam bentuk tunai.
Pada
pelaksanaan perjanjian gala, pemilik
harta atau disebut dengan pemberi gala
(urueng peugala) menyerahkan hak pakai dan penguasaan atas objek gala (benda agunan) kepada orang yang
memberi pinjaman atau biasa disebut penerima gala (urueng teurimong gala) untuk menggunakan harta galaan sebagai
objek gala (agunan) selama pemilik
belum menebusnya.
Berakhirnya suatu perjanjian gala dalam masyarakat adat Aceh adalah
ketika objek gala (barang agunan)
tersebut telah ditebus, dalam hukum adat Aceh
adanya pepatah yang mengatakan “lheuh
ngui payah ta pulang, miseu utang payah ta bayeu, akhe dari janji gala ngon
teuboh”. Yang artinya suatu perjanjian pinjam-meminjam baru dianggap
berakhir apabila barang yang yang dipinjam tersebut telah dikembalikan, begitu
juga dengan perjanjian utang baru akan dianggap telah berakhir apabila telah
dibayar dan perjanjian gala baru
dianggap selesai (berakhir) apabila objek gala
(barang agunan) telah ditebus.
Selama berlangsungnya perjanjian gala barang jamiman berada dalam
penguasaan penerima gala (urueng
teurimong gala) maka selama objek gala
(barang agunan) belum ditebus oleh pihak pemberi gala (urueng peugala) maka pihak penerima gala (urueng teurimong gala) berhak untuk menikmati hasil dari
objek gala (barang agunan)
dikarenakan pemanfaatan atas objek gala merupakan
suatu bentuk balas jasa dari pihak pemberi gala
(urueng peugala) atas uang atau emas yang dipinjamkan oleh pihak penerima gala (ueureng teurimong gala). Maka
berdasarkan adanya anggapan suatu bentuk balas jasa oleh karena itulah di dalam
surat perjanjian gala tidak
menyebutkan klausula batas waktu penebusan.[7]
B.
Kaitan Antara
Perjanjian Gala dengan Gadai Syariah
1.
Konsep perjanjian
gala dan gadai syariah.
Gadai
Syariah sering diidentikkan dengan rahn
secara definisi rahn menurut istilah
yaitu menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’
untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau
sebahagian utang dari benda itu. Para ulama telah menyepakati bahwa
perjanjian gala (rahn) hukumnya boleh
dan tidak wajib karena pada sifat dari objek gadai (barang agunan) hanya
merupakan jaminan saja jika kedua belah pihak tidak saling mempercayai. Akan
tetapi, jika kedua belah pihak saling mempercayai satu sama lain, maka jaminan
mungkin tidak diperlukan. Hal ini tercermin dari firman Allah berikut: “Jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu
menunaikan amanatnya (utangnya)” (QS. Al-Baqarah: 283). Ayat ini juga
memberikan tafsiran bahwasanya jaminan hanya disyaratkan jika tidak ada penulis
di antara orang yang bertransaksi tersebut.
Perjanjian
gala yang berada dalam masyarakat
adat Aceh merupakan suatu perjanjian pinjam-meminjam yang dapat dipersamakan
dengan suatu perjanjian gadai yang
dianggap sebagai suatu perbuatan yang
berlandaskan nilai-nilai ta’awun
(tolong-menolong) antar sesama manusia. Konsep tolong-menolong juga didasari
pada konsep kebersamaan bagi masyarakat adat Aceh adanya suatu anggapan
membantu antar sesama yang menjadi sebuah perbuatan yang sangat mulia selain
dimata Allah dan juga dimata manusia.[8]
2.
Batasan waktu dan
penguasaan objek gala ditinjau dari aspek perekonomian islam.
Pada suatu sistem perekonomian di dalam Islam terdapat beberapa landasan
yang menjadi konsep dasar sebagaimana berikut:
1)
Pelarangan akan
adanya suatu ketidakpastian atau gharar.
2)
Adanya pelarangan
riba.
3)
Pelarangan judi
maisir.
4)
Pelarang adanya
suatu penipuan/tadlis.
5)
Pelarangan
terhadap perdangangan yang tidak halal atau bernajis.
6)
Penggunaan
prinsip bagi hasil.
Perjanjian gala digolongkan dalam suatu perbuatan tabbaru’ artinya perjanjian gala merupakan salah satu
perjanjian di dalam transaksinya tidak ditujukan untuk memperoleh laba
(transaksi nirlaba) dengan anggapan murni karena timbulkan atas dasar niat
saling bantu-membantu antar sesama.[9]
Terbitnya Perpu Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang
mengatur tentang batasan waktu gadai yang berobjekkan tanah pada alasannya
tidak berlaku sebagai suatu patokan atas perjanjian gala namun dalam
pelaksanaannya peraturan tersebut tidak dapat dijadikan patokan batasan dalam
perjanjian gala dikarenakan sebagian masyarakat beralasan tidak tahu akan
keberadaan aturan tersebut sehingga peraturan gala di aceh baru dianggap selesai jika telah dilakukan penebusan
terhadap objek gala.
Berdasarkan bentuk pelaksanaan perjanjian gala yang tanpa adanya waktu yang tentunya dapat
memberikan dampak-dampak perampasan (penindasan) bagi para pihak pemberi gala. Dalam konsep dasar
sistem perekonomian Islam melarang adanya unsur ketidak pastian waktu atau gharar.[10]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar
adalah yang tidak jelas hasilnya. Sedangkan menurut Syaikh As-Sa’di, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah
(ketidak jelasan). Perihal ini masuk dalam kategori perjudian.[11] Adapun kaitan gharar dalam suatu perjanjian gala
yang berkembang dalam kehidupan masyarakat adat Aceh yaitu tidak adanya batasan waktu berakhirnya
perjanjian gala. Dalam syari’at
Islam, jual beli gharar ini terlarang
dikarenakan sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain
dengan cara batil.
-
Di dalam Surat
Al-Baqarah ayat 188 yang artinya:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian
yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui”.
-
Di dalam Surat
An-Nisa ayat 29 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah
kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.
-
Dari Abu Hurairah,
dari Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda:
“Rasullah SAW
melarang jual beli al-hashah dan jual
beli gharar”.
Larangan
gharar dalam konsep perekonomi Islam
bertujuan agar nantinya tidak adanya unsur ketidak pastian yang nantinya akan
berdampak menimbulkan persengketaan antara pihak pemberi gala (urueng peugala) dengan pihak penerima gala (urueng teurimong gala). Pada suatu kontek
dasar ekonomi Islam benda gala (agunan)
hanya dapat dijadikan sebagai suatu objek jaminan atas kepercayaan pihak
pemberi gala (urueng peugala) untuk
menebus kembali kepada pihak penerima gala
(urueng teurimong gala) sehingga dengan alasan tersebut pihak penerima gala (urueng teurimong gala) tidak ragu
memberikan uang atau emas untuk pihak pemberi gala (urueng teurimong gala) dikeranakan adanya barang jaminan.
Akan tetapi apabila para pihak sudah saling mempercayai maka perjanjian gala juga akan dibolehkan tanpa adanya
agunan.
Pemanfaatan
dan penguasaan dalam perjanjian gala atas
pemanfaatan objek gala (barang
agunan) oleh pihak penerima gala (urueng
teurimong gala) dengan anggapan untuk mendapatkan untung, bunga dan hal
lain yang tidak dibolehkan sesuai dengan konsep perekonomian Islam dikarenakan
apabila adanya prinsip mencari keuntungan itu dapat menjurus ke riba.[12] Islam
mengajarkan pada umatnya untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemaslahatan ummah
(kepentingan umum) yang apabila dikerjakan akan berdampak akan membawa manfaat
dan meninggalkan perbuatan yang bersifat mudharat.
Pemanfataan
dan penguasaan atas dasar kemaslahatan dengan tujuan saling bantu-membantu
antar sesama tentunya dibolehkan apabila pihak pemberi gala (urueng peugala) dan
penerima gala (urueng teurimong gala) dalam
pelaksanaan perjanjian gala sepakat
untuk menerapkan 3 (tiga) akad perjanjian, antara lain adalah:
1)
Perjanjian hutang
piutang dengan gala dalam bentuk Al-Qardhul Hassan.
Akad ini biasanya
dilakukan pada nasabah yang ingin menggadaikan barangnya untuk tujuan
konsumtif, maka untuk itu pemberi gala
(urueng peugala) dikenakan biaya berupa upah atau biaya kepada pihak
penerima gala (urueng teurimong gala)
karena telah menjaga dan merawat objek gala
(barang agunan).
2)
Perjanjian hutang
piutang dengan gala dalam bentuk Al-Mudharabah.
Akad mudharabah adalah akad yang dilakukan
oleh pemberi gala (urueng
peugala) yang menggalakan objek gala (barang agunan) untuk menambah
modal usaha atau pembiayaan yang bersifat produktif. Dengan akad ini pemberi gala (urueng peugala) akan memberikan
bagi hasil berdasarkan keuntungan yang didapat oleh pihak pemberi gala (urueng peugala) kepada penerima gala (urueng teurimong gala) sesuai dengan kesepakatan, sampai
modal yang dipinjam dilunasi.
3)
Perjanjian hutang
piutang dengan gadai dalam bentuk Bai'
Al-Muqoyyadah.
Akad ba’i muqayyadah adalah akad yang
dilakukan apabila pemberi gala (urueng
peugala) ingin menggadaikan barangnya untuk keperluan yang bersifat
produktif seperti pembelian peralatan untuk modal kerja. Untuk memperoleh
pinjaman pemberi gala (urueng peugala)
harus menyerahkan barang sebagai jaminan berupa barang-barang yang dapat
dimanfaatkan, baik oleh rahin maupun murtahin. Dalam hal ini pemberi gala (urueng peugala) dapat memberi
keuntungan berupa penetapan harga atas barang yang dibelikan oleh penerima gala (urueng teurimong gala).
C.
Bentuk
Rekonstruksi Perjanjian Gala Berbasis
Syariah
Berakhirnya
suatu perjanjian gala pada masyarakat
adat Aceh adalah setelah pihak pemberi gala
(urueng peugala) menebus harta galaanya pada pihak penerima gala
(urueng teurimong gala). Berdasarkan kesimpulan tersebut dapat dikatakan
bahwa perjanjian gala yang berada di
dalam masyarakat adat Aceh itu tidak mempunyai batas waktu tertentu, akan
tetapi berakhirnya gala adalah ketika telah ditebusnya objek gala (agunan).
Berdasarkan
pendapat Ulama pemanfaatan dan pemanfaatan barang gala itu tidak dibolehkan apabila tidak mengurangi utang pihak
pemberi gala (urueng peugala). Akan
tetapi apabila dapat mengurangi hutang pihak pemberi gala (urueng peugala) dibolehkan apabila memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu. Agar sahnya dan tepenuhinya persyaratan
sahnya pemanfaantan terhadap objek gala maka
para pihak pemberi gala (urueng peugala)
dan pihak penerima gala (urueng teurimong
gala) haruslah sepakat untuk membuat akad mudharabah.[13]
Konsep Penerapan Akad
Mudharabah Dalam Perjanjian Gala.
Menurut sebagian besar Ulama mudharabah adalah suatu akad
(perjanjian) kerjasama antara pihak penerima gala (urueng peugala) atau pemodal dan pemberi gala (urueng
peugala) atau pengelola yang kemudian keuntungan dari kerjasama tersebut
akan dibagi menurut kesepakatan kedua belah pihak.[14] Penerapan akad mudharabah dalam perjanjian gala dibolehkan karena bertujuan untuk
membantu-membantu (tolong-menolong) pihak yang membutuhkan uang dalam hal ini
adalah pihak pemberi gala (urueng
peugala) dengan pihak yang mempunyai modal atau pihak penerima gala (urueng teurimong gala).[15]
Mekanisme
penerapan akad mudharabah dalam
perjanjian gala dilakukan setelah adanya kesepakatan dari para pihak dalam
perjanjian gala yang
disertai bentuk serah terima
antara keduanya, di mana pihak pemberi gala
(urueng peugala) menyerahkan objek galaanya
kepada pihak pemberi gala (urueng
peugala) dan disisi
lain pihak penerima gala (urueng
teurimong gala) menyerahkan uang atau emas yang akan dipinjamkan oleh pihak
pemberi gala (urueng peugala) maka
setelah adanya kesepakatan tersebut barulah para pihak memulai akad mudharabah (bagi hasil) atas objek gala (barang agunan). Ketika para pihak memulai akad mudharabah haruslah adanya penetapan nisbah (bagi hasil) di mana penetapan terhadap jumlah (nisbah) bagi hasil haruslah disepakati
oleh kedua belah pihak
Maka
dengan adanya penerapan akad mudharabah di
dalam suatu transaksi gala sebagaimana
dijelaskan diatas dengan otomatis pihak penerima gala (urueng teurimong gala) dibolehkan untuk memanfaatkan objek gala (agunan) yang dititipkan sebagai
benda jaminan oleh pemberi gala (urueng
peugala) kepada pihak penerima gala
(urueng teurimong gala).
Skema Mekanisme Pembiayaan dengan Konsep Mudharabah.
Apabila melihat skema di atas jika dalam
perjanjian gala menerapkan akad mudharabah tentunya tidak akan
menghilangkan nilai-nilai dan konsep tolong-menolong antar sesama, dan dengan
adanya akad mudharabah keuntungan
yang diperoleh dari objek gala (benda
agunan) dapat dibagi dan dinikmati oleh kedua belah pihak sebagai mana
diperjanjiakan sebelumnya, dan dilain sisi pihak pemberi gala (urueng peugala) juga akan merasakan akan sangat terbantu
selain tidak memutuskan mata pendapatan (pencaharian) dengan adanya akad mudharabah dalam perjanjian gala juga akan menutupi hutang-hutang
dari hasil pembagian keuntungan tersebut kepada pihak penerima gala (urueng teurimong gala).
IV. Simpulan Saran
A. Simpulan
Maka berdasarkan pembahasan dan
pemaparan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis menyatakan beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Perjanjian gala merupakan salah
satu bentuk perjanjian pinjam-meminjam uang atau emas dengan menjadikan tanah
atau barang-barang lainnya yang dianggap berharga sebagai objek jaminan
(agunan). Perjanjian gala hanya dilakukan apabila pemberi gala (urueng peugala)
membutuhkan uang yang besar dalam keadaan mendesak, dalam suatu mekanisme
perjanjian gala apabila para pihak telah sepakat untuk melakukan perjanjian
gala maka terjadilah serah terima (ijab kabul) yang diikuti dengan penyerahan
tanahnya atau objek jaminan sebagai jaminan gala (barang agunan) dari pihak
pemberi gala (urueng peugala) kepada pihak penerima gala (urueng trimong gala)
dalam bentuk hak pakai, sedangkan dipihak penerima gala (urueng trimong gala)
menyerahkan uang dengan kesepakatan yang dipenuhi sebagaimana telah
diperjanjikan antara keduanya dalam bentuk tunai (cash). Berakhirnya suatu
perjanjian gala dalam masyarakat adat Aceh adalah ketika objek gala (barang
agunan) telah ditebus, Selama berlangsungnya perjanjian gala barang jamiman
berada dalam penguasaan penerima gala (urueng teurimong gala) maka selama objek
gala (barang agunan) belum ditebus oleh pihak pemberi gala (urueng peugala)
maka pihak penerima gala (urueng teurimong gala) berhak untuk menikmati hasil
dari objek gala (barang agunan) dikarenakan pemanfaatan atas objek gala
merupakan suatu bentuk balas jasa dari pihak pemberi gala (urueng peugala) atas
uang atau emas yang dipinjamkan oleh pihak penerima gala (ureung teurimong gala)
2. Gadai syariah (rahn) dalam
masyarakat adat Aceh disebut dengan istilah perjanjian gala adalah suatu
perbuatan berlandaskan nilai-nilai muammalah dalam bentuk suatu perjanjian
pinjam-meminjam yang dapat dipersamakan dengan suatu perjanjian gadai di mana
hak yang diperoleh kreditor (pemberi gadai) atas suatu barang bergerak, yang
diserahkan kepadanya oleh debitur (penerima gadai) atau oleh seorang lain atas
namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada kreditor itu untuk mengambil
pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada kreditur-kreditur.
Jika melihat praktik perjanjian gala yang berkembang pada masyarakat adat Aceh
maka terdapat permasalahan mengenai penetapan batas waktu dan pemanfaatan atas
barang gala (barang agunan). Sebagian besar para ulama tidak membolehkan
pemanfatan barang galaan dengan tidak adanya suatu batasan waktu akan
memberikan dampak adanya sutu ketidakjelasan dikarenakan dapat memberikan kemudharatan
kepada pihak pemberi gala (urueng peugala) dan hasil dari pemanfaatan barang
galaan dapat menjurus ke suatu perbuatan
riba bagi pihak penerima gala (urueng peugala).
Pemanfataan dan penguasaan pada objek gala atas dasar kemaslahatan
dengan tujuan saling bantu-membantu antar sesama tentunya dibolehkan apabila
pihak pemberi gala (urueng peugala) dan penerima gala (urueng teurimong gala)
dalam pelaksanaan perjanjian gala sepakat untuk menerapkan 3 (tiga) akad
perjanjian Perjanjian hutang piutang dengan gala dalam bentuk Al-Qardhul
Hassan, Al-Mudharabah dan bentuk Bai' Al-Muqoyyadah.
3. Bentuk perjanjian gala yang
berlaku di dalam masyarakat adat Aceh khususnya pada masyarakat Kemukiman Kuta
reuntang tentunya adanya ketidak sesuaian antara pelaksanaan dengan isi
ketentuan Pasal 2 ayat (2) Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan kehidupan
Adat dan Adat Istiadat yang menyebutkan bahwasanya: “Pembinaan, pengembangan,
pelestarian, dan perlindungan terhadap adat dan adat istiadat dalam masyarakat
adat Aceh harus berpedoman pada nilai-nilai Islami” dan Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
yang mengatur batas waktu suatu perjanjian yang menjadikan tanah sebagai suatu
objek gadai (agunan) tidak boleh lebih dari 7 (tujuh) tahun. Maka untuk
menyesuaikan kembali perjanjian gala pada masyarakat Kemukiman Kuta Reuntang
maka perlunya adanya penetapan akad mudharabah dalam pelaksanaan perjanjian
gala, dengan harapan dengan adanya penerapan suatu akad mudharabah akan menghilangkan unsur pemerasan
(penindasan) antar sesama di mana dahulunya hasil pemanfaatan dari objek gala
di anggap suatu bentuk balas jasa dari pihak pemberi gala (urueng peugala)
kepada pihak penerima gala (urueng teurimong gala) maka dan dengan adanya
penerapan konsep mudharabah hasil keuntungan yang diperoleh dari objek galaan
oleh penerima gala (urueng teurimong
gala) dapat menutup kembali utang pihak pemberi gala (urueng peugala).
B. Rekomendasi
Penelitian ini menawarkan suatu
bentuk rekomendasi agar para pihak yang terlibat di dalam suatu perjajian gala
agar dapat memanfaat objek gala (barang agunan) dengan menerapkan pelaksanaan
akad mudharabah akad ijarah di mana keuntungannya akan diperoleh oleh kedua
belah pihak dan hasil dari keuntungan juga akan menutupi utang dari pihak
pemberi gala (urueng peugala) kepada pihak penerima gala (urueng teurimong
gala) sesuai dengan kaidah dan ketentuan-ketentuan syariah sehingga nantinya
dalam pelaksanaan perjanjian gala di Aceh nantinya dapat terhindar dari
unsur-unsur penindasan dan riba.
Maka dari itu, diharapkan agar
Pemerintah Aceh untuk membuat qanun
khusus tentang tata cara tatacara pelaksanaan gala yang sesuai dengan ketentuan
Islam yang berbasiskan syariah.
V.
Daftar Pustaka
Buku, Hasil Penelitian, Jurnal dan Artikel
A. Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2006.
A. Malik, Perjanjian “Gala” dalam
Masyarakat Hukum Adat Aceh di Kecamatan Lhoknga/Leupung Kabupaten DATI II Aceh
Besar, Tesis, Program
Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 1997.
Abdurrahman
bin Nashir As-Sa’di, Tahqiq Asyraf Abdulmaqshud, Bahjah Qulub Al-Abrar wa Qurratu Uyuuni Al-Akhyaar Fi Syarhi Jawaami
Al-Akhbaar, Cet. II, Th 1992M, Dar Al-Jail.
Azharsyah
Ibrahim, Praktik Ekonomi Masyarakat Aceh dalam Konteks Ekonomi Islam, Malaysia,
Procceeding of the Aceh development International Conference, International
Islamic University, 2012.
Brian Z. Tamanaha, A General Jurisprudence of Law and Society, Oxford University
Press, New York, 2006.
Esmi Warassih, “Urgensi Memahami Hukum dengan
Pendekatan Socio-Legal dan Peranannya
dalam Penelitian”. Makalah Seminar Nasional Penelitian dalam Perspektif
Socio-Legal dan, Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip, Semarang, 22
Desember 2008.
Husen
Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan
dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah, LaksBang PRESSindo,
Yogyakarta, 2010.
Ifan
Noor Adham, Perbandingan Hukum Gadai di
Indonesia, Tatanusa, Jakarta, 2009.
Iman
Sudiyat, Asas- Asas Hukum Adat Bekal
Pengantar Cetakan ke.-5, Liberty, Yogyakarta, 2010.
Muhammad dan Sholikhul hadi, Pengadaian Syariah: Suatu Alternatif Konstruksi
Pengadaian Nasional, Edisi 1, Salemba Diniyah, Jakarta, 2003.
Muhammad,
Tehnik Perhitungan Bagi Hasil di Bank
Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2001,
Purbayu
Budi Santosa, Larangan Jual Beli Gharar:
Tela’ah Terhadap Hadis dari Musnad Ahmad Bin Hanbal, Universitas
Diponegoro, Vol. 3, No. 1, Juni 2015
Reza Banakar and Max Travers, “law Sociology and Method”, in Social and Legal Studies, International
Institute, 2003.
Satjipto Rahardjo, Lapisan-Lapisan dalam Studi
Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, 2009.
_______, Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia: kaitannya
dengan profesi Hukum dan Pembangunan Hukum Nasional, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2009.
Sayuti Thalib, Receptio A Contrario, Bina Aksara, Cet. III, Jakarta, 1982.
Soetandyo
Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma.Metode
dan Dinamika Masalahnya, HuMa, Jakarta, 2012.
Sulaiman,
Model Alternatif Pengelolaan Perikanan
Berbasis Hukum Adat Laot di Kabupaten Aceh Jaya Menuju Keberlanjutan Lingkungan
Yang Berorientasi Kesejahteraan Masyarakat, Tesis, Universitas Diponegoro,
Semarang, 2010.
Suriyaman
Mustari Pide A, Hukum Adat Dahulu, Kini
dan Akan Datang, Jakarta, Penerbit Kencana Prenadamedia Group, 2014.
T. Juned, Mustafa Ahmad dan Hakim Nyak
Pha, Bunga Rampai Menuju Revitalisasi
Hukom dan Adat Aceh, Yayasan Rumpun Bambu, Banda Aceh, 2003.
Taqwaddin
Husen, Kapita Selekta Hukum Adat Aceh dan
Qanun Wali Nanggroe, Banda Aceh, Bandar Publishing, 2013.
Ter
Haar, B, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat
(Terj. Soebakti Poesponoto), Pradnya Paramita, Jakarta 1979.
Tolib
Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia
dalam Kajian Kepustakaan), Alfabeta, Bandung, 2008.
Zainuddin
Ali, Hukum Gadai Syariah, Jakarta,
Sinar Grafika, 2008.
Zaki
Fuad Chalil, Horizon Ekonomi Syariah:
Pemenuhan Kebutuhan dan Distribusi Pendapatan, Banda Aceh, Ar-Raniry Press,
2008.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Aceh dengan Nama Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Kabupaten Pidie Jaya di Nanggroe Aceh Darussalam.
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Undang-Undang
Nomor 56/Prp/Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000
tentang penyelenggaraan kehidupan adat.
Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003 tentang
Pemerintahan Mukim.
Qanun Aceh
Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong dan Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Qanun
Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat-Istiadat.
Qanun
Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2009 tentang
Adat dan Istiadat.
[1] Taqwaddin Husen, Kapita
Selekta Hukum Adat Aceh dan Qanun Wali Nanggroe, Bandar Publishing, Banda Aceh,
2013, hal. 90
[2] Azharsyah Ibrahim, Praktik
Ekonomi Masyarakat Aceh dalam Konteks Ekonomi Islam, Malaysia, Procceeding of
the Aceh development International Conference, International Islamic University,
2012, hal. 445.
[3] A. Ghofur
Anshori, Gadai Syariah di Indonesia,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2006, hal. 117.
[4] Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma.Metode dan Dinamika
Masalahnya, HuMa, Jakarta, 2012, hal. 160.
[5]
Reza Banakar and Max Travers, “law
Sociology and Method”, in Social and
Legal Studies, International Institute, 2003, p. 4-5. Menurut Esmi
Warassih, konsep hukum dimaknai sebagai manifestasi makna-makna simbolik para
pelaku sosial sebagaimana tampak dalam interaksi mereka. Lihat, Esmi Warassih,
“Urgensi Memahami Hukum dengan Pendekatan Socio-Legal
dan Peranannya dalam Penelitian”. Makalah Seminar Nasional Penelitian dalam
Perspektif Socio-Legal dan, Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip,
Semarang, 22 Desember 2008, hal. 6. Tujuan Socio-Legal Research sendiri
merupakan suatu pemahan hukum secara lebih menyeluruh. Model penelitian ini,
terutama untuk hal-hal yang tidak terjangkau oleh ancangan normatif. Lihat
Satjipto Rahardjo, Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia: kaitannya
dengan profesi Hukum dan Pembangunan Hukum Nasional, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2009, hal. 43. Kajian ini juga melihat hukum dalam konteks
masyarakat. Satjipto Rahardjo, Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum, Bayumedia
Publishing, Malang, 2009, hal. 127. Brian Z. Tamanaha, A General Jurisprudence of Law and Society, Oxford University
Press, New York, 2006, p. 2.
[6] Badruzzaman Ismail, Ketua
Majalis Adat Aceh, Wawancara, 21
Desember 2016.
[7] Armia, Ketua Majelis Adat Aceh
Kabupaten Pidie Jaya, Wawancara, 9
Januari 2017.
[8] Faisal Ali, Wakil Ketua Majelis
Permusyawaratan Ulama Aceh, Wawancara, 21
Desember 2016.
[9] Faisal Ali, Wakil Ketua
Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, Wawancara,
21 Desember 2016.
[10] Purbayu Budi Santosa, Larangan Jual Beli Gharar: Tela’ah Terhadap
Hadis dari Musnad Ahmad Bin Hanbal, Universitas Diponegoro, Vol. 3, No. 1,
Juni 2015, Hal 159.
[11] Abdurrahman bin Nashir
As-Sa’di, Tahqiq Asyraf Abdulmaqshud, Bahjah
Qulub Al-Abrar wa Qurratu Uyuuni Al-Akhyaar Fi Syarhi Jawaami Al-Akhbaar,
Cet. II, Th 1992M, Dar Al-Jail. hal 164.
[12] Faisal Ali, Wakil Ketua
Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, Wawancara,
21 Desember 2016.
[13] Faisal ali, wakil ketua
majelis permusyawaratan Ulama, Wawancara,
21 Desember 2016.
[14] Muhammad, Tehnik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah, UII Press,
Yogyakarta, 2001, hal 47.
[15] Faisal Ali, Wakil Ketua Majelis
Permusyawaratan Ulama Aceh, Wawancara,
21 Desember 2016.